Sabtu, 28 Desember 2013

KEBODOHAN SEBAGAI BENTUK UDZUR


                                             KEBODOHAN SEBAGAI BENTUK UDZUR
                          Sebuah Kajian  Tematik  Tentang Mawani` Takfir
                                   (  Penghalang- Penghalang Kekafiran )


I. MUQODIMAH
Sagala puji bagi Allah , Zat pencipta  langit dan bumi , sholwat dan salam  semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad r , istri beliau, keluarga dan para sahabat-sahabat serta kaum muslimin  yang senantiasa  pasrah dalam meniti jalan perjuangannya  dengan ikhlas sampai hari kiamat.
Telah banyak kajian dan karya tulis yang muncul dikalangan kaum muslimin  tentang pembahasan-pembahasan  “ Takfir ”. Satu untai kalimat yang sering dijadikan  oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sebagai pemicu adanya perpecahan-perpecahan  antara umat Islam . Saling tuding dan tuduh, saling su`udhon dan tidak ada saling percaya. Tidak perduli siapa yang memulai, kata-kata kafir akan mudah untuk diberikan  kepada seseorang atau kelompok  jika seorang atau kelompok tersebut  tidak sejalan dan sama dalam pola pikirnya. Terlepas kesalahan itu dilakukan dengan sengaja atau tidak, dilakukan oleh seorang `alim atau seorang yang awam.  Padahal rosulullah r selaku seorang hamba yang paling tahu tentang akan kemana  dan bagi siapa syari`at ini diturunkan  sangatlah hati-hati didalam memvonis seseorang dengan kata-kata kafir, fasiq atau zindiq. Adat kebiasaan semacam ini masih dilakukan dan diikuti dengan baik oleh para sahabat –sahabat Rasulullah r , para tabiin, tabi`ut tabiin dan imam –imam besar dari umat ini.
Namun sekarang ini orang terlalu mudah untuk memberi vonis dan memberi  sebutan kafir kepada saudaranya yang lain.  Seharusnya hal-hal yang sangat prinsipil didalam aqidah  Islam , seperti hal pengkafiran haruslah disikapi dengan proposional dan tidak mengedepankan sikap subjektivitas pribadi atau golongan. Sebab para pelaku-pelaku dosa besar  atau maksiat itu sedikit sekali yang memahami  tentang apa yang ia lakukan. Apakah perbuatan itu termasuk dosa besar atau tidak, syirik atau bid`ah. Padahal jika mereka bisa dan mampu untuk memahami hal-hal yang hanya diketahui oleh sebagian kecil  dari umat ini, tentunya mereka dengan sendirinya  akan meninggalkan amalan-amalan munkar dan bid`ah semacam itu. Namun bila hal ini hanya dipahami dengan sebelah mata, kalimat-kalimat pengkafiran akan mudah sekali menimpa banyak dari kaum muslimin..!!

Bahaya pengkafiran tanpa adanya dalil dan bukti  nyata.
Sabda Nabi r :
(( أَيُّمَا اْمرِىءٍ قَالَ لأَخِيْهِ :يَا كَافِرٌ  فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ ))

 Siapa pun orangnya yang mengatakan kepada saudaranya : Hai kafir. Maka perkataan itu akan mengenai salah seorang  dari keduanya, jika perkataannya benar ( maka benar ). Tapi jika tidak , maka tuduhan itu akan kembali  kepada dirinya  sendiri “ .[1]
Ibnu Taimiah dalam kitabnya berkata:” Sesungguhnya (perkara) wajib, pahala, iqob ( sanksi ) , pengkafiran dan pemfasikan adalah hak Allah I  dan Rosul Nya, tidak seorang pun yang memunyai hak  dalam hal ini, ( namun ) bagi manusia hanyalah  berhak untuk mewajibkan  apa yang telah Allah dan Rosul Nya wajibkan serta mengharamkan apa yang telah Allah dan Rosul Nya haramkan”. [2]
Pada hakikatnya pengkafiran itu sama dengan hukum-hukum yang lainnya, yaitu tidak akan terjadi,  kecuali jika sebab-sebab dan syaratnya terpenuhi serta penghalang-penghalangnya juga tidak ada. Seperti dalam hal waris Sebabnya ( misal ) adalah karena adanya hubungan kerabat. Kadang-kadang seseorang ( yang mempunyai  hubungan kerabat ) tidak bisa untuk mewarisi  disebabkan karena adanya penghalang, yaitu perbedaan agama. Begitu pula dalam hal penghkafiran, seorang dipaksa untuk melakukan perbuatan kufur ( misalnya ), maka ia tidak akan kafir.[3]
Dan juga sifat tegaknya hujjah sangat relatif. Bisa jadi disuatu  negeri  hujjah telah tegak  bagi penduduk negeri tersebut karena banyaknya ulama` dan ilmu , sementara ditempat lain sebaliknya, yaitu sedikit sekali orang yang menyebarkan ilmu. Bisa jadi hujjah telah tegak bagi sebagian orang  karena ia telah mengerti dan memahami hujjah tersebut, akan tetapi bagi sebagian yang lain sebaliknya karena ia belum mengerti , baru saja masuk Islam , atau tinggal diwilayah yang jauh dari pusat ilmu. Demikianlah apa yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiah dalam kitabnya .[4]
Untuk itu semestinya seseorang itu tidak mudah untuk mengkafirkan orang lain kecuali dengan adanya dalil-dalil yang jelas, yaitu Al Qur`an  Sunnah Nabi r  beserta dalil-dali yang konrit.

II. PEMBAHASAN .
1. Sekilas Tentang Devinisi  “ Al Jahlu “ ( Kebodohan ).
          Secara bahasa pengertian  al jahlu adalah diambil dari kata;
جَهِلَ – جَهْلاً – وَ جَهَالَةً : ضِدُّ عَلِمَ
          “ Jahila- jahlan- jahalatan: Yaitu lawan kata dari `alima ( mengetahui ) [5]
Atau juga bisa diartikan dengan  ungkapan sebagai berikut :
خُلُوُّ النَّفْسِ مِنَ الْعِلْمِ
          “ ( Yaitu ) kosongnya seseorang dari ilmu pengetahuan.” [6]
Adapun al jahlu dalam istilah ahlu kalam berarti:
اِعْتِقَادُ الشَّئْ ِعَلَى خِلاَ فِ مَاهُوَ عَلَيْهِ حَقِيْقَةً
“ Meyakini sesuatu namun keyakinannya tersebut menyelisihi  dari hakikat yang sebenarnya”.[7]

2. Pembagian Al Jahlu.
          Jahlu ( Bodoh )  bisa dibagi atau dikelompokkan  menjadi dua bagian , yaitu jahl ( bodoh ) yang berhubungan dengan hak-hak dan kewajibannya kepada Allah . Dan yang kedua adalah jahl yang berhubungan dengan hak-hak manusia.
          Jika -seseorang  itu- jahl dengan hukum dan aturan yang berkenaan dengan hak-hak Allah , seperti : pembolehan- terhadap sesuatu – atau pengharaman , maka orang tersebut tidak akan mendapat siksa atau dosa dari Allah sampai tegas atasnya hujah atau dali dari al-qur`an dan sunnah.
          Hal ini sebagaimana hadits Muslim[8]  dari Ibnu Abbas t bahwa ada seorang laki-lakii yang menghadiahkan kepada Nabi r satu geriba ( ceret ) khomr. Maka Nabi r pun bersabda kepadanya,: Tidakkah engkau tahu bahwa Allah telah mengharamkan khomr? Dia menjawab : “ tidak ”. Lalu ia pergi bersama manusia . Maka Nabi r bersabda : Apa yang engkau tawarkan ? Dia menjawab : Aku perintahkan kepada mereka untuk menjual khomr “. Nabi r bersabda : Sesungguhnya sesuatu yang telah Allah haramkan  untuk meminumnya maka Allah haramkan pula  untuk menjualnya “. Kemudian orang itu membuka tempat penyimpanan  - khomr- sehingga ia tumpahkan semua.
          Imam Nawawi dalam syarahnya 11/ 4 berkata : “ Semoga saja pertanyaan Nabi r tentang pengetahuan ( laki-laki tersebut ) terhadap pengharaman khomr adalah sebagaii wasilah  Nabi r untuk mengetahui pemahamannya. Jika diketahui bahwa ia telah tahu keharaman khomr itu, maka Nabi akan mengingkari dan menolak hadishnya, plus akan memberi pelajaran sebagai peringatan baginya. Namun setekah tahu bahwa dia bodoh  tentang hal itu, Nabi pun memberikan udzur. Maka ini adalah dalil bahwa barang siapa yang melakukan kemaksiatan  tanpa tahu tentang keharamannya  tidaklah ada dosa dan sanksi untuknya.
Namun jika kebodohan itu berhubungan dengan hak-hak manusia, maka secara kaidah mengatakan bahwa tidak ada udzur lagi bagi seorang pun atas tindak kebodohannya tersebut, sebagai bentuk penjagaan terhadap hak-hak orang lain.[9] Hal ini sebagaimana hadits riwayat Muslim dari Ibnu Abbas t bahwa  Nabi r bersabda :
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعَوَاهُمْ لاَدَّعَى نَاسٌ  دِمَاءَ رِجَالٍ وَ أَمْوَالَهُمْ وَ لَكِنَّ الْيَمِيْنَ عَلَى اْلُمدَّعَى عَلَيْه

          “ Jika diberikan kepada setiap orang apa yang mereka inginkan , maka mereka akan menuntut –atas -  tumpahnya darah dan halalnya harta orang lain. Namun bersumpah adalah hak bagi orang yang dituntut.” [10]

3. Rambu-rambu dan penghalang kekafiran.

{ A } Rambu-rambu Pengkafiran:
1 ]. Menghukumi sesuatu dari yang dhohir.
          Ini merupakan masalah yang besar yang ada pada ahlu sunnah wal jama`ah didalam menghukumi – pengkafiran-  terhadap orang lain.
1)    Firman Allah :
(( يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي َسِبيلِ اللهِ فَتَبَيَّنُوا وَلاَ تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلاَمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِندَ اللهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةُُ كَذَلِكَ كُنتُمْ مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا ))
“ Wahai orang-orang yang berima, apabila kamu pergi berperang dijalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan  kepada orang yang mengucapkan  sakam kepadamu: kamu bukam orang muslim” ( lalu kamu membunuhnya ) denganmeksud mencari harta benda kehidupan dunia, kaena disisi Allah ada harta benda yang banyak, begitu juga keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat Nya atas kamu, maka telitilah , sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. ( Qs. An Nisa` : 94 ).
Imam Asy Syaukani berkata: Yang dimaksud disini adalah , janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengulurkan tangan kepada kamu, kemudian ia mengucapkan salam : “ kamu bukan orang yang beriman” . Sesungguhnya perkataan (السلم    ) dan (   السلا م ) keduanya bermakna ( استسلا م ) yaitu tunduk atau menyerah . Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah Islam . Sehingga jangan engkau  mengatakan  kepada orang yang menyerah kepada kamu  kemudian berucap: Assalamu alaikum” ( lalu kamu ucapkan ) : kamu ini bukan orang  beriman. Artinya, orang Islam  dilarang untuk meremehkan orang kafir terhadap hal-hal yang menunjukkan keislaman mereka dengan mengatakan : mereka mengatakan hal seperti itu hanya kerena berlindung dan bertaqiah saja.[11]
2). Sabda Nabi r :

“ Dari Usamah Ibnu Zaid, dan ini adalah hadits Ibnu Abi Syaibah. Ia berkata : “ Rasulullah r mengutus kami dalam sebuah ekspedisi. Ketika pagi hari kami kami sampai dijuhainah – tepatnya di khuruqot -, ketika itu kami mendapatkan orang yang mengucapkan : Laa Ilaha Illahu “. Dan orang itu pun kemudian aku bunuh , setelah itu aku merasakan dalam hatiku seakan ada sesuatu , sehingga akhirnya aku ceritalan hal itu  kepada rosulullah r . Lalu Beliau bersabda :” Orang yang mengucapkan Laa Ilaha Illahu  itu kamu bunuh ?” Usamah berkata: Aku katakan kepada Rasulullah r : Wahai Rasulullah orang itu mengucapkan  hal itu hanya ingin selamat saja:. Beliau bersabda : Mengapa tidak engkau belah hatinya sehingga enagkau tahu apakah dia betul-betul mengucapkan hal itu atau tidak?! ” Nabi mengulang-ulang perkataan itu , ( seakan ) aku berharap seandainya aku baru massuk Islam  pada waktu itu”. [12]
Imam An Nawawi berkata tentang sabda Nabi r :
(( أَفَلاَ شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لاَ ))
“ Mengapa engkau tidak membelah hatinya , sehingga engkau tahu apakah dia betul-betul mengucapkan atau tidak “. Bahwa fa`il ( pelaku ) dari ucapan beliau : apakah dia betul-betul mengucapkan atau tidak “ adalah hati. Artinya bahwa  engkau hanya dibebani  untuk menghukumi perbuatan  yang dhihir saja serta apa-apa yang keluar dari lisan, sedangkan masalah hati tidaklah ada cara bagimu untuk  mengetahui isinya. [13]


Hubungan antara amalan dhohir dan batin
Abdullah bin Muhammad Al Qorny didlam kitabnya  “ Dhowabitut Takfir Inda Ahlis Sunnah Wal Jamaah “ menyebutkan ada empat kondisi yang berkaitan antara dhohir dan batin:
Pertama: Adanya niat yang menyebabkan kekafiran akan tetapi tidak nampak dalam amalan dhohir. Ini seperti halnya ulah/ perbuatan orang-orang munafiq  yang nampak padanya ketaatan secata dhohir padahal hatinya tidak.
Kedua: Adanya amal dhohir yang kufur dan  tidak keraguan lagi kekufuran dalam hatinya. Seprti : mencela Allah, Rasul, dien, serta menginjak-injak Al Qur`an.
Ketiga :Adanya amalan dhohir  yang diragukan kufur atau tidak. Dalam hal ini bisa dicontohkan seperti amalan sahabat Nabi r  yang bernama Hatib bin Abi Balta`ah yang mengirim surat kepada familinya – yang tinggal dimekkah- , memberitahukan bahwa Nabi r ingin berangkat untuk menyerbu mekah. Hal ini merupakah hal kekufuran , yaitu nampaknya perwalian kepada orang-orang kafir. Namun setelah ditanya oleah Nabi r , ternyata tujuan dari sahabat tadi hanya ingin menyelamatkan keluarganya yang ada di kota mekah. Hal ini nampak dalam perkataannya :
(( وَمَا فَعَلْتُ ذَلِكَ  كُفْرًا وَ لاَ ارْتِدَادًا عَنْ دِيْنِيْ ))
“ Aku melakukan bukan karena kekufuran atau murtad terhadap agamaku “. Maka dengan alasan ini nabi pun memberi maaf.
Keempat: Secara dhohir mengerjakan amalan kufur secara qoth`i. Tetapi ia tidak dikafirkan karena adanya kemungkinan –kemungkinan lain dalam hatinya.
Kemungkinan-kemungkinan itu seperti : belum tersamapinya da`wah atau salah dalam menta`wil.[14]

2.]  Berhati-hati dalam menta`yin ( memvonis ) seseorang dengan kekafiran.
          Madzhab ahlu Sunnah adalah madzhab yang pertengahan antara golongan yang mengatakan : Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari ahli kitab “. Dengan golongan yang negkafirkan orang Islam  dikarenakan dosa saja , tanapa melihat syarat-syarat dalam mengafirkan.
          Ringkasnya bahwa ahlu sunnah dalam hal ini , mereka memuthlakkan dalam pengkafiran secara umum, seperti perkataan mereka :” Barang siapa yang menghalalkan – hal yang haram-  yang sudah diketahui secara umum akan keharamannya didalam dien, maka ia telah kafir. Dan barang siapa yang mengatakan bahawa Al Qur`an itru makhluk dan Allah tidak bisa untuk dilihat diakhirat, maka hal itu termasuk kekufuran . Akan tetapi untuk memvonis seseorang dengan kafir haruslah terpenuhi syarat-syaratnya dan penghalang-penghalangnya untuk pengkafiran itu, seperti : Tidak bodoh ( tahu hukum ) , tidak salah dalam menta`wil serta tidak dipaksa untuk mengerjakan  hal tersebut.[15]
          Maka dalam pembahasan ini hendaknya perlu untuk diketahui tentang “ Takfir Muthlak dan Takfir Muayyan “ :
1.     Takfir Muthlak: menghukumi kafir terhadap seseorang  atas suatu perbuatan , perkataan atau keyakinan yang membatalkan keislaman, secara muthlak ( umum ) tanpa menunjuk kepada si pelaku dengan langsung.
2.     Takfir Muayyan:  menghukumi kafir terhadap seseorang  dengan menunjuk secara langsung, ( hal itu ) karena ia telah melakukan perbuatan yang mengeluarkan  dia dari keislaman. ( ini ) setelah terpenuhinya syarat-syarat untuk mengkafirkannya.[16]

Syarat-syarat mengkafirkan dengan ta`yin ( tunjuk hidung ) :
1). Seseorang yang berkata dengan kata-kata kufur dan memang kata-kata itu dimaksudkan untuk makna kekafiran. Seperti perkataan  orang-orang yahudi yang dimaksudkan sebagaii bentuk penghinaan  terhadap Nabi r . Hal ini sebagaimana firman Allah:
(( وَ لاَ تَقُوْ لُوْا رَاعِنَا ))
          “ Janganlah kamu mengatakan  Roo`ina ...” ( Qs, Al Baqoroh : 104 ).[17]
Adapun orang-orang mukminin ketika mengucapkan perkataan itu tidak dimaksudkan untuk menghinaan Nabi r sehingga mereka tidak kafir disebabkan perkataan itu. [18]
2 ). Telah tegaknya hujah ( dalil ) dari Al qur`an dan As Sunnah.
Firman Allah :
          “ Dan tidaklah Kami akan mengazab  sebelum Kami mengutus seorang Rosul ..” ( Qs, Al Isro` : 15 ).
          Ibnu Taimiah berkata: “ Adapun bila sudah tegak hujah yang telah tsabit ( tetap ) dengan kitab dan sunnah , kemudian dia mengingkarinya maka ia dihukumi sesuai dengan perkataannya  baik dengan dibunuh atau dengan yang lainnya .” [19]
          Beliau ( Ibnu Taimiah ) juga mengatakan :”  Ada perbuatan atau perkataan kufur, hal mana barang siapa  melakukan atau mengatakannya maka secara  umum dia dikafirkan. Kita katakan : “ Siapa yang melakukan ini  maka dia kafir “ atau “ siapa yang mengatakan itu maka ia kafir “. Akan tetapi seseorang yang melakukan atau mengatakan hal tersebut tidak begitu saja dihukumi kafir sampai tegak atasnya hujjah “. [20]
          Lebih lanjut Ibnu Taimiah menegaskan sikap beliau dalam masalah ini , “ saya adalah orang yang paling tidak setuju dengan penisbatan kufur ( kekafiran ), fusuq ( kefasikan ), dan maksiat kepada seseorang  secara definitif, kecuali jika hujjah telah tegak atas orang itu, yaitu  hujjah yang apabila  ada orang yang menyelisihinya maka ia menjadi kafir, fasiq, atau `ashin ( ahli maksiat ) “ . [21]
          Ringkasnya dari pembahasan syarat-syarat pengkafiran terhadap seseorang   bisa disimpulkan sebagai berikut :
Pertama: Adanya niat yang menyebabkan kekafiran, yang dimaksudkan dengan niat disini adalah :
1.     Tidak dikafirkan sekedar perkataan kecuali bila orang itu betul-betul  melazimi perkataannya  yang menyebabkan kekufuran tadi.
2.     Lafadz-lafadz itu mengandung beberapa makna , yaitu sebagian bermakna kekufuran dan sebagian yang lain tidak, maka harus diketahui maksud orang yang mengatakannya  ketika ia mengucapkan hal tersebut. Apakah ia maksudkan untuk kekafiran atau tidak , kemudian setelah diketahui barulah hukum ditentukan dengan melihat syarat-syarat  yang lain serta dipastikan ada atau tidaknya penghalang-penghalang kekafiran.
Kedua : Telah tegaknya hujah.
Ketiga : Penegaan hujah ini disyaratkan bagi siapa saja yang baru saja masuk Islam   atau bagi orang yang hidup ditempat yang terpencil atau negeri yang didalamnya  Islam  baru dipelajari. ( Yakni ) bila permasalahan syar`i yang dipungkiri itu adalah permasalahan yang biasanya orang banyak sudah mengetahui  seperti sholat.  
          Akan tetapi tidak disyaratkan  untuk menegakkan hujah ( ini ) terhadap siapa saja yang hidup  dilingkungan ilmu,  dan permasalah-permasalahan syar`i sudah tersebar luas  serta  dimengerti dengan baik  oleh orang alim atau orang yang awam.[22]

{ B } . Penghalang-penghalang kekafiran

[ 1 ] Al Jahlu ( kebodohan ).
 Dalil-dalil yang menunjukkan dibenarkannya jahl ( kebodohan ) sebagai bentuk udzur yang syar’i.
          Pertama :Beban ( taklif ) yang diembankan oleh Allah kepada manusia –baik didunia maupun diakherat- yaitu beban yang sesuai dengan kadar dan kemampuan manusia. Maka suatu kewajiban yang diluar kemampuan manusia untuk melakukannya tidaklah menjadi tanggung jawab dan dosa baginya. Baik didunia maupun diakherat. Dan sebaliknya jika seseorang mampu dan sanggup untuk melakukannya, namun ia menganggap sepele dan meremehkannya, atau bahkan  tidak melakukannya, disaat itilah ia mendapat dosa dan sanksi baik didunia maupun diakherat. Allah berfirman :

(( لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا ءِالاَّ وُسْعَهَا ))

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(Al Baqoroh :286).
Yakni Allah tidaklah membebani seorang hamba diluar kadar kemampuannya,dan ini adalah bukti dari kasih dan sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
          Dalam hadits pun kita jumpai banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan bahwa islam tidaklah membebani seorang hamba diluar kesanggupannya. Diantaranya adalah sabda nabi saw:
(( وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَاسْتَطَعْتُمْ ))
“Dan apa-apa yang aku perintahkan maka laksanakanlah semampumu  [23] 
          Imam Syafi’I berkata :” Sesungguhnya Allah tahu seorang hamba itu mampu untuk melaksanakan ( perintah-Nya ) maka Dia beri pahala, dan Dia tahu seorang hamba yang meremehkan ( perintah-Nya ) padahal ia mampu, maka Allah akan menyiksanya di neraka. Allah menyiksa lantaran (  hamba ) itu mampu, namun sengaja melalaikannya, dan bagi yang tidak mampu, Allah tidak perintahkan dan tidak juga menyiksanya.” [24]
          Al’Iz Ibnu Abdis salam menegaskan :”Barang siapa yang terbebani dengan suatu perintah, lalu ia mampu untuk melaksanakan sebagian dan tidak untuk yang sebagian maka wajib baginya untuk melaksanakan ( dari ) yang sebagian itu, dan terbebas dari yang sebagian”.[25].

          Kedua :. Sudah menjadi ketetapan bagi Allah bahwasannya Dia tidak akan mengazab suatu kaum kecuali telah sampainya da’wah ( pengetahuan ) kepada mereka. Maka barang siapa yang kesalahannya itu hasil dari tidak sampainya ilmu kepadanya, atau ketidak berdayaannya untuk mendapatkan ilmu itu sebagaimana seseorang yang masuk islam  dan belum banyak paham apa itu islam, atau seseorang yang hidup disuatu tempat yang terpencil, sehingga tidak sampainya ilmu kepadanya atau orang yang akan mengajarinya, maka kesalahan dan kekurangan pada dirinya tidak dihitung sebagai dosa. Dan ia akan selalu dimaafkan  oleh Allah sampai ia mendapatkan pengetahuan akan hal itu. Sebagaimana firman Allah:

(( وَمَا كُنَّا مُعَذَّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلا ))

“Dan kami tidak akan mengazab sehingga kami mengutus seorang rosul ”.
(Al isro’: 15) .
          “ ( Mereka kami utus ) selaku rosul-rosul pembawa berita gembira dan pembawa peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah alloh sesudah diutusnya rosul-rosul itu. Dan adalah alloh maha perkasa lagi maha bijaksana.” (An nisa’: 165 )
Dan Al Baghowi berkata: Dan Allah telah melazimkan atas berlakunya sunatullah, bahwa Dia tidak akan menyaiksa seseorang sehingga ia mengutus seorang rasul sebagaii penyampai ilmu atas mereka, Dan Allah tidak akan menyiksa sehingga seorang itu melakukan dosa, ( dikatakan ) seseorang itu berbuat dosa jika ia diperintah tidak laksanakan dan jika dilarang  ia melanggar dan itu setelah diutus seorang rasul.”[26]
Ketiga : Dan diantara dalil-dalil yang menjadikan jahil ( bodoh ) sebagai udzur adalah kisah al khawariyun tatkala mereka masih baru-barunya dalam islam, dan mereka masih bodoh akan sifat-sifat Allah, dan keraguan akan kenabian “Isa Almasih” sebagaimana firman Allah:
إِذْقَالَ الْحَوَارِيُّونَ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ هَلْ يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ أَن يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَآئِدَةً مِّنَ السَّمَآءِ قَالَ اتَّقُوا اللهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
{112} قَالُوا نُرِيدُ أَن نَّأْكُلَ مِنْهَا وَتَطْمَئِنَّ قُلُوبُنَا وَنَعْلَمَ أَن قَدْ صَدَقْتَنَا وَنَكُونَ عَلَيْهَا مِنَ الشَّاهِدِينَ
Mereka berkata, “ kami akan memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.” ( Al Maidah: 112-113 ).
Ibnu Jarir berkata tentang firman Allah ( قال اتقوا الله ان كنتم مؤمنين ) berkata Isa kepada Al Khawariyun: “ Takutlah kalian kepada Allah wahai manusia, takutlah akan turunnya azab dari langit atas perkataan kalian ini, sesungguhnya Allah mampu akan hal itu, “ keraguan mereka atas kemampuan Allah untuk menurunkan makanan dari langit adalah bentuk kekafiran.
Firman Allah, ( ونعلم ان قد صدقتنا ) kata Ibnu Jarir: “mereka tidak tahu bahwa Isa berkata jujur kepada mereka dan tidak bohong. Dan hati mereka tidak tenang ( ragu-ragu ) akan kenabian Isa.”[27] Ibnu Hazm menambahkan: “mereka ( Al-Hawariyun ) berkata dengan kebodohannya.” Apakah Tuhanmu mampu untuk menurunkan makanan dari langit ?.”
Meskipun  ( ragu-ragu ) tentang kemampuan Allah adalah kekafiran, dan ( ragu-ragu ) tentang kenabian nabi Allah adalah kekafiran. Namun mereka ( Al-Hawariyun ) tidak menjadii kafir lantaran mereka bodoh dan belum paham dengan Islam ( agama Isa as ).
Dikatakan: “ bahwa mereka tidaklah menjadi batal keimanan mereka, kecuali jika mereka lakukan hal itu setelah adanya ilmu.”[28]
Keempat :  Kisah bani Israil yang berkata kepada musa, firman Allah:
(( اِجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَالَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ )) ( الا عرف : 128 )
 “Bani Israil berkata; “wahai Musa buatkanlah untuk kami sebuah Tuhan (berhala). “Musa menjawab: “sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan). { Al ‘A’raf: 138 }
Yakni bani Israil bodoh dan tidak memahami akan kebesaran dan keagungan Allah, serta apa-apa yang harus ditiadakan dari pensifatan kepada Zat-Nya yang mulia.[29]Dan hal yang semacam ini pun pernah terjadi pada sahabat nabi SAW, ketika mereka berkata kepada beliau sewaktu mereka mau berangkat perang, “buatkanlah bagi kami Dzata Anwatin[30] sebagaimana mereka punya..!” lalu Nabi SAW menjawab dengan jawaban yang sangat tegas: “Allahu Akbar, perkataan kalian ini – demi yang  jiwaku ada dalam gegaman-Nya – seperti perkataan bani Israil kepada Musa; “ Wahai Musa buatkanlah bagi kami Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa Tuhan (berhala) Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).” Sungguh benar-benar kalian (akan) mengikuti orang-orang sebelum kalian.”[31]
Meskipun perkataan mereka ( para sahabat ) adalah perkataan yang menyebabakan kekafiran sebagaimana perkataan bani Israil, namun tidaklah mereka menjadi kafir serta merta, karena mereka dalam keadaan bodoh dan masih dalam keadaan baru masuk Islam. Dan pelajaran dari hadits ini adalah: “ Barang siapa yang ingin berbuat kesyirikan lalu ia dicegah dan menurut tidaklah ia jadi kafir. Namun jika ia dicegah dan tetap juga melaksanakannya – padahal sudah tegak atasnya hujah ( keterangan ) maka jadilah ia kafir.[32]
Kelima :  Kisah seorang laki-laki dari bani Israil yang memerintahkan keluarganya untuk membakar jasadnya ketika meninggal. Dari Abi Hurairoh r.a dari nabi SAW bersabda: “Adalah seorang laki-laki yang ia menyia-nyiakan dirinya, maka tatkala ia akan mati berkata kepada anaknya: “ Jika aku mati maka bakarlah mayatku, kemudian jadikanlah aku debu dan buanglah kelaut ( udara ). Demi Allah jika Allah mampu ( kuasa ) atas diriku ( mengumpulkan jasad ). Sungguh Ia pasti akan mengazabku dengan siksaan yang belum pernah ia timpakan kepada seorangpun. Maka Allah perintahkan kepada bumi: “ kumpulkan apa-apa yang ada padamu dari jasadnya,” bumi pun melakukannya, seraya laki-laki tadi berdiri ( lagi ). Kemudian Allah berfirman: “Apa yang menjadikan sehingga kamu berbuat demikian?.” Ia menjawab: “wahai Robb, karena takutku padamu.” Maka Allah pun mengampuninya.’[33] ]
Ibnu Taimiyah berkata tentang hadits ini, “ laki-laki ini beranggapan bahwa Allah tidak mampu untuk mengumpulkan jasadnya setelah tercerai-berai, dan ia menyangka bahwa Allah tidak akan mengumpulkan lagi setelah terjadinya itu, dan setiap yang ia sangka ( ingkari ) ini adalah suatu bentuk kekafiran. Akan tetapi karena keimanannya kepada Allah and rasa takutnya kepada-Nya dan lantaran kebodohannya pula, maka Allah pun mengampuninya. Dan hadits ini ( jelas ) bahwa laki-laki itu yakin bahwa ia tidak akan dibangkitkan lagi jika ia lakukan hal seperti itu, atau paling tidak ia telah ragu akan adanya hari kiamat. Dan hal ini adalah kekufuran jika telah diberikannya hujjah ( keterangan ) akan kemunkaran dan kesalahannya, maka ia harus dihukumi kafir.”[34]
Al Imam Al Khithoby rahimahullah berkata: “ Dan timbul masalah , dikatakan : bagaimana dia bisa diampuni padahal ia telah mengingkari adanya hari berbangkit ( kiamat )? Dan jawaban atasnya bahwa sesungguhnya laki-laki itu tidaklah mengingkari adanya hari berbangkit ( kiamat ), hal itu hanyalah lantaran kebodohan dia, ia mengira jika ia melakukan itu semua maka Allah tidak akan membangkitkan dia dan mengazabnya, dan keimanannya pun telah nampak dan terbukti dengan pengakuannya, bahwasannya ia lakukan itu karena takutnya kepada Allah.[35]
Al Hafidz Ibnu Abdil Bar- rahimahullah- berkata: “ Dan adapun kebodohan laki-laki itu tehadap sifat- sifat Allsh dan kodrah ( kekuasaan-Nya ) dalam hadits tersebut tidaklah menjadikan keluarnya dia dari garis keimanan….”. kemidian Al Hafidz berdalil dengan perkataan para sahabat _radhiallahu anhum-
Tentang takdir, kemudian ia ( Al hafidz ) berkata: “…. Sesuatu yang telah maklum bahwa pertanyaan mereka ( para sahabat ) tentang takdir disebabkan karena ketidak tahuan mereka, dan tidak benar seseorang dari kaum muslimin dengan pertanyaan ( seperti itu ) menjadikan mereka sebelum mereka itu tahu.”[36]
Ibnul Qoyyim –rohimahullah- berkata: “ Adapun oran-orang yang menolak hal itu lantaran bodoh, atau penafsiran yang salah maka ia dimaafkan dan diterima udzurnya, maka tidak menjadikan seseorang itu kafir. Seperti hadits tentang seoarang laki-laki yangt menentang kekuasaan ( kudroh ) Allah atas dirinya, lalu ia perintahkan kepada keluarganya untuk mkembakar mayatnya dan membuangnya ke udara, lalu Allah tetep mengmpuni dan merahmati lantaran kebodohannya. Karena ia melakukan hal itu sebatas yang ia miliki dan tidak menentang kekuasaan serta kemampuan Allah untuk membangkitkan (orang mati ) dengan kedustaan.”[37]
Dari beberapa komentar para ulama’ di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
Pertama : Perbuatan laki-laki itu adalah suatu bentuk kekafiran , karena ia mengingkari atas kemampuan Allah untuk mmbangkitkan dirinya setelah dibakar. Akan tetapi ia mendapatkan udzur ( ampunan ) lantaran kebodohannya, dan lantaran kebodohannya itulah yang menjadikan ia salah sangka aas kekuasaan Allah.
Kedua : Bahwa laki-laki itu sebenarnya mempunyai asal keimanan , - dan ini jelas di dalam hadits- demikianlah para ulama’ memahaminya. Hal ini sebagaimana komentar Ibnu Taimiyah: “…maka tatkala ia mengimani Allah secara global dan juga akan adanya hari akhir, maka Allah akan memberi pahala dan juga siksa setelah iameninggal. Dan ia telah beramal sholeh – yaitu takutnya dia kepada Allah, dan Allah akan menyiksa atas dosa dan kesalahannya- serta mengampuni lantaran keimanannya terhadap Allah dan hari akhir.[38]
Jadi dalam hal “ jahl ” ini kami simpulkan point-point yang nantinya ( jika tidak berlebihan ) sebagai pegangan dalam pengembangan berfikir kita nantinya. Dan dalam hal ini kami akan merujuk kepada apa yang telah disimpulkan oleh Muhammad Ibnu Abdillah Ali Alwahaibi didalam kitabnya “ Nawaqidul Iman Al I’tiqodiyah wa Dawabithi Ath Takfir ‘inda salaf ” yang diantaranya adalah:
·       Ulama’ sepakat bahwa hadits ( baru ) nya seseorang dalam islam, atau barang siapa yang hidup di tempat yang jauh dari cahaya keimanan dan da’wah tauhid, tak ada yang menyampaikan hujjah atas mereka, sehingga mereka tidak tahu tentang hukum-hukum sholat dan zakat adalah salah satu bentukl udzur yang dibenarkan menurut syar’i.
·       Bahwa orang-orang yang mengingkari perkara-perkara yang telah diatur dalam islam, dan ia bukan termasuk dalam ketegori hadits Al Ahdi bil Islam ( orang yang baru dalam islam ) adalah kafir. Maka amat munkar sekali jika ada orng yang megatakan bahwa bodoh adalah udzur ( alasan ) yang mutlak untuk lepas dari hukum.
·       Dibetulkan pengkiasan ( penyamaan hukum ) antara orang yang tergolong dalam hadits Al Ahdi bil Islam dengan orang-orang yang hidup di daerah yang terpencil, atau orang yang hidup di daerah musyrik, dimana dakwah kepada tauhid tidak ditemukan sama sekali.[39]
Dan diantara penghalang-penghalang dari kekafiran – masuk kedalam pembahasan jahl –adalah
“ ahlu fatroh ”.
Ahlu secara bahasa adalah siapa yang tinggal disuatu tempat atau negri.[40] Atau  penghuni (rumah) tempat.[41]Sedang fatroh adalah masa atau periode.[42]
Adapun secara istilah Ibnu Abbas dan Muqottil memberikan pengertian :”Suatu kaum yang hidup antara masa setelah diutusnya Nabi Isa as sampai pada masa diutusnya Nabi Muhammad SAW”
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa :”Ahlu Al Fatroh” adalah suatu kaum yang hidup sesudah jaman dimana Nabi Isa as diutus sampai datangnya masa kenabian Muhammad SAW.[43]
Dari pengertian diatas tentunya kita telah dapat menyimpulkan dan mengenal siapa itu Ahlu Al Fatroh ?. Namun timbul pertanyaan baru bagi kita, lalu bagaimanakah hukum mereka itu ? Padahal mereka tidak lagi menjumpai masa kenabian Nabi Isa as dan juga tidak atau belum sempat ikut merasakan bagaimana tata dan cara syari’at yang dibawakan  oleh nabi Muhammad SAW ?
Sebenarnya Ahlul Fatroh itu bisa dibagi menjadi dua :
1. Kaum yang hidup pada masa kekosongan nabi (antara dua nabi ), akan tetapi mereka masih bisa mendapatkan dan merasakan pengajaran ilmu dari nabi sebulumnya. Makasecara syar’i meskipun mereka hidupnya diantara dua nabi yang diutus dan tidak bisa hidup semasa dengan nabi tersebut, akan tetapi ia masih mendapatkan risalah (ajaran) nabi tersebut. Maka kebodohan yang ada pada mereka tidak bisa ditolelir atau diampuni, hanya karena alasan tidak hidup semasa dengan nabi.
2. Kaum yang hidup pada masa kekosongan itu, namun mereka juga terhalang dari mendapatkan risalah dari nabi yang hidup sebelum mereka. Maka golongan ini –kebodohan mereka – akan diampuni oleh hukum syar’i, meskipun rentang waktu antara kedua nabi itu tidak terlalu lama.
Maka pelajaran yang bisa diambil bahwa kebodohan yang diampuni oleh syar’i dari kaum Ahlu Fatrah itu adalah tidak tersampainya ajaran (risalah) kepada mereka. Bukan lantaran panjang atau pendeknya rentang waktu diantara kedua nabi.[44]
Masalah: lalu bagaimana dengan orang-orang yang hidup sebelum kenabian atau diangkatnya nabi saw  ?
Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang yang hidup sebelum diangkatnya Muhammad SAW menjadi rasul adalah termasuk Ahlu Al Fatrah. Sebagaimana firman Allah SWT:
                                                                                                 

(( بَلْ هُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَّاآتَاهُمْ مِنْ نَذِيْرٍ مِنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُوْنَ ))

    “Sesungnya al quran itu adalah kebenaran yang datang dari Tuhanmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu, mudah-mudahan  mereka mendapat petunjuk.” (As Sajadah: 3).
Dalam ayat lain Allah menegaskan:
(( يَاأَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَآءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِّنَ الرُّسُلِ أَن تَقُولُوا مَاجَآءَنَا مِن بَشِيرٍ وَلاَنَذِيرٍ فَقَدْ جَآءَكُم بَشِيرُُ وَنَذِيرُُ وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرُُ ))
     “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu rasul kami menjelaskan (syariat kami) kepada kamu ketika terputusnya (peringatan) rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan: tidak datang kepada kamu baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan. Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah maha kuasa atas segala sesuatu.” (Al Maidah: 19).
Kemudian apakah mereka juga termasuk Ahlu Al Fatrah yang diampuni kebodohannya lantaran tidak tersampainya kepada mereka dakwah para nabi ?. atau kelompok Ahlu Al Fatrah yang memang tidak diampuni kebodohannya lantaran telah tersampainya dakwah para rosul kepadanya ?. Imam Al Qurtubi mengatakan bahwa yang rojih atau benar bahwa ayat ayat dan sunnah nabi menunjukkan kalau mereka itu termasuk Ahlu Al Fatroh yang kebodohannya tidak diampuni oleh syar’I lantaran telah sampai kepadanya da’wah nabi (sebelum mereka ). Firman Allah :
(( وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ))
    “Dan ingatlah pada ni’mat Alloh kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Alloh mempersatukan hatinya, lalu jadilah kamu karena ni’mat Alloh orang-orang yang bersaudara, dan kami telah berada ditepi jurang neraka, lalu Alloh menyelamatkan kamu dari padanya.Demikianlah Alloh menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”.(Ali Imron 103).
Firman Alloh:
    “….dan kamu telah berada di tepi jurang neraka..”. Ibnu Abbas berkata :”yaitu kamu telah ditepi lubang jahannam, dan batas kalian dengannya (jahannam) hanyalah kematian saja”. Firman   Alloh :….lalu Alloh menyelamatkan kamu dari padanya …” yaitu dengan diutusnya Muhammad SAW.[45]    
As Sudy berkata :” Dan kalian berada diujung neraka, siapa yang mati diantara kalian (pasti) kekal didalamnya, maka Alloh utus Muhammad, lalu engkau mencari keselamatan dengan pelantaran dia.[46]
Ibnu katsir menambahkan : “mereka ada diujung lubang neraka disebabkan kekafiran mereka, lalu Allah menyelamatkan mereka dengan hidayahnya agar mereka beriman. “[47]
Abdul mun’in Mustofa Halimah berkata: “mereka itu dalam keadaan kafir sebelum diutusnya nabi SAW, dan jarak antara mereka dengan neraka hanya terhalang oleh kematian saja, hal ini menunjukan bahwa mereka sebenarnya telah mendapatkan dakwah para rosul, sebab Allah tidak akan mengazab suatu kaum kecuali telah tegas atasnya hujjah (alasan) dakwah. Jadi (periode) mereka itu periode yang kebodohannya tidak di maafkan lagi.”
Dan dalam hadits shohih disebutkan dari ‘Aisyah ra berkata: “aku berkata: “wahai Rasulullah, sesungguhnya Ibnu Jad’an dimasa jahiliyah suka menyambung silaturahmi dan memberi makan fakir miskin, apakah itu busa bermanfaat baginya? “Rasulullah menjawab: “tidak, (sebab) pada hari itu ia tidak mengucapkan: “wahai Rabb ampunilah kesalahanku dihari pembalasan (kiamat) .”[48]
Syaikh Abdul Mun”in Musthofa Halimah berkata:” Hal itu sama sekali tidak bermanfaat sama sekali bagi Ibnu Jad’an karena selama hidup ia tidak pernah mengucapkan, :”Wahai Robb ampunillah dosa-dosaku dihai pembalasan”. Hal ini menunjukkan dua hal :
1.                       Mereka (Ibnu Jad’an) tidak termasuk Ahlul Fatroh yang kebodohannya diamankan .
2.                       Karena da’wah para rosul telah sampai kepada mereka.Dan juga kalimat yang oleh Rosullulloh dijadikan sebab atas turunnya siksa bagi (Ibnu Jad’an) tidak akan mungkin ia ketahui tanpa peran tara seorang Rosul.
Dalam hadits Anas, Rosullulloh SAW melewati kebun korma Bani Najar, lalu beliau mendengar suara, lalu Beliau bertanya;” Apa ini ?” mereka menjawab:” Ini adalah kuburan seorang laki-laki dimasa jahiliyah”. Maka Rosullulloh SAW bersabda:
(( لَوْلاَ أَنْ تُدَافَنُوْا لَدَعَوْتُ اللهَ أَنْ يُسْمِعَكُمْ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ مَاأَسْمَعَنِي ))

   “Seandainya kalian ini akan dikubur bukan lantaran da’wah (agama) Alloh, -aku berharap- Alloh memperdengarkannya bagiku”. [49]
Syaikh Nasir berkata:” Dari hadits diatas bisa diambil kesimpulan bahwa orang-orang yang mati (jahiliyah) sebelum diutusnya Nabi SAW disiksa lantaran kesyirikan dan kekafiran mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mwreka itu sebenarnya telah mendapatkan da’wah para nabi dan rosul sebelum Nabi Muhammad SAW”. [50]
  Juga dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas ra bahwaseorang laki-laki berkata:” Wahai Rosullulloh, dimanakah ayah saya (surga/neraka) ?” jawab beliau:” Di neraka”. Maka tatkala ia memukul-mukul tengkuk (sedih) Rosullulloh memanggilnya, seraya bersabda :” Sesungguhnya ayahku dan ayahmu dineraka”.[51]
  Maka keadaan orang tua nabi dan juga orang tuanya –yang telah Nabi sabdakan masuk neraka- telah mati sebelum diutusnya Nabi SAW. Hal ini juga menjadi bukti bahwa mereka telah mendapatkan da’wah dan peringatan dari Nabi-nabi terdahulu. Dan mereka tidaklah menjadi Ahli Al Fatroh yang kebodohannya dimaafkan.
  An Nawawi didalam syarhnya mengatakan :’’ Bahwa orang yang mati diatas kekafiran adalah dineraka, dan tidak akan bermanfaat bagi mereka syafa’at orang-orang yang dekat (kerabat), dan bahwa orang-orang yang mati pada masa orang-orang arab jahiliyah –yang menyembah patung- adalah dineraka. Tidaklah akibat yang demikian itu lantaran belum tersampainya da’wah, akan tetapi telah sampai kepada mereka itu seruan dan da’wah Nabi Ibrahim as serta nabi-nabi yang pernah Alloh utus”. [52]
  Syaikh Abdul Mun’im berkata:” Pendapat itulah yang kita pilih, bahwa orang-orang kafir sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah termasuk Ahlul Fatroh dari segi terputusnya da’wah (peringatan) rosul. Dan bagi mereka berhak mendapat siksa neraka”. Demikian sebagaimana disebutkan oleh Nawawi.[53]
Catatan…………………….
          1). Dalam hal ini kita tidak boleh menghukumi secara ta’yin (orang perorang) tapi harus secara umum, sebab ada diantara manusia yang sudah berusaha mencari ilmu (da’wah) para rosul tapi ia tidak mendapatkannya –padahal telah diutus kepada manusia para rosul-. Sebagai contoh : Pada jaman sebelum diutusnya Nabi SAW adalah tergolong Ahlul Fatroh yang kebodohannya tidak diampuni sebab telah datang kepadanya da’wah para Nabi dan wajib atas mereka siksa neraka. Tapi hal ini tidak berlaku bagi tiap individu-individu. Sebagaimana halnya Waraqah Ibnu Nufail yang meninggal sebelum Rosullulloh SAW menjadi Nabi. Dalam hadits Nabi SAW bersabda:
(( لاَ تَسُبُّوْا وَرَقَةَ بْنِ نَوْفَلَ فَإِنِّي رَأَيْتُ لَهُ جَنَّةً أَوْجَنَّتَيْنِ ))
   Jangan kalian cela Waraqah Ibnu Naufal, sungguh aku melihat bagi dia satu atau dua surga”. (2)
  2). Timbul pertanyaan : Apakah setelah kenabian Muhammad SAW ada Ahlul Fatroh ? dan apakah kebodohan mereka diampuni ?
  Telah dibahas pada pembahasan diatas bahwa sebab diampuninya jahl              –kebodohan- Ahlul Fatroh adalah lantaran tidak tersampainya kepada mereka da’wah dan peringatan dari para rosul.jadi tidak menuutup kmungkinan setelah kenabian Nabi SAW ada ahlul fatroh dan kebodohan mereka terampuni, hal ini selama syarat-syarat diatas terpnuhi, yaitudakwah kenabian. Jika kedua ahlul fatroh (sebelum dan sesudah Nabi SAW) sama-sama terhalang untuk mendapatkan dakwah kenabian, dan bagi yang sebelum masa kenabian terampuni namun mengapa yang sesudah masa kenabian tidak?? Dan bagi yang membedakan antara kedua golongan ini hendaknya mendatangkan suatu bukti (hujjuah) yang benar. Demikian yang disebutkan oleh Syaikh Abdul Mun’im Mustofa Halimah.

Kapankah Al Jahl Tidak Bisa Dijadikan Sebagai Udzur ?
 Dalam pembahasan ini ada beberapa keadaan yang mana jahl (bodoh) tidak bisa di gunakan dasar sebagai (udzur) oleh seseorang dalam melakukan aksi kemaksiatan atau kemungkaran :diantaranya adalah:
Pertama : Tidak mau dalam menuntut ilmu, mencari tahu atrau meneliti dan memahami apa-apa yang ada penjelasannya dalam Alqur’an dan Assunnah, Ia tiadak mau menyempatkan waktunya untuk mendatangi tempat-tempat ilmu,tidak punya semangat dan keteguhan hati. Barang siapayang kebodohanya (dari) tidak mendapat ilmu dan peringatan-peringatan baik itu dari Alqur’an maupun Assunahdi sebabkankeengganan dia dari menuntut ilmu,maka kebodohan itutidak bisa dijadikan dalil bahwa ia belum tahu.Kebodohanitu juga tidak akan bisa memberi syafaat baginya,tidak juga dari azab dan murka dari Allah SWT .ia tetap akan mempertanggungjawabkan atas semua yang telah ia kerjakan.hal ini sebagaimana yang telahalllah Firmankan:
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَذَّبَ بِئَايَاتِ اللهِ وَصَدَفَ عَنْهَا سَنَجْزِي الَّذِينَ يَصْدِفُونَ عَنْ ءَايَاتِنَا سُوءَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يَصْدِفُونَ
‘maka siapakah yang lebih dzalim dari pada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling dari padanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada Orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka seallu berpaling.” (Al An’am:157 ).
Firman Allah "صَدَفَ عَنْهَا"    itu berpaling. Demikianlah yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Qotadah dan Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir di dalam tafsirnya mengatakan : “Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat-Nya, menutup-nutupi (tidak peduli), tidak mentadabburi serta tidak mau untuk berusaha tahu, yang kemudian (balik) beriman terhadap apa-apa yang diperintahkan oleh kitab Allah,mempercayai kenabian Muhammad SAW serta mengimani apa-apa yang datang melalui lisannya.[54]
Allah berfirman: “Dansiapakah yang lebih dzalim daripada oraang-orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat dari Tuhannyalalu ia berpaling daripadanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya?…”(Al kahfi 57)
Ibnu Katsir berkata:” Allah berfirman bahwa manusiamanakah yang lebih dzalim daripada orang-orang yang telah diperingatkan denagn ayat-ayat Allah lalu ia berpaling, yakni melupakan, menolak, serta tidak mau mendengarkan.[55]
Dan masih banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkkan bahwa bodoh yang disebabkan karena kedzaliman dan kesombonga mereka, tidaklah menjadi udzur (alasan) yang syar’I, bahkan inilah jenis kedzaliman yang besar yang dikerjakan oleh manusia, maka pantaslah ia mendapatkan laknat dan murka dari Allah.

Kedua :Barang siapa yang kebodohannya tersebut disebabkan oleh taqlid (fanatik) mereka kepada nenek moyang dan pendahulu mereka.Padahal ia mampu ubtuk mencari pengetahuan dan kebenaran, teeapi ia tetap tunduk dan patuh kepada nenek moyang dan para pemimpin umat yang zalim. Maka kebodohan yang disebabkan ole hal itu tidaklah dimaafkan oleh syariat. Firman Allah:
(( يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوْهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُوْلُوْنَ يَالَيْتَنَا أَطَعْنَااللهَ وَأَطَعْنَاالرَّسُوْلاَ وَقَالُوْارَبَّنآ إنّآ أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرآءَنَا فَأَضَلُّوْنَا السَّبِيْلاَ ))
“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, maka mereka berkata: “ alangkah baiknya, andai kata kami taat kepada Allah dan taat kepada Rasul.” Dan mereka berkata:” Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin kami dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).”(Al Ahzab 66-67)
Ibnul Qoyim –rahimahullah- memberi komentar : “kelompok muqolidin (fanatik), orang-oarang kafir yang bodoh, pengikut-pengikutnya, cecunguk-cecunguk mereka yang selalu mengikut kepada mereka berkata: “ Sesungguhnya kami dapati bapak-bapak kamidemikian (mengikuti moyang kami dalam kezaliman ) dan kami juga mengambil teladan mereka.” Dengan demikian mereka telah keluar/meninggalkan (orang-orang) islam yang tidak memerangu meerek, seperti halnya kaum wanita muharibin (orang-orang yang memerangi), pembantu-pembantu dan pengikut-pengikut mereka yang tidak ikut bersusah payah sebagaimana bersusahpayahnya (orang-orang) kafir dalam rangka mematikan dan memadamkan cahayadari agama Allah. Akan tetapi mereka (orang-orang yang taqlid) adalah seperti binatang adanya. Dan para ulama’ telah sepakat bahwa kelompok ini (pen-taqlid) telah kafir meskipun mereka ini orang-orang bodoh yang hanya mengikut kepada pemimpin-pemimpin mereka. Kecuali apa yang telah dikatakan oleh ahli bid’ah, bahwamereka tidaklah dihukumi kafir dan tidak akan dihukumi sabagai penghuni neraka, akan tetapi mereka ini hanyalah seperti orang-orang yang belum mendapatkan –dakwah- pengetahuan tentang islam. Ini adalah pendapat yang tidak didapatkan pada generasiawal ataupun setelahnya, akan tetapi pendapat ini didapat dari ahlu kalam yang mengada-ada dalam islam.
Maka hukum akhir dari golongan ini adalah kafir yang tidak menentang, namun tidak menentangnya mereka inipun tidak mengeluarkan mereka dari garis kekafiran. Karena kafir itu adalah siapa saja yang menentang Allah dan mendustai Rasul-Nya baik dengan penentangan yang nyata, bodoh, taqlid (ikut kepada orang-orang yang kafir kepada Allah dengan cara penentangan. Jadi meskipun mereka itu tidak termasuk orang-orang yang menentang, akan tetapi ia itu taqlid (ikut) kepadanya. Maka berlakulahbagi merekaitu firman Allah:
((  رَبَّنَا هَاؤُلآءِ أَضَلُّونَا فَئَاتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِّنَ النَّارِ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَلَكِن لاَّتَعْلَمُونَ ))
“Ya Tuhan kami,mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkan kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka.” Allah berfirman:” masing-masing nendapat (siksaan), yang berlipat ganda,akan tetapi kamu tidak mengetahui.”(Al a’rof 38)
Di dalam ayat lain dikatakan: firman Allah:” dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkatakepada orang-orang yang membanggakan diri,:” Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikut kamu maka dapatlah kamu menghindarkan kami dari sebagian dari azab api neraka?” Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab: “ sesungghnya kita semua sama-sama dalam neraka karena sesungguhnya Allah SWT telah memutuskan ketetapan antara hamba-hamba-Nya.”(Al-Mukminun 47-48)
Ini adalah pengabaran dari Allah bahwa orang yang taqlid (mengikut)itu sama-sama menanggung siksa, dan kebodohan mereka lantaran taqlid tidak bisa bermanfaat baginya.[56]
Ketiga : jika kebodohan itu timbul karena prasangkanya bahwa dia ada di atas kebenaran. Sehingga hal itu menjadikannyaenggan untuk mencari ilmu dan kebenaran dari orang lain. Maka kebodohan yang semacam inipuntidak dimaafkan oleh syar’i. Dan prasangka –bahwa ia berada di jalan yang benar- itupun tidak bisa memberi manfaat dihadapan Allah. Frman Allah:
(( وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفسِدُوا فِي اْلأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ * أَلاَ إِنَّهُم هُمُ الْمُفِسِدُونَ وَلَـكِن لاَّ يَشْعُرُونَ ))
“Dan bila dikatakan kepada mereka: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang berbuat kerusakan,tetapi mereka tidak sadar.”(Al Baqoroh 11-12)
Al Alusi di dalam tafsirnya berkata:” hal itu bukan berarti bahwa Allah tidak mencela orang-orang yang berbuat kerusakan tanpa ilmu, akan tatapi celaan itu ada;lah bagi mereka yang berbuat kerusakan atas dasar ilmu, dan orng yang menganggap remeh padahal ia punya pengetahuan tentang itu adalah tercelatanpa adanya keraguan, bahwa ia adalah sejelek-jelek manusia.”[57]
Asy Syankithy berkata:” Nas-nas di dalam Al Quran ini menunjukkan bahwa prasangka orang-orang kafir bahwa mereka di atas jalan yang benar adalah dsalah, karena dalil-dall yang dibawa oleh Rasul- rasul itu tidaklah mungkin tercampuri dengan subhat. Akan tetapi karena kefaqnatikan orang-orang kafir kepada kekafirannya itu menjadikan dalil-dalil dari Al Qur’an ibarat matahari (jelas) bagi mereka, sehingga karena tidak ada lagi uzur bagi mereka.”[58]
Keempat:  Jika kebodohan itu disebabkan oleh kesombongan dan penolakan mereka. Maka kebodohan ia itu tidak akan menjadikan ia selamat dari siksa Allah. Seperti dalam firman Allah:
(( وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنّ لَمْ يَسْمَعْهَا كَانَ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ ))
“ Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan dia sumbatkan di kedua telinganya, maka beri kabar gembira kepadanya denag azab yang pedih.” (Lukman : 7).
Jadi meskipun mereka mendenagr, tetapi laqntaran kesombongannya itu maka ia tidak mendengarkan hal itu dalam rangka ketaatan dan keimanan.
Ibnu Jarir mengatakan ولى مستكبرا adalah membelakanginya, sombong dan menolak untuk mendengarkannya.[59]
Kelima :  Jika kebodohan itu disebabkan kerasnya hati mereka. Sehinggadengan begitu ia enggan untuk mencari ilmu yang bermanfaat, atau memfikirkan ayat-ayat Allah. Maka mana mungkin Jahl (kebodohan) semacam ini bisa diterima (ditoleransi)??
Firman Allah:

(( فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِنْ ذِ كْرِ اللهِ أُوْلَئِكَ فِي ضَلاَ لٍ مُبِيْنٍ ))

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (Az Zumzr 22)

[ 2 ] Al Khotho`u ( Kesalahan ).
          Al Khotho`u bila dilihat dari segi bahasa berasal dari kata :
خطئ ( خطاء). ضد أ صاب
“ Khothia – Khotho`an: ( yaitu ) lawan kata dari benar.” [60]
Adapun bila diartikan secara istilahan :
Berkata Ibnu Rijab  - Rohimahullah - : yang dimaksud dengan salah adalah bermaksud dengan sesuatu pekerjaan namun justru mengerjakan sesuatu yang tidak dimaksudkan . Seperti hendak membunuh orang kafir, tapu yang dibunuh justru orang islam .[61]
Dalam Al Qur`an Allah juga menyebutkan tentang al khotho`, seperti firman Allah dalam surat al ahzab ayat; 5 :
(( وَ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمآ أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَاتَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ))
“ Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya , tetapi ( yang ada dosanya ) apa yang disengaja oleh hatimu “.
Al Imam Ath Thobari mengungkapkan tentang ayat Allah “ tetapi ( yang ada dosanya ) pa yang disengaja oleh hatimu “. Bahwa sesuatu yang disengaja adalah terjadi setelah adanya keterangan dan larangan.[62]
Juga dalam hadits , dari Anas Ibnu Malik ra bahwa Rasulullah SAW bersabda :

(( كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطّآءُوْنَ وَخَيْرُ الْخَطّآئِيْنَ التَّوَّابُوْنَ ))

Setiap anak adam pasti punya salah . dan sebaik-baik orang yang salah adalah betaubat”.[63]
Makna dari “ sebaik-baik orang yang bersalah adalah bertaubat ” adalah kembali kepada Allah SWT dengan bertaubat dari perbuatan maksiat untuk berbuat ketaatan.[64]
Juga dalam hadits Nabi SAW :
(( إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَ إِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ ))
“ Apabila seorang hakim menetapkan hukum kemudian ia berijthad dan tepat maka baginya dua pahala, dan bila ia menetapkan hukum kemudian ia berijtihad dan salah maka baginya satu pahala “. [65]
Al Hafidz Al Baghdadi berkata : “ Seandainya dikatakan , bagaimana mungkin orang yang salah memdapatkan pahala seharusnya ia mendapat dosa, karena berlebih-lebihan dalam berijtihad sehingga menyebabkan kesalahan . Maka jawabannya adalah : pendapat seperti ini tidak benar, karena Nabi SAW tidak pernah menjanjikan pahala bagi orang yang salah , akan tetapi pahala itu diberikan karena ijtihadnya. Sedangkan kesalahannya dimaafkan karena ketidak sengajaan. Bagi orang yang beriktihad dan  tepat maka dapat satu pahala karena ijtihadnya dan satu pahala karena benar dalam berijtihad ”. [66]
Dalam hal ini ada beberapa hal yang disampaikan oleh Ibnu Taimiah . yaitu :
1.] Adanya  kesalahan dari seorang muslim merupakan salah satu mani` ( penghalang ) untuk mengafirkan secara muayyan.
2.] Allah memerintahkan untuk mencari kebenaran sekemampuan diri, jika dalam ijtihadnya bekum mengena maka Allah tidak membebani.
3.] Syarat mujtahid yang tidak  dihitung dosa - bila ia salah - dan tetap mendapat pahala satu atas pahalanya adalah :
? Niat dalam berijtihad hendaknya karena mutaba`ah ( mengikuti ) Rosulullah .
? Betul-betul untuk mencari kebenaran .
? Mengikuti prosedur yang benar. [67]
Syaikh Muhammad Al Khodzri berkata :” ……adapun al khotho` yang berkaitan dengan hak-hak Allah , maka syara` menjadikan kesalahan tersebut sebagai udzur apabila hal itu timbul dari ijtihad……tidak ditegakkan atasnya had dan juga qisos.  Sebab sanksi itu ditegakkan hanya berdasar pada kesalahan (nya) semata .
Sedangkan al khotho` yang berkenaan dengan ahak-hak seorang hamba maka hal itu tidak bisa dijadikan sebagai udzur , ia harus mengganti kerusakan yang ditimbulkan, dan jika hal itu berkaitan dengan pembunuhan maka ia harus mendapatkan diat,…..Cuma sanksi yang diterimanya akan diringankan. “ [68]

[ 3 ] At Ta`wil ( mentafsirkan ).
          Diantara penghalang-penghalang jatuhnya vonis kafir adalah adanya  ta`wil yang secara jelas telah diakui oleh syar`i. Maka barang siapa yang menyelisihi syar`I dikarenakan adanya ( kesalahan ) ta`wil maka ia terhindar dari ancaman siksa.
          Sebagai contoh adalah apa yang telah dialami oleh  sahabat ( yang pernah ikut perang badar ) , Qudamah Ibnu Madz`un ketika menta`wilkan firman Allah :
(( لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحُُ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَااتَّقُوْا وَءَامَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَّأَحْسَنُوا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ))
          “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal sholih  karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa  serta beriman dan beramal sholih ….”.( Qs. Al Maidah : 93 ).
Sahabat tersebut menghalakan bagi dirinya untuk meminum  khomr atas dasar anggapan bahwa dia termasuk dari orang-orang yang beriman  dan beramal sholih .. dengan begitu  tidak ada dosa baginya apabila meminum khomr. ( Penghalalan  ini ) adalah bagian dari kekafiran. Akan tetapi  hal yang menjadikan sahabat ini melakukan hal tersebut lantaran  ta`wil dan pemahaman yang salah terhadap ayat , maka ia tidak menjadi kafir. Para sahabat berijma` untuk memberikan waktu ( tenggang ) untuk bertaubat serta ditegakkan baginya hujah , apabil aia  masih ( terus ) dalam penghalalan khomr maka ia harus dibunuh sebagai seorang yang kafir dan murtad, sebab telah mengubah dan mengganti  ( hukum )  serta menghalalkanapa yang telah Allah haramkan . Namun sahabat iru sangatlah menyesali atas perbuatannya.
          ( Hal Ini ) juga  telah dilakukan oleh sahabat Nabi SAW Adi Bin Hatim ketika ment`wilkan firman Allah : “ .. dan makan dan minumlah sehingga terang bagimu  benang putih dan benang hitam, yaitu fajar”. ( Qs, Al Baqoroh : 187 ). Maka ia membentangkan benang hitam dan benagn putih pada kakinya , lalu ia terus saja makan hingga jelas baginya antara benang putih dan benang hitam. ( Demikian itu ) samapi Nabi  memberi penjelasan kepadanya: “ Maksudnya bahwa hal itu adalah antara cahaya siang dan malam “. Namun begitu Nabi SAW tidak mencelah  atas kesalahannya dan tidak pula menyuruhnya untuk mengulangi puasanya.
          Dari penjelasan diatas kita bisa katakan : ( bahwa ) ta`wil yang secara benar telah diakui oleh syar`I , disatu sisi ia adalah pencegah dari vonis kafir,  juga bisa untuk menghindarkan dari ancaman siksa .[69]

[ 4 ]  Al Ikroh ( paksaan )
          Ikroh ( paksaan ) adalah memaksa seseorang dengan kekeuatan agar ia mengerjakan  atau mengucapkan sesuatu, sedangkan orang tersebut tidak menyukainya lantaran menyelisihi syar`i. [70]
          Ibnu Taimiah berkata : ( adalah ) sesuatu yang diancamkan kepada seseorang, apabila ia tidak mau mengerjakan maka akan dipukul , dipenjara, dirampas hartanya, atau dipotong sumber rizki  yang telah menjadi haknya dan lain-lain”. [71]
          Macam-macam ikroh :
Pertama : Ikroh Al Mulji` ( At Tam ) : Yaitu pemaksaan atau ancaman yang terjadi pada diri orang yang diancam.  Dan tidak ada kemampuan untuk menolak atau memilih. Seperti :  Seorang yang ancam untuk dibunuh , dipotong salah satu anggota badannya , dipikul dengan pukulan yang keras yang menyebabkan kehancuran atau lenyabnya seluruh hartanya. Maka ketika menurut pertimbangannya bahwa yang diancamkan pada dirinya akan betul-betul terjadi, maka dibolehkan bagi  dirinya untuk mengambil langkah demi menyelamatkan diri dari ancaman berdasarkan kondisi darurat.
Kedua : Ikroh Ghoiru Al Mulji` ( An Naqishoh ) : Yaitu ancaman selain ancaman bunuh dan pencideraan angghota badan . Sepereti ditakut-takuti akan dipukul, diikat, dipenjara, atau dimusnahkan sebagian hartanya.
Yang menjadi perselisihan adalah apabila yang diancam ( disandera ) salah satiu dari anggota keluarga, bapak, istri , saudara perempuan, ibu dan lain-lain. Apakah ini termasuk bentuk ikrih atau bukan ?
Seandainya dikiaskan  maka ini bukanlah ternasuk bentuk ikroh karena acaman itu tidak langsung menimpa pada diri orang tersebut. Namun secara istihsan hal yang demikian itu bisa dikategorikan  sebagai ikroh, sebab orang yang diancam akan meresa kesedihan atau kesulitan jika salah satu anggota keluarganya diancam, sehingga ia berusaha untuk menolong  dengan memenuhi tuntutan  orang yang mengancam  sebagaimana jika hal itu terjadi pada dirinya. [72]
Kapan ikroh menjadi udzur ?
Ada beberapa syarat agar pengakuan bahwa ia termasuk orang yang dipaksa  diterima secara syar`I:
Pertama: Orang yang mengancam mampu untuk malakukan ancaman tersebut, karena ancaman tidak akan terlaksana tanpa adanya kemampuan. Seandainya orang yang mengancam tidak mungkin bisa untuk melakukan ancaman itu mak  yang seperti ini bukan ikroh.
Kedua : Orang yang diancam tidak mampu untuk menolak , lari, atau minta pertolongan .
Ketiga : Yakin bahwa acaman itu  terlasana.
Dalam hal ini hendaknya ancaman itu memang bahaya  sekali. Seperti : dibunuh, disiksa dengan siksaan yang kejam, diikat atau dipenjara dalam waktu yang lama. Adapun celaan dan hinaan bukan termasuk ikroh.  Begitu juga dengan ancaman akan diambil  sedikit dari hartanya . [73]
Syaikh Abdul Mun`im  Musthofa  Halimah Abu Basir dalam makalahnya juga memberi cacatan sebagai berikut :
1.     Tidak melakakukan kekafiran itu sehingga ancaman tersebut dilaksanakan, atau sampai keyakinan  bahwa hal itu  ( pasti ) akan terlaksana . Dan ancaman tersebut bisa menimbulkan  kehancuran cacat.
2.     Keyakinan ( hati ) masih lurus  terhindar dari kufur.
3.     Tidak menampakkan kekufuran tersebut kecuali sebatas  ( kadar ) siksaan yang didapat.
4.     Apabila ancaman tetsebut belum terlaksana , dan dia mempunyai kesempatan  untuk menghindar ( lari ) tapi dia tidak laksanakan  maka ikroh yang ada pada dirinya batal.
5.     Tidak menghilangkan kerusakan dengan kerusakan yang semisal atau bahka lebih. Seperti menghindari pembunuhan pada dirinya dengan membunuh saudaranya ( muslim ) yang lain . Sebab jiwanya tidak lebih mahal dari jiwa saudaranya tersebut.
6.     Ia tidak boleh membunuh kaum muslimin bila ia dipaksa untuk keluar berperang bersama pasukan musyrikin meskipun hal itu bisa membawa pada kematiannya.
7.     Bersabar dalam paksaan ( meskipun mati ) adalah lebih baik. [74]

III. PENUTUP
          Sungguh banyak kiranya mutiara ilmu dari para ulama` bila kita ingin membuka lembaran-lembaran kitab mereka. Banyaknya orang yang terlalu mudah untuk menjatuhkan vonis kafir, salah satu sebabnya adalah butanya mereka dari petunjuk dan keterangan dari para ulama`. Kalau bukan karena terbatasnya kemampuan dan kekuatiran penulis dari tebalnya makalah ini, sungguh akan kami sebutkan semua dari apa yang telah dijelaskan oleh para ulama` salaf, sehingga tidak ada lagi hujjah bagi kita untuk memvonis seseorang dengan sebelah mata  dan hati yang terkunci. Dan saran serta perbaikan–lah yang penulis harapkan, semoga tulisan kecil ini bisa memberi sedikit sumbangsih bagi kaum muslimin khususnya para da`i dan juru dakwah. Amin........


Daftar Pustaka   

1.     Fatrul Bari Bi Syarhi Shohihil Bukhori, Al Hafidz Ahmad Ibnu Ali Ibnu Hajar, Darul Kutub, cet. I : 1420 H/ 2000 M.
2.     Sohihul Muslim Bi Syarhil Muslim, Al Imam An Nawawi, Darul Kutub Al Ilmiah, cet.I : 1421 H/ 2000 m.
3.     Majmu` Fatawa, Ibnu Taimiah , Thn. 1418 H/ 1997 M.
4.     Manhaj Ibnu Taimiah Fi Mas`alasti At Takfir, Ibnu Taimiah,cet. Adhwa`us Salaf. Thn. 1997 M.
5.     Majalah As Sunnah , Edisi 12/ VII/ 1424/2004 M.
6.     Al Munjid, cet. Darul Masyriq, Thn : 1960 M.
7.     Al Munawir, Ahmad Warsun Munawar, Surabaya , Thn. 1997 M.
8.     Lisanul Arob,Jamaluddin Muhammad Ibnu Mukrom, Darul Fikr
9.     Al Masa`ilu Al Lati Kholata Fiha Ar Rasululloah SAW Al Jahilliata, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, cet. Darul Muayyad, 1416 H/ 1996 M.
10.            Adh Dhowabi At Takfir Inda Ahli As Sunnat`i Wal Jama`ati, Abdullah Ibnu Al Qorny, cet. Muassasah Ar Risalah. Thn. 1413 H.
11.            Nawaqidhul Iman  I`tiqodiah Wa Dowabit At Takfir Inda Salaf,
12.            Fathul Qodir, Al Imam Asy Syaukani, darul Kutub Al Ilmiah, cet.I  : 1415 H / 1994 M.
13.            Syarah Aqidah Ath Thohawiah, Imam Al Qodhi Ali  Ibnu Ali Ibnu Ali Muhammad Ibnu Abil IzAd Dimasyqi, Dar Alamil Kutub, 1418 H / 1997 M.
14.            Tafsir Al Qur`an Al Adzim, Ibnul Katsir, Maktabah Al Ashriah , cet. III : 1420 H.
15.            Jami`ul Bayan An Ta`wil Ayil Qur`an, Ibnu Jarir Ath Thobari, Darul Fikr, cet. I : 1421 H / 2001 M.
16.            Tasir Al Aziz Al Hamid, Sulaiman Ibnu Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu Absil Wahhab. Bairut  1405 H /1985 M.
17.            Al Wafi Fi Syarhi Al Arba`inAn Nawawiah, Maktabah Darut Turots, cet. 1413 H / 1992 M.
18.            Tuhfatul Ahwadzi, Imam Abil Ula Muhammad Abdurrohman Ibnu Abdirrohman Muhammad Al Mubarokfuri, Darul Fikr, 1415 H / 1995 M.
19.            Ruhul Ma`ani Fie Tafsiri Al Qur`anil Adzimi Wa As Sab`i Al Matsni, Al Alamah Abil Fadhl Syihabuddin As Sayyid Mahmud Al Alusi  Al Baghdadi, Darul Fikr, cet. 1408 H / 1987 M.
20.            Al Jami` Li Ahkamil Qur`an, Al Imam Al Qurthubi,
21.            Adhwa`ul Bayan Fi Idhohi Al Qur`an Bil Qur`an, Syaikh Asy Syinqithi, Alamul Kutub – Bairut.
22.            Silsilah Al Ahadits Ash Shohihah, Muh. Nashiruddin Al Albani, Al Maktabah Al Ma`arif – Riyad. Cet. Thn. 1415 H / 1995 m.






[1] Hr. Al Bukhori. Dalam kitab “ Al Adab” . cet: Darul Kutub. Thn, 2000 m. 12/ 143. Muslim dalam kitab “  Al Iman “ . cet: Darul Kutub Al Ilmiah Thn: 2000 m. 2/43.
[2] Lihat: manhaj Ibnu Taimiah Fie Mas`alati At Takfir, cat: Adhwa`u s . Salaf Thn 1997. 1/37.
[3] Majalah 'As- Sunnah , edisi  12/ VII / 1424/2004 m. Hal: 47.
[4] Majmu` Fatawa , 11/ 407.
[5] Lihat , Al Munjid, hal : 108. Al Munawir , hal: 219.
[6] Lisanul Arob, 11/219. Al Masa`ilu Allati Kholafa Fiha Ar Rosulullah Al Jahilliah,1/ 55.
[7] Al Muwalah Wa Al mu`adah Fie Syari`ah Al Islamiah, 1/335. Juga dalam Al Mufrodat , hal : 102. dan juga dalam  Ta`rifat , hal : 84.
[8] Shohih Bi Syarhi An Nawawi, Darul Kutub Al Ilmiah ,cet. I : 1421 H/ 2000 M, 11/ 4 , no ( 1579 ).
[9] Al Muwalatu wal Mua`datu Fie Syariatil Islamiah, 1/337.
[10] Hr Shohih Muslim. 12/2.
[11] Fathul Qodir, 1/ 633. Darul kutub Al Ilmiah , cet. I 1415 H.
[12] Shohih Muslim, bab; Tahrimu Qotli Aql Kafiri  ba`da  An Qola Laa Ilaha Illahu”, cet. Darul Kurtub . Thn : 2000 m. 2/89.
[13]  Ibid
[14] Lihat Dhowabit At Takfir  Inda Ahlis Sunnah Wal Jmaah. Abdullah bin Al Qorny , hal : 210-221. cet. Muassasah Ar Risalah, thn. 1413 H.
[15] Nawaqidul Iman I`tiqodiah Wa Dhowabitut Takfir Inda Salaf : 1/ 209.
[16] Manhaj Ibnu Taimiah Fie mas`alati At Takfir. Cet. Maktabah Adhwa`us Salaf, 1418 H. 1/ 192.
[17] Kata Roo`ina sama dengan kata “ Undzurna “ . Namun kata  Roo`ina biasa diucapkan orang yahudi disebabkan ada makna yang dikonotasikan jelek. Lihat catatan kaki terjemahan  Al Qur`an  Departemen agama.
[18] Ibid . hal : 211.
[19] Majmu` Fatawa, 1/113.
[20] Majmu` Fatawa, 35/ 165 .
[21] Majmu` Fatawa, 3/ 229.
[22] Manhaj Iabnu Taimiah  Fie Mas`alati AtTakfir : 1/ 225.
[23] Hr AQl Bukhori, Dalam kitab  “ Al I`tishom  Bil Kitab  Wassunnah  “ bab “ Al  Iqtida`I bisunani  Rosulilah SAW “ no: 6777. Dam Muslim dalam kitab ‘ Al  Fadho`il “ no : 1337.
[24] Syarah Aqidah Ath Thohawiah , cet. Al Maktabah  Al Islam , hal : 271
[25] Qowa`idul Ahkam , 2/5.
[26] Tafsir Al Baghowi, 2/132.
[27] Ja`miul Bayan, 7/ 130-131.
[28] Al Fashlu Fie Al Milal  Wal Hawa` Wannahl, 3/253.
[29] Tafsir Ibnu Kastir, 2/253.
[30] Sebuah pohon besar yang biasa digunakan untuk mencari berkah oleh orang-orang musyrik.
[31] Hr. Ahmad, 5/218. thurmudzi , dalam kitab Al Fitan , 3/474.Ath Thiyalisi ,( 1346 ), Abdurroza` ( 20763 ), Ath Thobari ,9/31.
[32] Tafsir Al Aziz  Al Hamid, hal : 180.
[33] Hr, Al Bukhori, 6/513. dalam kitab An Biya`. Dan juga Muslim dalam kitab  At taubah 17/ 70-73.
[34] Majmu` Al Fatawa, 11/ 409.
[35] Fathul Bari, 6/ 523.
[36] At Tahmid, 18/ 46/47.
[37] Madarijussalikin, 1/367.
[38] Kitab Nawaqidul Iman  Al i`tiqodiah , hal : 242.
[39] Kitab Nawaqidul Iman  Al I`tiqodiah , hal : 242.
[40] Al Munjid, hal : 20
[41] Al Munawir, hal: 46
[42] Al Munawir, hal ; 1031.
[43] Tafsir Al Qurthubi, 14/ 85.
[44] Lihat Tafsir Al Qurtubi, 6/121.
[45] Ruhul Ma`ani , karangan Al ALusi, 4/ 20.
[46]  Ja`miul bayan, 4/ 36-38.
[47] Tafsir Ibnu Kastir, 1/ 397.
[48]  Hr. Muslim dalam kitabu “ Al Iman ‘ 1/ 196.
[49] Silsilah Al Hadits Ash Shohohah , hal ; 158.
[50] As Silsilah Ash Shohihah, 1/247.
[51] Lihat dalam shohih Muslim
[52] Syarah Muslim 7/ 45.
[53] Lihat Adhwa`ul Bayan, 2/ 338.
[54] Jami’ul Bayan 15 : 268
[55] Tafsir Qur’anul Adzim 3 : 96
[56]  Toriqul Hijrotaini 411 - 412
[57] Ruhul Ma’ani I : 154
[58] Adwaul Bayan II : 298
[59] Jami’ul Bayan 21 : 64
[60] Kamus Al Munjid Fie Al Lughoh. Hal : 186.
[61] Nawaqidhul Iman Al I`tiqodiah,1/ 303. lihat juga kitab “ Al Wafi  Fi Syarhi Al Arba`in An Nawawiah. Hal : 344. Maktabah Darut Turots. Cet.1413 H/ 1992 M.
[62] lihat Jami`ul Bayan , 11/ 129 Darul fikr. Cet. I :1421H/ 2001 M.
[63] HR. Thurmudzi dalam kitab “ Tuhfadzul Ahwadzi ´7/ 214 ( 2499 ). Darul Fikr , cet. 1415 H.
[64]  Ibid.
[65] HR. Al Bukhori dalam kitab “ Fathul Bari” . Bab “ Ajrul Hakim Idza Ijtahada Fa Ashoba Au Akhtho`a “ . Darul Fikr. Cet. I: 1420 H. 15/ 257. no: ( 7352 ). Dan Muslim no: ( 1716 ).
[66] Nawaqidul Iman Al I`tiqodiah: 1/ 307.
[67] Manhaj Ibnu Taimiah  Fi  Mas`alati At Takfir : 1/ 249-250.
[68] Lihat, Ushul Fidh, Syaikh Muhammad Al Khodzri, Darul Fikr, cet. 1389 H / 1969 M. hal : 105.
[69] Makalah Abu Basir.
[70] Makalah Abu Basir.
[71] Majmuatul Fatawa Al Misriah , 1/56. lihat : Manhaj Ibnu Taimiah  Fi Mas `alati At Takfir, 1/ 266.
[72] Nawaqidul Iman Al I`tiqodiah : 2/ 7-8. diambil dari kitab “ Kasyful atsar, Al Bazudi .4/ 383.
[73] Al Mughni, 7/ 120. Nawaqidul Iman , 2/ 15. Manhaj Ibnu Timiah Fi Mas `alti At Takfir, 1/ 266.
[74] Makalah Abu Basir.