Abu Dzar Al-Ghifari Radiyallahu 'Anhu
[1/3] (Tokoh Gerakan Hidup Sederhana)
Ia
datang ke Mekah terhuyung-huyung letih tetapi matanya bersinar bahagia�..Memang,
sulitnya perjalanan dan panasnya telah menyengat badannya dengan
rasa sakit udara padang
pasir dan lelah, tetapi tujuan yang hendak dicapainya telah meringankan
penderitaan dan meniupkan semangat serta rasa gembira dalam jiwanya.
Ia
memasuki kota
dengan menyamar seolah-olah ia seorang yang hendak melakukan thawaf keliling
berhala-berhala besar di Ka'bah atau seolah-olah musafir yang sesat dalam
perjalanan atau lebih tepat orang yang telah menempuh jarak amat jauh, yang
merlukan istirahat dan manambah perbekalan.
Padahal
seandainya orang-orang Mekah mengetahui babwa kedatangannya itu untuk menemui Muhammad
dan mendengar keterangannya, pastilah mereka
akan membunuhnya!
Tetapi
ia tak perduli akan dibunuh asal saja setelah melintasi padang pasir luas, ia dapat menjumpai
laki-laki yang dicarinya dan menyatakan iman kepadanya. Kebenaran dan da'wah
yang diberikan Muhammad
dapat memuaskan hatinya.
Ia
terus melangkah sambil memasang telinga, dan setiap didengarnya orang
memperkatakan Muhammad
, ia pun mendekat dan menyimak dengan
hati-hati; hingga dari cerita yang tersebar di sana-sini, diperolehnya petunjuk
yang dapat menunjukkan tempat persembunyian Muhammad
, dan mempertemukannya dengan beliau.
Di
pagi suatu hari ia pergi ke tempat itu, didapatinya Muhammad
sedang duduk seorang diri. Didekatinya
Rasulullah, katanya: "Selamat pagi wahai kawan sebangsa!"
"Alaikum salam, wahai shahabat", ujar Rasulullah.
Kata
Abu Dzar: "Bacakanlah kepadaku hasil gubahan anda!"
"Ia bukan sya'ir hingga dapat digubah, tetapi adalah Al Quran yang
mulia!", Ujar Rasulullah.
dibacakanlah oleh Rasulullah, sedang Abu Dzar mendengarkan dengan penuh
perhatian, hingga tidak berselang lama iapun berseru:
"Asyhadu
alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh".
Anda
dari mana, saudara sebangsa?", tanya rasulullah.
"Dari Ghitar'', ujarnya.
Maka terbukalah senyum lebar di kedua bibir Rasulullah, sementara wajahnja
diliputi rasa kagum dan ta'jub. Abu dzar tersenyum pula, karena ia mengetahui
rasa terpendam di balik rasa kagum Rasulullah demi mendengar bahwa orang yang
telah mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu, seorang laki-laki
dari Ghifar.
Ghifar
adalah suatu kabilah atau suku yang tak ada taranya dalam soal menempuh jarak.
Mereka jadi tamsil perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa.
Malam yang kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka, dan celakalah
orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam!
Sekarang,
dikala agama Islam yang baru saja lahir dan berjalan sembunyi-sembunyi,
mungkinkah ada diantara orang-orang Ghifar itu seorang yang sengaja datang
untuk masuk Islam? Berkatalah Abu Dzar dalam menceritakan sendiri kisah itu:
"Maka pandangan Rasulullah pun turun naik, tak putus ta'jub memikirkan
tabi'at orang-orang Ghifar, lalu sabdanya :
"
Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang disukaiNya�!
Benar,
Allah menunjuki,siapa yang Ia kehendaki ! Abu dzar salah seorang yang,
dikehendaki Allah beroleh petunjuk , orang yang dipilihNya akan mendapat
kebaikan
Dan
memang, Abu Dzar ini seorang yang tajam pengamatannya tentang kebenaran.
Menurut riwayat, ia termasuk salah seorang yang menentang pemujaan berhala di
zaman jahiliyah, mempunyai kepercayaan akan Ketuhanan serta iman kepada Tuhan
Yang Maha Esa lagi Perkasa, maka iapun menyiapkan bekal dan segera mengayunkan
langkahnya.
Abu
Dzar telah masuk Islam tanpa ditunda-tunda lagi�.! urutannya dikalangan Muslimin
adalah yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk agam itu pada hari-hari
pertama, bahkan pada saat-saat pertama agama Islam, hingga keIslamannya
termasuk dalam barisan terdepan.
Ketika
ia masuk Islam, Rasulullah masih menyampaikan da'wahnya secara berbisik-bisik.
Dibisikkannya kepada Abu Dzar begitupun kepada lima orang lainya yang telah iman kepadanya.
Dan bagi Abu Dzar, tak ada yang dapat dilakukannya sekarang selain memendam
keimanan itu dalam dada, lalu meninggalkan kota Mekah secara diam-diam dan kembali
kepada kaumnya.
Tetapi
Abu Dzar yang nama aslinya Jundub bin Junadah, seorang kuat dan revolusioner.
Telah menjadi watak dan tabi'atnya menentang kebathilan dimanapun ia berada.
Dan sekarang kebathilan itu berada dihadapannya serta disaksikannya dengan
kedua matanya sendiri�.Batu-batu yang ditembok, yang dibentuk oleh para
pemujanya, disembah oleh orang-orang yang menundukkan kepala dan merendahkan
akal mereka, dan diseru mereka dengan ucapan yang muluk : Inilah kami
, kami datang demi mengikuti titahmu!
memang,
ia melihat Rasulullah memilih cara bisik-bisik pada hari-hari tersebut, tetapi
tidak dapat tidak harus ada suatu teriakan keras yang akan dikumandangkan
pemberontak ulung ini sebelum ia pergi. Baru saja masuk Islam, ia telah
menghadapkan pertanyaan kepada Rasulullah:
"Wahai
Rasulullah, apa yang saya kerjakan menurut anda?"
"Kembalillah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!", ujar
Rasulullah.
"Demi Tuhan yang menguasai nyawaku", kata Abu Dzar pula, "saya
takkan kembali sebelum meneriakkan Islam dalam masjid!"
Bukankah
telah saya katakan kepada kalian�..?
Jiwa
yang kuat dan revolusioner! Apakah Abu Dzar pada saat terbukanya alam baru
secara gamblang, yang jelas terlukis pada Rasulullah yang diimaninya,
sertada'wah yang uraiannya disampaikan dengan lisannya�, apakah pada
saat seperti itu ia mampu kembali kepada keluarganya dalam keadaan membisu
seribu bahasa ? Sunguh, hal itu diluar kesanggupan dan kemampuannya!
Abu
Dzar pergi menuju masjidil haram dan menyerukan dengan sekeras-kerasnya
suaranya: "Asyhadu Alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar
rasulullah". Setahu kita, teriakan ini merupakan teriakan pertama tentang
Agama Islam yang menentang kesombongan orang-orang Quraisy dan memekakkan telinga
mereka�., diserukan oleh seorang perantau asing yang diMekkah
tidak mempunyai bangsa, sanak keluarga maupun pembela. Dan sebagai akibatnya,
ia mendapat perlakuan dari mereka yang sebetulnya telah dimaklumi akan
ditemuinya�.
Orang-orang
musyrik mengepung dan memukulnya hingga rubuh.
Berita
mengenai peristiwa yang dialami Abu Dzar itu akhirnya sampai juga kepada paman
Nabi, Abbas. Ia segera mendatangi tempat terjadinya peristiwa tersebut, tapi
dirasanya ia tidak dapat melepaskan Abu Dzar dari cengkeraman mereka kecuali
dengan menggunakan diplomasi halus, maka katanya kepada mereka :
"Wahai kaum Quraisy! Anda semua adalah bangsa pedagang yang mau tak mau
akan lewat dikampung Bani Ghifar. Dan orang ini salah seorang warganya, bila ia
bertindak akan dapat menghasut kaumnya untuk merampok kafilah-kafilahmu
nanti!" merekapun sama menyadari hal itu, lalu pergi meniggalkannya.
Tetapi
Abu Dzar yang telah mengenyam manisnya penderitaan dalam membela Agama Allah,
tak hendak meninggalkan Mekkah sebelum beroleh tambahan dari darma baktinya.
Demikianlah
pada hari berikutnya, tampak olehnya dua orang wanita sedang thawaf keliling
berhala-berhala Usaf dan Na-ilah sambil memohon padanya. Abu Dzar segera
berdiri menghadangnya, lalu dihadapan mereka berhala-berhala itu dihina sejadi-jadinya.
Kedua
wanita itu memekik berteriak, hingga orang-orang gempar dan berdatangan laksana
belalang, lalu menghujani Abu Dzar dengan pukulan hingga tak sadarkan diri.
Ketika ia siuman, maka yang diserunya tiada lain hanyalah "bahwa tiada
Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan
Allah".
Maklumlah
sudah Rasulullah
akan watak dan tabi'at murid barunya yang ulung ini serta
keberaniannya yang menakjubkan dalam melawan kebathilan. Hanya sayang saatnya
belum lagi tiba, maka diulanginyalah perintah agar dia pulang, sampai bila
telah didengarnya nanti Islam lahir terang-terangan ia dapat kembali dan turut
mengambil bagian dalam percaturan dan aneka peristiwanya��
Abu
Dzar kembali mendapatkan keluarga serta kaumnya dan menetapkan kepada mereka
tentang Nabi yang baru diutus Allah, -yang menyeru agar mengabdi kepada Allah
Yang Maha Esa dan membimbing mereka supaya berakhlaq mulia. Seorang demi
seorang kaumnya masuk Islam; Bahkan usahanya tidak terbatas pada kaumnya
semata, tapi dilanjutkannya pada,suku lain - yaitu suku Aslam:-di tengah-tengah
mereka: dipancarkan cahaya islam.....
Hari-hari
berlalu mengikuti peredaran , Rasulullah telah hijrah ke Madinah dan menetap
di sana bersama
Kaum Muslimin. Pada suatu hari, suatu barisan panjang yang, terdiri atas para
pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota, meninggalkan kepulan debu
belakang mereka, Kalau bukanlah bunyi suara takbir mereka yang gemuruh tentulah
yang melihat akan menyangka mereka itu suatu pasukan tentara musyrik yang
hendak menyerang kota.
Rombongan
besar itu semakin dekat�.. lalu masuk ke
dalam kota dan
menujukan langkah mereka ke masjid Rasulullah dan tempat kediamannya.
Ternyata
rombongan itu tiada lain dari kabilah-kabilah Ghifar dan Aslam yang dikerahkan
semuanya oleh Abu Dzar dan tanpa kecuali telah masuk Islam; laki-laki,
perempuan, orang tua, remaja dan anak-anak.
Sudah
selayaknyalah Rasulullah semakin ta'jub dan kagum!
Belum
lama berselang, ia ta'jub ada seorang Iaki-laki dari Ghifar yang menanyakan
keislamannya di hadapannya. Sabdanya menunjukkan keta'juban itu:
"Sungguh Allah memberi hidayah kepada siapa yang
dikehendaki-Nya"
Maka
sekarang yang datang itu adalah seluruh warga Ghifar yang menyatakan keIslaman
mereka. Telah beberapa tahun lamanya mereka menganut Agama itu, semenjak mereka
diberi hidayah Allah di tangan Abu Dar. Dan ikut pula bersama mereka suku
Aslam.
Raksasa
garong dan komplotan syetan telah beralih rupa menjadi raksasa kebajikan dan
pendukung kebenaran ! Nah, tidaklah sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada
siapa yang dikehendaki-Nya ?Rasulullah melayangkan pandangannya kepada
wajah-wajah yang berseri-seri, pandangan yang diliputi rasa haru dan cinta kasih.
Sambil menoleh kepada suku Ghifar, ia bersabda:
"
Suku Ghifar telah di-ghafar -- diampuni -- oleh Allah."
Kemudian sambil menghadap
kepada suku Aslam, sabdanya
" Suku Aslam telah disalam -
diterima dengan damai � oleh Allah."
Dan
mengenai Abu Dzar, muballigh ulung yang berjiwa bebas dan bercita- cita mulia
itu, tidakkah Rasulullah akan menyampaikan ucapan istimewa kepadanya? Tidak
pelak lagi, pastilah ganjarannya tidak terhingga, serta ucapan kepadanya
dipenuhi berkah! Dan tentulah pada dadanya akan tersemat bintang terfinggi,
begitu pun riwayat hidupnya akan penuh dengan medali. Turunan demi turunan
serta generasi demi generasi akan berlalu pergi, tetapi manusia akan selalu
mengulang-ulang apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw. mengenai Abu Dzar ini:�
Takhan
pernah lagi dijumpai cli bawah langit ini, orang yang lebih bencrr ucapannya
dari Abu Dzar ...! Kemudian pula:
Lebih benarkah ucapannya dari Abu Dzar ...?
Sungguh,
Rasulullah saw. bagai telah membaca hari depan shahabatnya itu, dan
manyimpulkan kesemuanya pada kalimat tersebut. Kebenaran yang disertai
keberanian, itulah prinsip hidup Abu Dzar secara keseluruhan!
Benar
bathinnya, benar pula lahirnya.
Benar 'aqidahnya, benar pula ucapannya.
Ia
akan menjalani hidupnya secara benar, tidak akan melakukan kekeliruan. Dan
kebenarannya itu bukanlah keutamaan yang bisu, karena bagi Abu
Dzar, kebenaran yang bisu bukanlah kebenaran! Yang dikatakan benar ialah
menyatakan secara terbuka dan terus terang, yakni menyatakan yang haq dan
menentang yang bathil, menyokong yang betul dan meniadakan yang salah.
Benar
itu kecintaan penuh terhadap yang haq, mengemukakannya secara berani dan
melaksanakannya secara terpuji.
Dengan penglihatannya yang tajam, bagai menembus ke alam ghaib yang jauh tidak
terjangkau atau samudera yang tidak terselami, Rasulullah saw. menampakkan
segala kesusahan yang akan dialami oleh Abu Dzar sebagai akibat dari kebenaran
dan ketegasannya. Maka selalu dipesankan kepadanya agar melatih diri dengan
keshabaran dan tidak terburu nafsu.
Pada
suatu hari Rasulullah mengemukakan Irepadanya pertanyaan berikut ini:
"Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang
mengambil barang upeti untuk diri mereka pribadi?" Jawab Abu Dzar:
"Demi yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka
dengan pedangku!" Sabda Rasulullah pula: Maukah kamu aku beri jalan yang
lebih baik dari itu�.? Ialah bershabar samapai kamu menemuiku "
Tahukah
anda kenapa Rasulullah mengajukan pertanyaan seperti itu? Itulah persoalan
pembesar dan harta ...!
Nah
itulah persoalan pokok bagi Abu Dzar dan untuk itu ia harus membaktikan
hidupnya, suatu kemusykilan menyangkut masyarakat ummat dan masa depan yang
harus dipecahkannya!
Hal
itu telah dimaklumi oleh Rasululiah, dan itulah sebabnya kepada beliau
mengajukan pertanyaan seperti demikian, yaitu untuk membekalinya dengan nasihat
yang amat berharga: "Bershabarlah sampai kamu menemuiku"
Maka
Abu Dzar akan selalu ingat kepada wasiat guru dan Rasul ini. Ia tiadalah akan
menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengaut kekayaan dari
harta rakyat sebagai ancamannya dulu ...,tetapi juga ia tidak akan bungkam atau
berdiam diri walau agak sesaat pun terhadap mereka!
Memang,
seandainya Rasulullah saw. melarangnya menggunakan senjata untuk menebas leher
mereka, tetapi beliau tidak melarangnya menggunakan lidah yang tajam demi
membela kebenaran. Dan wasiat itu akan dllaksanakannya ...!
Masa
Rasulullah berlalulah sudah, disusul kemudian oleh masa Abu Bakar, kemudian
masa Umar. Dalam kedua Khilafah ini masih dapat dijinakkan sebaik-baiknya
godaan hidup dan unsur-unsur fitnah pemecah belah, hingga nafsu angkara yang
haus dahaga tidak beroleh angin atau mendapatkan jalan.
Ketika
itu tidak terdapat penyelewengan-penyelewengan yang akan mengakibatkan Abu Dzar
bangkit menentang dengan suaranya yang lantang dan kecamannya yang pedas. Telah
lama berlaku dalam pemerintahan Amirul Mu'minin Umar keharusan hidup sederhana
dan menjauhi kemewahan serta menegakkan keadilan bagi setiap pejabat dan
pembesar Islam. Begitu pun para hartawan di mana mereka berada, telah
melaksanakan disiplin ketat yang hampir saja tidak terpikul oleh kemampuan
manusia.
Tiada
seorang pun di antara pejabatnya, baik di Irak, di Syria, Shan'a, atau di
negeri yang jauh letaknya sekalipun, yang memakan panganan mahal yang tidak
terjangkau oleh rakyat biasa, kecuali selang beberapa hari berita itu akan
sampai kepada Umar dan perintah keras pun akan memanggil pejabat yang
bersangkutan menghadap Khalifah di Madinah untuk menjalani pemeriksaan ketat.
Akan
tenanglah Abu Dzar kalau demikian ...tenteram dan damai, selama al-Faruqul
'adhim') masih menjabat Amirul Mu'minin .... Dan selama Abu Dzar dalam
kehidupannya tidak diganggu oleh kepincangan-kepincangan seperti penumpukan
harta dan penyalahgunaan kekuasaan, maka dengan pengawasan Umar ibnul Khatthab'
yang ketat terhadap fihak penguasa dan pembagian yang merata terhadap harta,
berarti telah memberikan kepuasan dan kelegaan kepada dirinya .... Dan dengan
demikian dapatlah ia memusatkan perhatiannya dalam beribadat kepada Allah
penciptanya dan berjihad di jalan-Nya, tanpa sedikitpun hendak berdiam diri jika
melihat kesalahan-kesalahan di sana-sini, yang ketika itu memang jarang terjadi
....
Akan
tetapi setelah khalifah terbesar yang teramat adil dan paling mengagumkan di
antara tokoh kemanusiaan telah pergi, terasa adanya kehampaan dalam
kepemimpinan. Bahkan hal tersebut menimbulkan kemunduran yang tak dapat
dikuasai dan dibatasi oleh tenaga manusia. Sementara itu meluasnya ajaran
al-Islam ke berbagai pelosok dunia menumbuhkan kemakmuran hidup. Orang yang
tidak dapat menahan godaan dunia banyak yang terjerwmus ke daiam kemewahan yang
melebihi batas.
Abu
Dzar melihat bahaya ini ....
Panji-panji kepentingan pribadi hampir saja menyeret dan mendepak orang-orang
yang tugasnya sehari-hari menegakkan panji-panji Allah. Dan dunia, dengan daya
tarik serta tipu muslihatnya yang mempesona, hampir pula memperdayakan
orang-orang yang mengemban risalah untuk menpergunakannya sebagai wadah untuk
menyemai dan menanamkan kebajikan!
Dan
harta yang dijadikan Allah sebagai pelayan yang harus tunduk kepada manusia,
cenderung berubah mupa, menjadi tuan yang mengendalikan manusia.
Al-Faruqul 'adhim, yakni pemisah antara haq dan bathil yang perkssa. Al-Faruq,
ialah gelar kepahlawanan Umar ibnul Khatthab yang dianugerahkan oleh RasululIah
saw.
Dan kepada siapa.. .?
Tiada lain kepada shahabat-shahabat Muhammad saw., yang di waktu wafatnya
baju besinya sedang tergadai, sementara gundukan upeti dan harta rampasan
perang bertumpuk di bawah telapak kakinya!
Hasil
kekayaan bumi yang sengaja diperuntukkan Allah bagi semua ummat manusia, dengan
menjadikan mereka mempunyai hak yang sama, hampir berubah menjadi suatu
keistimewaan dan hak monopoli bagi mereka yang terbenam dalam kemewahan.
Dan
jabatan, yang merupakan amanat untuk dipertanggungjawabkan kelak di hadapan
pengadilan ilahi, beralih menjadi alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan dan
kemewahan yang menghancur binasakan.
Abu
Dzar melihat semua ini. Ia tidak memikirkan apakah itu menjadi kewajiban dan
tanggung jawabnya. Hanya ia langsung menghunus pedang, meletakkannya ke udara dan
membedahnya.
Kemudian
ia bangkit berdiri dan menantang masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran
islam dengan pedangnya yang tak pernah tumpul itu. Tetapi secepatnya bergemalah
dalam kalbunya bunyi wasiat yang telah disampaikan Rasulullah ke padanya dulu.
Maka dimasukkannya kembali pedang itu ke dalam sarungnya, karena tiada
sepantasnya ia akan mengacungkannya ke wajah seorang Muslim.
Dan
tidak ada haq bagi seorang Mu 'min untuk membunuh Mu 'min lainnya kecuali
karena keliru (tidak sengaja). (Q,S. an-Nisa )
Bukankah
dulu Rasulullah telah menyatakan di hadapan para shakabatnya bahwa di bawah
langit ini takkan pernah lagi muncul orang yang lebih benar ucapannya dari Abu
Dzar?
Orang
yang memiliki bemampuan seperti ini, berupa kata-kata tepat dan jitu, tidak
memerlukan lagi senjata lainnya. Satu kalimat yang diucapkannya, akan lebih
tajam dan banyak hasilnya daripada pedang walau sepenuh bumi.
Maka
dengan senjata kebenarannya ia akan pergi mendapatkan para pembesar, kaum
hartawan; pendeknya kepada dunia manusia yang cenderung menumpuk kekayaan yang
membahayakan Agama, yakni Agama yang sengaja datang untuk memberikan bimbingan
dan bukan untuk memungut upeti, sebab kenabian bukan suatu kerajaan, menjadi
rahmat karunia bukan adab sengsara, mengajarkan kerendahan hati bukan
kesombongan diri, persamaan bukan pengkastaan, kesahajaan bukan keserakahan,
kesederhanaan bukan keborosan, kedamaian dan kebijaksanaan dalam menghadapi
hidup bukan terpedaya dan mati-matian dalam mengejarnya�..!
Baiklah
ia pergi mendapatkan mereka semua, dan biarlah Allah menjadi hakim diantaranya
dengan mereka, dan dialah sebaik-baik hakim!.
Maka
pergilah Abu Dzar menemui pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dan dengan
lisannya yang tajam dan benar merubah sikap mental mereka satu persatu. Dalam
beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya
bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri yang jauh
yang penduduknya selama itu belum pernah melihatnya.
Nama
Abu Dzar bagaikan terbang ke sana ..., dan tak satu daerah pun yang dilaluinya
-- bahkan walau barn namanya yang sampai ke sans -- menimbulkan rasa takut dan
ngeri hati fihak penguasa dan golongan berharta yang beulaku curang.
Seandainya
penggerak hidup sederhana ini hendak mengambil suatu panji bagi diri pribadi
dan gerakannya, maka lambang yang akan terpampang pada panji-panji itu tiada
lain dari sebuah seterika dengan baranya yang merah menyala. Sedang yang akan
menjadi semboyan dan lagi yang selalu diulang-ulangnya setiap waktu dan tempat,
dan diulang-ulang pula oleh para pengikutnya seolah-olah suatu lagu perjuangan,
ialah kalimat-kalimat ini:
"Beritakanlah kepada para penumpuk harta,
yang menumpuk emas dan perak,
mereka akan diseterika dengan seterika api neraka,
menyeterika hening dan pinggang mereka di hari qiamat"
Setiap
ia mendaki bukit, menuruni lembah memasuki kota; dan setiap ia berhadapan dengan seorang
pembesar, selalu kalimat itu yang menjadi buah mulutnya. Begitu pun setiap
orang melihatnya datang berkunjung, mereka akan menyambutnya dengan ucapan:
"Beritakan kepada para penumpuk harta...!"
Kalimat
ini benar-benar telah menjadi panji-panji suatu missi yang menjadi tekad
serta pendorong dalarfi membaktikan hidupnya, demi dilihatnya harta itu telah
ditumpuk dan dimonopoli, serta jabatan disalahgunakan untuk memupuk kekuatan
dan mengaut keuntungan; serta disaksikannya bahwa cinta dunia telah merajalela
dan hampir saja melumari hasil yang telah dicapai di tahun-tahun kerasulan,
berupa keutamaan dan keshalihan, kesungguhan dan keikhlasan.
Abu
Dzar menujukan sasarannya yang pertama terhadap poros utama kekuasaan dan
gudang raksasa kekayaan, yaitu Syria,
tempat bercokolnya Mu'awiyah bin Abi Sufyan yang memerintah wilayali Islam
paling subur, paling banyak hasil bumi dan paling kaya dengan barang upetinya.
Mu'awiyah telah memberikan dan membagi-bagikan harta tanpa perhitungan, dengan
tujuan untuk mengambil hati orang-orang terpandang dan berpengaruh, dan demi
terjaminnya masa depan yang masih dirindukannya, didambakan oleh keinginannya
yang luas tidak terbatas ....
Di
sana tanah-tanah luas, gedung-gedung tinggi dan harta berlimpah telah menggoda
sisa-sisa yang tinggal dari pemikul da'wah, maka Abu Dzar cepat
mengatasinya, sebelum hal itu berlarut-larut, sebelum pertolongan datang
terlambat hingga nasi telah menjadi bubur.
Abu Dzar Al-Ghifari Radiyallahu 'Anhu
[1/3] (Tokoh Gerakan Hidup Sederhana)
Ia
datang ke Mekah terhuyung-huyung letih tetapi matanya bersinar bahagia�..Memang,
sulitnya perjalanan dan panasnya telah menyengat badannya dengan
rasa sakit udara padang
pasir dan lelah, tetapi tujuan yang hendak dicapainya telah meringankan
penderitaan dan meniupkan semangat serta rasa gembira dalam jiwanya.
Ia
memasuki kota
dengan menyamar seolah-olah ia seorang yang hendak melakukan thawaf keliling
berhala-berhala besar di Ka'bah atau seolah-olah musafir yang sesat dalam
perjalanan atau lebih tepat orang yang telah menempuh jarak amat jauh, yang
merlukan istirahat dan manambah perbekalan.
Padahal
seandainya orang-orang Mekah mengetahui babwa kedatangannya itu untuk menemui Muhammad
dan mendengar keterangannya, pastilah mereka
akan membunuhnya!
Tetapi
ia tak perduli akan dibunuh asal saja setelah melintasi padang pasir luas, ia dapat menjumpai
laki-laki yang dicarinya dan menyatakan iman kepadanya. Kebenaran dan da'wah
yang diberikan Muhammad
dapat memuaskan hatinya.
Ia
terus melangkah sambil memasang telinga, dan setiap didengarnya orang
memperkatakan Muhammad
, ia pun mendekat dan menyimak dengan
hati-hati; hingga dari cerita yang tersebar di sana-sini, diperolehnya petunjuk
yang dapat menunjukkan tempat persembunyian Muhammad
, dan mempertemukannya dengan beliau.
Di
pagi suatu hari ia pergi ke tempat itu, didapatinya Muhammad
sedang duduk seorang diri. Didekatinya
Rasulullah, katanya: "Selamat pagi wahai kawan sebangsa!"
"Alaikum salam, wahai shahabat", ujar Rasulullah.
Kata
Abu Dzar: "Bacakanlah kepadaku hasil gubahan anda!"
"Ia bukan sya'ir hingga dapat digubah, tetapi adalah Al Quran yang
mulia!", Ujar Rasulullah.
dibacakanlah oleh Rasulullah, sedang Abu Dzar mendengarkan dengan penuh
perhatian, hingga tidak berselang lama iapun berseru:
"Asyhadu
alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh".
Anda
dari mana, saudara sebangsa?", tanya rasulullah.
"Dari Ghitar'', ujarnya.
Maka terbukalah senyum lebar di kedua bibir Rasulullah, sementara wajahnja
diliputi rasa kagum dan ta'jub. Abu dzar tersenyum pula, karena ia mengetahui
rasa terpendam di balik rasa kagum Rasulullah demi mendengar bahwa orang yang
telah mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu, seorang laki-laki
dari Ghifar.
Ghifar
adalah suatu kabilah atau suku yang tak ada taranya dalam soal menempuh jarak.
Mereka jadi tamsil perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa.
Malam yang kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka, dan celakalah
orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam!
Sekarang,
dikala agama Islam yang baru saja lahir dan berjalan sembunyi-sembunyi,
mungkinkah ada diantara orang-orang Ghifar itu seorang yang sengaja datang
untuk masuk Islam? Berkatalah Abu Dzar dalam menceritakan sendiri kisah itu:
"Maka pandangan Rasulullah pun turun naik, tak putus ta'jub memikirkan
tabi'at orang-orang Ghifar, lalu sabdanya :
"
Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang disukaiNya�!
Benar,
Allah menunjuki,siapa yang Ia kehendaki ! Abu dzar salah seorang yang,
dikehendaki Allah beroleh petunjuk , orang yang dipilihNya akan mendapat
kebaikan
Dan
memang, Abu Dzar ini seorang yang tajam pengamatannya tentang kebenaran.
Menurut riwayat, ia termasuk salah seorang yang menentang pemujaan berhala di
zaman jahiliyah, mempunyai kepercayaan akan Ketuhanan serta iman kepada Tuhan
Yang Maha Esa lagi Perkasa, maka iapun menyiapkan bekal dan segera mengayunkan
langkahnya.
Abu
Dzar telah masuk Islam tanpa ditunda-tunda lagi�.! urutannya dikalangan Muslimin
adalah yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk agam itu pada hari-hari
pertama, bahkan pada saat-saat pertama agama Islam, hingga keIslamannya
termasuk dalam barisan terdepan.
Ketika
ia masuk Islam, Rasulullah masih menyampaikan da'wahnya secara berbisik-bisik.
Dibisikkannya kepada Abu Dzar begitupun kepada lima orang lainya yang telah iman kepadanya.
Dan bagi Abu Dzar, tak ada yang dapat dilakukannya sekarang selain memendam
keimanan itu dalam dada, lalu meninggalkan kota Mekah secara diam-diam dan kembali
kepada kaumnya.
Tetapi
Abu Dzar yang nama aslinya Jundub bin Junadah, seorang kuat dan revolusioner.
Telah menjadi watak dan tabi'atnya menentang kebathilan dimanapun ia berada.
Dan sekarang kebathilan itu berada dihadapannya serta disaksikannya dengan
kedua matanya sendiri�.Batu-batu yang ditembok, yang dibentuk oleh para
pemujanya, disembah oleh orang-orang yang menundukkan kepala dan merendahkan
akal mereka, dan diseru mereka dengan ucapan yang muluk : Inilah kami
, kami datang demi mengikuti titahmu!
memang,
ia melihat Rasulullah memilih cara bisik-bisik pada hari-hari tersebut, tetapi
tidak dapat tidak harus ada suatu teriakan keras yang akan dikumandangkan
pemberontak ulung ini sebelum ia pergi. Baru saja masuk Islam, ia telah
menghadapkan pertanyaan kepada Rasulullah:
"Wahai
Rasulullah, apa yang saya kerjakan menurut anda?"
"Kembalillah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!", ujar
Rasulullah.
"Demi Tuhan yang menguasai nyawaku", kata Abu Dzar pula, "saya
takkan kembali sebelum meneriakkan Islam dalam masjid!"
Bukankah
telah saya katakan kepada kalian�..?
Jiwa
yang kuat dan revolusioner! Apakah Abu Dzar pada saat terbukanya alam baru
secara gamblang, yang jelas terlukis pada Rasulullah yang diimaninya,
sertada'wah yang uraiannya disampaikan dengan lisannya�, apakah pada
saat seperti itu ia mampu kembali kepada keluarganya dalam keadaan membisu
seribu bahasa ? Sunguh, hal itu diluar kesanggupan dan kemampuannya!
Abu
Dzar pergi menuju masjidil haram dan menyerukan dengan sekeras-kerasnya
suaranya: "Asyhadu Alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar
rasulullah". Setahu kita, teriakan ini merupakan teriakan pertama tentang
Agama Islam yang menentang kesombongan orang-orang Quraisy dan memekakkan telinga
mereka�., diserukan oleh seorang perantau asing yang diMekkah
tidak mempunyai bangsa, sanak keluarga maupun pembela. Dan sebagai akibatnya,
ia mendapat perlakuan dari mereka yang sebetulnya telah dimaklumi akan
ditemuinya�.
Orang-orang
musyrik mengepung dan memukulnya hingga rubuh.
Berita
mengenai peristiwa yang dialami Abu Dzar itu akhirnya sampai juga kepada paman
Nabi, Abbas. Ia segera mendatangi tempat terjadinya peristiwa tersebut, tapi
dirasanya ia tidak dapat melepaskan Abu Dzar dari cengkeraman mereka kecuali
dengan menggunakan diplomasi halus, maka katanya kepada mereka :
"Wahai kaum Quraisy! Anda semua adalah bangsa pedagang yang mau tak mau
akan lewat dikampung Bani Ghifar. Dan orang ini salah seorang warganya, bila ia
bertindak akan dapat menghasut kaumnya untuk merampok kafilah-kafilahmu
nanti!" merekapun sama menyadari hal itu, lalu pergi meniggalkannya.
Tetapi
Abu Dzar yang telah mengenyam manisnya penderitaan dalam membela Agama Allah,
tak hendak meninggalkan Mekkah sebelum beroleh tambahan dari darma baktinya.
Demikianlah
pada hari berikutnya, tampak olehnya dua orang wanita sedang thawaf keliling
berhala-berhala Usaf dan Na-ilah sambil memohon padanya. Abu Dzar segera
berdiri menghadangnya, lalu dihadapan mereka berhala-berhala itu dihina sejadi-jadinya.
Kedua
wanita itu memekik berteriak, hingga orang-orang gempar dan berdatangan laksana
belalang, lalu menghujani Abu Dzar dengan pukulan hingga tak sadarkan diri.
Ketika ia siuman, maka yang diserunya tiada lain hanyalah "bahwa tiada
Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan
Allah".
Maklumlah
sudah Rasulullah
akan watak dan tabi'at murid barunya yang ulung ini serta
keberaniannya yang menakjubkan dalam melawan kebathilan. Hanya sayang saatnya
belum lagi tiba, maka diulanginyalah perintah agar dia pulang, sampai bila
telah didengarnya nanti Islam lahir terang-terangan ia dapat kembali dan turut
mengambil bagian dalam percaturan dan aneka peristiwanya��
Abu
Dzar kembali mendapatkan keluarga serta kaumnya dan menetapkan kepada mereka
tentang Nabi yang baru diutus Allah, -yang menyeru agar mengabdi kepada Allah
Yang Maha Esa dan membimbing mereka supaya berakhlaq mulia. Seorang demi
seorang kaumnya masuk Islam; Bahkan usahanya tidak terbatas pada kaumnya
semata, tapi dilanjutkannya pada,suku lain - yaitu suku Aslam:-di tengah-tengah
mereka: dipancarkan cahaya islam.....
Hari-hari
berlalu mengikuti peredaran , Rasulullah telah hijrah ke Madinah dan menetap
di sana bersama
Kaum Muslimin. Pada suatu hari, suatu barisan panjang yang, terdiri atas para
pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota, meninggalkan kepulan debu
belakang mereka, Kalau bukanlah bunyi suara takbir mereka yang gemuruh tentulah
yang melihat akan menyangka mereka itu suatu pasukan tentara musyrik yang
hendak menyerang kota.
Rombongan
besar itu semakin dekat�.. lalu masuk ke
dalam kota dan
menujukan langkah mereka ke masjid Rasulullah dan tempat kediamannya.
Ternyata
rombongan itu tiada lain dari kabilah-kabilah Ghifar dan Aslam yang dikerahkan
semuanya oleh Abu Dzar dan tanpa kecuali telah masuk Islam; laki-laki,
perempuan, orang tua, remaja dan anak-anak.
Sudah
selayaknyalah Rasulullah semakin ta'jub dan kagum!
Belum
lama berselang, ia ta'jub ada seorang Iaki-laki dari Ghifar yang menanyakan
keislamannya di hadapannya. Sabdanya menunjukkan keta'juban itu:
"Sungguh Allah memberi hidayah kepada siapa yang
dikehendaki-Nya"
Maka
sekarang yang datang itu adalah seluruh warga Ghifar yang menyatakan keIslaman
mereka. Telah beberapa tahun lamanya mereka menganut Agama itu, semenjak mereka
diberi hidayah Allah di tangan Abu Dar. Dan ikut pula bersama mereka suku
Aslam.
Raksasa
garong dan komplotan syetan telah beralih rupa menjadi raksasa kebajikan dan
pendukung kebenaran ! Nah, tidaklah sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada
siapa yang dikehendaki-Nya ?Rasulullah melayangkan pandangannya kepada
wajah-wajah yang berseri-seri, pandangan yang diliputi rasa haru dan cinta kasih.
Sambil menoleh kepada suku Ghifar, ia bersabda:
"
Suku Ghifar telah di-ghafar -- diampuni -- oleh Allah."
Kemudian sambil menghadap
kepada suku Aslam, sabdanya
" Suku Aslam telah disalam -
diterima dengan damai � oleh Allah."
Dan
mengenai Abu Dzar, muballigh ulung yang berjiwa bebas dan bercita- cita mulia
itu, tidakkah Rasulullah akan menyampaikan ucapan istimewa kepadanya? Tidak
pelak lagi, pastilah ganjarannya tidak terhingga, serta ucapan kepadanya
dipenuhi berkah! Dan tentulah pada dadanya akan tersemat bintang terfinggi,
begitu pun riwayat hidupnya akan penuh dengan medali. Turunan demi turunan
serta generasi demi generasi akan berlalu pergi, tetapi manusia akan selalu
mengulang-ulang apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw. mengenai Abu Dzar ini:�
Takhan
pernah lagi dijumpai cli bawah langit ini, orang yang lebih bencrr ucapannya
dari Abu Dzar ...! Kemudian pula:
Lebih benarkah ucapannya dari Abu Dzar ...?
Sungguh,
Rasulullah saw. bagai telah membaca hari depan shahabatnya itu, dan
manyimpulkan kesemuanya pada kalimat tersebut. Kebenaran yang disertai
keberanian, itulah prinsip hidup Abu Dzar secara keseluruhan!
Benar
bathinnya, benar pula lahirnya.
Benar 'aqidahnya, benar pula ucapannya.
Ia
akan menjalani hidupnya secara benar, tidak akan melakukan kekeliruan. Dan
kebenarannya itu bukanlah keutamaan yang bisu, karena bagi Abu
Dzar, kebenaran yang bisu bukanlah kebenaran! Yang dikatakan benar ialah
menyatakan secara terbuka dan terus terang, yakni menyatakan yang haq dan
menentang yang bathil, menyokong yang betul dan meniadakan yang salah.
Benar
itu kecintaan penuh terhadap yang haq, mengemukakannya secara berani dan
melaksanakannya secara terpuji.
Dengan penglihatannya yang tajam, bagai menembus ke alam ghaib yang jauh tidak
terjangkau atau samudera yang tidak terselami, Rasulullah saw. menampakkan
segala kesusahan yang akan dialami oleh Abu Dzar sebagai akibat dari kebenaran
dan ketegasannya. Maka selalu dipesankan kepadanya agar melatih diri dengan
keshabaran dan tidak terburu nafsu.
Pada
suatu hari Rasulullah mengemukakan Irepadanya pertanyaan berikut ini:
"Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang
mengambil barang upeti untuk diri mereka pribadi?" Jawab Abu Dzar:
"Demi yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka
dengan pedangku!" Sabda Rasulullah pula: Maukah kamu aku beri jalan yang
lebih baik dari itu�.? Ialah bershabar samapai kamu menemuiku "
Tahukah
anda kenapa Rasulullah mengajukan pertanyaan seperti itu? Itulah persoalan
pembesar dan harta ...!
Nah
itulah persoalan pokok bagi Abu Dzar dan untuk itu ia harus membaktikan
hidupnya, suatu kemusykilan menyangkut masyarakat ummat dan masa depan yang
harus dipecahkannya!
Hal
itu telah dimaklumi oleh Rasululiah, dan itulah sebabnya kepada beliau
mengajukan pertanyaan seperti demikian, yaitu untuk membekalinya dengan nasihat
yang amat berharga: "Bershabarlah sampai kamu menemuiku"
Maka
Abu Dzar akan selalu ingat kepada wasiat guru dan Rasul ini. Ia tiadalah akan
menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengaut kekayaan dari
harta rakyat sebagai ancamannya dulu ...,tetapi juga ia tidak akan bungkam atau
berdiam diri walau agak sesaat pun terhadap mereka!
Memang,
seandainya Rasulullah saw. melarangnya menggunakan senjata untuk menebas leher
mereka, tetapi beliau tidak melarangnya menggunakan lidah yang tajam demi
membela kebenaran. Dan wasiat itu akan dllaksanakannya ...!
Masa
Rasulullah berlalulah sudah, disusul kemudian oleh masa Abu Bakar, kemudian
masa Umar. Dalam kedua Khilafah ini masih dapat dijinakkan sebaik-baiknya
godaan hidup dan unsur-unsur fitnah pemecah belah, hingga nafsu angkara yang
haus dahaga tidak beroleh angin atau mendapatkan jalan.
Ketika
itu tidak terdapat penyelewengan-penyelewengan yang akan mengakibatkan Abu Dzar
bangkit menentang dengan suaranya yang lantang dan kecamannya yang pedas. Telah
lama berlaku dalam pemerintahan Amirul Mu'minin Umar keharusan hidup sederhana
dan menjauhi kemewahan serta menegakkan keadilan bagi setiap pejabat dan
pembesar Islam. Begitu pun para hartawan di mana mereka berada, telah
melaksanakan disiplin ketat yang hampir saja tidak terpikul oleh kemampuan
manusia.
Tiada
seorang pun di antara pejabatnya, baik di Irak, di Syria, Shan'a, atau di
negeri yang jauh letaknya sekalipun, yang memakan panganan mahal yang tidak
terjangkau oleh rakyat biasa, kecuali selang beberapa hari berita itu akan
sampai kepada Umar dan perintah keras pun akan memanggil pejabat yang
bersangkutan menghadap Khalifah di Madinah untuk menjalani pemeriksaan ketat.
Akan
tenanglah Abu Dzar kalau demikian ...tenteram dan damai, selama al-Faruqul
'adhim') masih menjabat Amirul Mu'minin .... Dan selama Abu Dzar dalam
kehidupannya tidak diganggu oleh kepincangan-kepincangan seperti penumpukan
harta dan penyalahgunaan kekuasaan, maka dengan pengawasan Umar ibnul Khatthab'
yang ketat terhadap fihak penguasa dan pembagian yang merata terhadap harta,
berarti telah memberikan kepuasan dan kelegaan kepada dirinya .... Dan dengan
demikian dapatlah ia memusatkan perhatiannya dalam beribadat kepada Allah
penciptanya dan berjihad di jalan-Nya, tanpa sedikitpun hendak berdiam diri jika
melihat kesalahan-kesalahan di sana-sini, yang ketika itu memang jarang terjadi
....
Akan
tetapi setelah khalifah terbesar yang teramat adil dan paling mengagumkan di
antara tokoh kemanusiaan telah pergi, terasa adanya kehampaan dalam
kepemimpinan. Bahkan hal tersebut menimbulkan kemunduran yang tak dapat
dikuasai dan dibatasi oleh tenaga manusia. Sementara itu meluasnya ajaran
al-Islam ke berbagai pelosok dunia menumbuhkan kemakmuran hidup. Orang yang
tidak dapat menahan godaan dunia banyak yang terjerwmus ke daiam kemewahan yang
melebihi batas.
Abu
Dzar melihat bahaya ini ....
Panji-panji kepentingan pribadi hampir saja menyeret dan mendepak orang-orang
yang tugasnya sehari-hari menegakkan panji-panji Allah. Dan dunia, dengan daya
tarik serta tipu muslihatnya yang mempesona, hampir pula memperdayakan
orang-orang yang mengemban risalah untuk menpergunakannya sebagai wadah untuk
menyemai dan menanamkan kebajikan!
Dan
harta yang dijadikan Allah sebagai pelayan yang harus tunduk kepada manusia,
cenderung berubah mupa, menjadi tuan yang mengendalikan manusia.
Al-Faruqul 'adhim, yakni pemisah antara haq dan bathil yang perkssa. Al-Faruq,
ialah gelar kepahlawanan Umar ibnul Khatthab yang dianugerahkan oleh RasululIah
saw.
Dan kepada siapa.. .?
Tiada lain kepada shahabat-shahabat Muhammad saw., yang di waktu wafatnya
baju besinya sedang tergadai, sementara gundukan upeti dan harta rampasan
perang bertumpuk di bawah telapak kakinya!
Hasil
kekayaan bumi yang sengaja diperuntukkan Allah bagi semua ummat manusia, dengan
menjadikan mereka mempunyai hak yang sama, hampir berubah menjadi suatu
keistimewaan dan hak monopoli bagi mereka yang terbenam dalam kemewahan.
Dan
jabatan, yang merupakan amanat untuk dipertanggungjawabkan kelak di hadapan
pengadilan ilahi, beralih menjadi alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan dan
kemewahan yang menghancur binasakan.
Abu
Dzar melihat semua ini. Ia tidak memikirkan apakah itu menjadi kewajiban dan
tanggung jawabnya. Hanya ia langsung menghunus pedang, meletakkannya ke udara dan
membedahnya.
Kemudian
ia bangkit berdiri dan menantang masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran
islam dengan pedangnya yang tak pernah tumpul itu. Tetapi secepatnya bergemalah
dalam kalbunya bunyi wasiat yang telah disampaikan Rasulullah ke padanya dulu.
Maka dimasukkannya kembali pedang itu ke dalam sarungnya, karena tiada
sepantasnya ia akan mengacungkannya ke wajah seorang Muslim.
Dan
tidak ada haq bagi seorang Mu 'min untuk membunuh Mu 'min lainnya kecuali
karena keliru (tidak sengaja). (Q,S. an-Nisa )
Bukankah
dulu Rasulullah telah menyatakan di hadapan para shakabatnya bahwa di bawah
langit ini takkan pernah lagi muncul orang yang lebih benar ucapannya dari Abu
Dzar?
Orang
yang memiliki bemampuan seperti ini, berupa kata-kata tepat dan jitu, tidak
memerlukan lagi senjata lainnya. Satu kalimat yang diucapkannya, akan lebih
tajam dan banyak hasilnya daripada pedang walau sepenuh bumi.
Maka
dengan senjata kebenarannya ia akan pergi mendapatkan para pembesar, kaum
hartawan; pendeknya kepada dunia manusia yang cenderung menumpuk kekayaan yang
membahayakan Agama, yakni Agama yang sengaja datang untuk memberikan bimbingan
dan bukan untuk memungut upeti, sebab kenabian bukan suatu kerajaan, menjadi
rahmat karunia bukan adab sengsara, mengajarkan kerendahan hati bukan
kesombongan diri, persamaan bukan pengkastaan, kesahajaan bukan keserakahan,
kesederhanaan bukan keborosan, kedamaian dan kebijaksanaan dalam menghadapi
hidup bukan terpedaya dan mati-matian dalam mengejarnya�..!
Baiklah
ia pergi mendapatkan mereka semua, dan biarlah Allah menjadi hakim diantaranya
dengan mereka, dan dialah sebaik-baik hakim!.
Maka
pergilah Abu Dzar menemui pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dan dengan
lisannya yang tajam dan benar merubah sikap mental mereka satu persatu. Dalam
beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya
bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri yang jauh
yang penduduknya selama itu belum pernah melihatnya.
Nama
Abu Dzar bagaikan terbang ke sana ..., dan tak satu daerah pun yang dilaluinya
-- bahkan walau barn namanya yang sampai ke sans -- menimbulkan rasa takut dan
ngeri hati fihak penguasa dan golongan berharta yang beulaku curang.
Seandainya
penggerak hidup sederhana ini hendak mengambil suatu panji bagi diri pribadi
dan gerakannya, maka lambang yang akan terpampang pada panji-panji itu tiada
lain dari sebuah seterika dengan baranya yang merah menyala. Sedang yang akan
menjadi semboyan dan lagi yang selalu diulang-ulangnya setiap waktu dan tempat,
dan diulang-ulang pula oleh para pengikutnya seolah-olah suatu lagu perjuangan,
ialah kalimat-kalimat ini:
"Beritakanlah kepada para penumpuk harta,
yang menumpuk emas dan perak,
mereka akan diseterika dengan seterika api neraka,
menyeterika hening dan pinggang mereka di hari qiamat"
Setiap
ia mendaki bukit, menuruni lembah memasuki kota; dan setiap ia berhadapan dengan seorang
pembesar, selalu kalimat itu yang menjadi buah mulutnya. Begitu pun setiap
orang melihatnya datang berkunjung, mereka akan menyambutnya dengan ucapan:
"Beritakan kepada para penumpuk harta...!"
Kalimat
ini benar-benar telah menjadi panji-panji suatu missi yang menjadi tekad
serta pendorong dalarfi membaktikan hidupnya, demi dilihatnya harta itu telah
ditumpuk dan dimonopoli, serta jabatan disalahgunakan untuk memupuk kekuatan
dan mengaut keuntungan; serta disaksikannya bahwa cinta dunia telah merajalela
dan hampir saja melumari hasil yang telah dicapai di tahun-tahun kerasulan,
berupa keutamaan dan keshalihan, kesungguhan dan keikhlasan.
Abu
Dzar menujukan sasarannya yang pertama terhadap poros utama kekuasaan dan
gudang raksasa kekayaan, yaitu Syria,
tempat bercokolnya Mu'awiyah bin Abi Sufyan yang memerintah wilayali Islam
paling subur, paling banyak hasil bumi dan paling kaya dengan barang upetinya.
Mu'awiyah telah memberikan dan membagi-bagikan harta tanpa perhitungan, dengan
tujuan untuk mengambil hati orang-orang terpandang dan berpengaruh, dan demi
terjaminnya masa depan yang masih dirindukannya, didambakan oleh keinginannya
yang luas tidak terbatas ....
Di
sana tanah-tanah luas, gedung-gedung tinggi dan harta berlimpah telah menggoda
sisa-sisa yang tinggal dari pemikul da'wah, maka Abu Dzar cepat
mengatasinya, sebelum hal itu berlarut-larut, sebelum pertolongan datang
terlambat hingga nasi telah menjadi bubur.