Selasa, 12 November 2013

HARI ASYURA 10 MUHARRAM ANTARA SUNNAH DAN BID’AH *




 SEJARAH DAN KEUTAMAAN PUASA ASYURA
 
Sesungguhnya hari Asyura (10 Muharram) meski merupkan hari bersejarah dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid’ah di dalamnya. Adapun yang dituntunkan syariat kepada kita pada hari itu hanyalah berpuasa, dengan dijaga agar jangan sampai tasyabbuh dengan orang Yahudi.
“Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari 
 itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.” [1]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :”Apa ini?” Mereka menjawab :”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” [2]

Dua hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di masa jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi-pun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa.
Diriwayatkan pada hadits lain.
“Artinya : Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur”[3]

“Artinya : Abu Musa berkata : “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulllah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari itu” [4]

“Artinya :Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin” [5]

CARA BERPUASA DI HARI ASYURA
[1]. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:

“Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya.”
Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:
“Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.”
Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma’al 2/76):”Ini adalah derajat yang paling sempurna.” Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:”Inilah yang Utama.”
Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434
Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuklebih hati-hati.Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.
[2]. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram
Mayoritas Hadits menunjukkan cara ini:
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”[6]
Dalam riwayat lain :
“Artinya : Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan.”[7].
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :”Keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslim”
“Artinya : Dari ‘Atha’, dia mendengar Ibnu Abbas berkata:”Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10”.
[3]. Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram
“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”
Hadits marfu’ ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):
[a]. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.
[b]. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
[c]. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu’
Jadi hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma’tsurah karya As-Syafi’i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218.
Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma’arif hal 49):”Dalam sebagian riwayat disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin karena keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan….”
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246):”Dan ini adalahl akhir perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata :”Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).”, kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli kitab, maka beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab.”
Ar-Rafi’i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :”Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11″
[4]. Berpuasa pada 10 Muharram saja
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :”Puasa Asyura mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a’lam.”

BID’AH-BID’AH DI HARI ASYURA
[1]. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura
[2]. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.
[3]. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.
[4]. Membakar kemenyan.
[5]. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu.
[6]. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (Sebagaimana termaktub dalam Majmu’ Syarif)
[7]. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin
[8]. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.
[9]. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):”Adapun pernyataan sebagian orang yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram) untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali dan bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg menunjukkan keutamaan amal-amal itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid’ah.”
Ibnu Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) : “Hadits anjuran memberikan uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama yang mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Uqaili berkata :”(Hadits itu tidak dikenal)”. Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah perbuatan orang-orang yang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka”
Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, Al-Hafidz Ibnu Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata : “Hadits-hadits tentang bercelak pada hari Asyura, berhias, bersenang-senang, berpesta dan sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits puasa. Adapun selainnya adalah bathil seperti.
“Artinya : Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”.
Imam Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun hadits-hadits bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua goloangan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang dari As-Sunnah. Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan”.
Adapun shalat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/29 berkata : “Maudhu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini diambil Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal.47. Hal senada juga diucapkan oleh Al-Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah 2/89 dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’ah 2/122
Ibnu Rajab berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat yang menerangkan keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura adalah maudlu (palsu) tidak sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.
“Artinya : Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”.
Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain.
Adapun hadits,
“Artinya : Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya”
Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu (palsu).
Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204. Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7/379 dan Fadhail Auqat 246 dan Al-Hakim sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata : “Bercelak di hari Asyura tidak ada satu pun atsar/hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal ini adalah bid’ah yang dibuat oleh para pembunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari Asyura. Semoga kita bisa meninggalkan bid’ah-bid’ahnya. Amin
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H-2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
__________
Foote Note
[*]. Diolah oleh Aris Munandar bin S Ahmadi, dari kitab Rad’ul Anam Min Muhdatsati Asyiril Muharram Al-Haram, karya Abu Thayib Muhammad Athaullah Hanif, tahqiq Abu Saif Ahmad Abu Ali
[1]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad 6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, Tirmidzi 753, Abu Daud 2442, Ibnu Majah 1733, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/319,320, Al-Humaidi 200, Al-Baihaqi 4/288, Abdurrazaq 4/289, Ad-Darimy 1770, Ath-Thohawi 2/74 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5/253
[2]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, Abu Daud 2444, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/318, 319, Ahmad 1/291, 310, Abdurrazaq 4/288, Ibnu Majah 1734, Baihaqi 4/286, Al-Humaidi 515, Ath-Thoyalisi 928
[3]. Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan bapaknya keduanya Dha’if.
[4]. Hadits Shahih Riwayat Bukahri 4/244, 7/274, Muslim 2/796, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/322 dan Al-Baihaqi 4/289
[5]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/818-819, Abu Daud 2425, Ahmad 5/297, 308, 311, Baihaqi 4.286, 300 Abdurrazaq 4/284, 285
[6]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391
[7]. Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain
[8]. Abdurrazaq 4/287, Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar 2/78, Baihaqi dalam Sunan Kubra 4/287 dan dalam Syu’abul Iman 3509 dari jalan Ibnu Juraij, Atha telah mengabariku …. Sanadnya shahih. Ada juga muttabi dalam riwayat Qasim Al-Bhagawi dalam Al-Hadits Ali Ibnil Ja’di 2/886 dengan sanad shahih
[9]. Hadits Dhaif, riwayat Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2095, Thahawi 2/78, Bazar 1052 dalam Kasyfil Atsar, Baihaqi 4/278, Thobary dalam Tahdzibul Atsar 1/215, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 3/88

Kamis, 07 November 2013

SA’ID BIN ‘AMIR AL JUMAHY


SA’ID BIN ‘AMIR AL JUMAHY

“Dia telah membeli akhirat dengan dunia, dan mengutamakan keridhaan Allah dan
Rasul atas segala-galanya.” (Mu’arrikhin).
SA’ID BIN ‘AMIR AL JUMAHY, termasuk seorang pemuda di antara ribuan orang yang
pergi ke Tan’im, di luar kota Makkah. Mereka berbondong-bondong ke sana, dikerahkan para
pemimpin Quraisy untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati terhadap Khubaib bin ‘Ady,
iaitu seorang sahabat Nabi yang mereka jatuhi hukuman tanpa alasan.
Dengan semangat muda yang menyala-nyala, Sa’id maju menerobos orang banyak yang
berdesak-desakan.  Akhirnya  dia  sampai  ke  depan,  sejajar  dengan  tempat  duduk  orang-orang
penting, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah dan lain-lain.
Kaum kafir Quraisy sengaja mempertontonkan tawanan mereka dibelenggu. Sementara
para  wanita,  anak  anak  dan  pemuda,  menggiring  Khubaib  ke  lapangan  maut.  Mereka  ingin
membalas  dendam  terhadap  Nabi  Muhammad  saw.,  serta melampiaskan  sakit  hati  atas  ke
kalahan mereka dalam perang Badar.
Ketika tawanan yang mereka giring sampai ke tiang salib yang telah disediakan, ‘Sa’id
mendongakkan  kepala  melihat  kepada  Khubaib  bin  ‘Ady.  ‘Said  mendengar  suara  Khubaib
berkata dengan mantap, “Jika kalian bolehkan, saya ingin shalat dua raka’at sebelum saya kalian
bunuh....”
Kemudian Sa’id melihat Khubaib menghadap ke kiblat (Ka’bah). Dia shalat dua raka’at.
Alangkah bagus dan sempurna shalatnya itu. Sesudah shalat, Khubaib menghadap kepada para
pemimpin  Quraisy  seraya  berkata,  “Demi  Allah!  Seandainya  kalian  tidak  akan  menuduhku
melama-lamakan shalat untuk melambat-lambatkan waktu kerana takut mati, nescaya saya akan
shalat lebih banyak lagi.” Mendengar ucapan Khubaib tersebut, Sa’id melihat para pemimpin
Quraisy naik darah, bagaikan hendak mencencang-cencang tubuh Khubaib hidup hidup.
Kata mereka, “Sukakah engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau
kami bebaskan?”
“Saya  tidak  ingin  bersenang-senang  dengan  isteri  dan  anak-anak  saya,  sementara
Muhammad tertusuk duri....,” jawab Khubaib mantap.
“Bunuh dia...! Bunuh dia...!” teriak orang banyak.
Sa’id melihat Khubaib telah dipakukan ke tiang salib. Dia mengarahkan pandangannya
ke langit sambil mendo’a, “Ya, Allah! Hitunglah jumlah mereka! Hancurkanlah mereka semua.
Jangan disisakan seorang jua pun!”
Tidak lama kemudian Khubaib menghembuskan nafasnya yang terakhir di tiang salib.
Sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka kerana tebasan pedang dan tikaman tombak yang tak
terbilang jumlahnya.
Kaum  kafir  Quraisy  kembali  ke  Makkah  biasa-biasa  saja.  Seolah-olah  mereka  telah
melupakan peristiwa maut yang merenggut nyawa Khubaib dengan sadis. Tetapi Sa’id bin ‘Amir
Al-Jumahy  yang  baru  meningkat  usia  remaja  tidak  dapat  melupakan  Khubaib  walau  agak
sedetikpun. Sehingga dia bermimpi melihat Khubaib menjelma di hadapannya. Dia seakan-akan
melihat Khubaib shalat dua raka’at dengan khusyu’ dan tenang di bawah tiang salib. Seperti
terdengar  olehnya  rintihan  suara  Khubaib  mendo‘akan  kaum  kafir  Quraisy.  Kerana  itu  Sa’id
2
ketakutan  kalau-kalau  Allah  swt.  segera  mengabulkan  do’a  Khubaib,  sehingga  petir  dan
halilintar menyambar kaum Quraisy.
Keberanian dan ketabahan Khubaib menghadapi maut mengajarkan pada Sa’id beberapa
hal yang belum pernah diketahuinya selama ini.
Pertama, hidup yang sesungguhnya ialah hidup berakidah (beriman); kemudian berjuang
mempertahankan ‘akidah itu sampai mati.
Kedua,  iman  yang  telah  terhunjam  dalam  di  hati  seorang  dapat  menimbulkan  hal-hal
yang ajaib dan luar biasa.
Ketiga, orang yang paling dicintai Khubaib ialah sahabatnya, iaitu seorang Nabi yang
dikukuhkan dari langit.
Sejak itu Allah swt. membukakan hati Sa’id bin ‘Amir untuk menganut agama Islam.
Kemudian dia berpidato  di hadapan  khalayak ramai, menyatakan: alangkah  bodohnya  orang
Quraisy  menyembah  berhala.  Kerana  itu  dia  tidak  mahu  terlibat  dalam  kebodohan  itu.  Lalu
dibuangnya berhala-hala yang dipujanya selamaini. Kemudian diumumkannya bahwa mulai sa
‘at itu dia masuk Islam.
Tidak lama sesudah itu, Sa id menyusul kaum muslimin hijrah ke Madinah. Di sana dia
senantisasa  mendampingi  Nabi  s.a.w.  Dia  ikut  berperang  bersama  beliau,  mula  mula  dalam
peperangan Khaibar. Kemudian dia selalu turut berperang dalam setiap peperangan berikutnya.
Setelah Nabi saw. berpulang ke rahmatullah, Sa’id tetap menjadi pembela setia Khalifah
Abu Bakar dan ‘Umar. Dia menjadi teladan satu-satuya bagi orang orang mu’min yang membeli
kehidupan  akhirat  dengan  kehidupan  dunia.  Dia  lebih  mengutamakan  keridhaan  Allah  dan
pahala daripada-Nya di atas segala keinginan hawa nafsu dan kehendak jasad.
Kedua  Khalifah  Rasulullah,  Abu  Bakar  dan  ‘Umar  bin Khaththab,  mengerti  bahwa
ucapan-ucapan Sa’id sangat berbobot, dan taqwanya sangat tinggi. Kerana itu keduanya tidak
keberatan mendengar dan melaksanakan nasihat-nasihat Sa ‘id.
Pada  sutu  hari  di  awal  pemerintahan  Khalifah  ‘Umar bin  Khaththab,  Sa’id  datang
kepadanya memberi nasihat.
Kata Sa’id, “Ya ‘Umar! Takutlah kepada Allah dalam memerintah manusia. Jangan takut
kepada manusia dalam menjalankan agama Allah! Jangan berkata berbeda dengan perbuatan.
Kerana sebaik-baik perkataan ialah yang dibuktikan dengan perbuatan.
Hai  Umar!  Tujukanlah  seluruh  perhatian  Anda  kepada urusan  kaum  muslimin  baik
yang jauh mahupun yang dekat. Berikan kepada mereka apa yang Anda dan keluarga sukai.
Jauhkan  dari  mereka  apa-apa  yang  Anda  dan  ke  luarga  Anda  tidak  sukai.  Arahkan  semua
karunia Allah kepada yang baik. Jangan hiraukan cacian orang-orang yang suka mencaci.”
“Siapakah yang sanggup melaksanakan semua itu, hai Sa’id?” tanya Khalifah ‘Umar.
“Tentu orang seperti Anda! Bukankah Anda telah dipercayai Allah memerintah ummat
Muhammad ini? Bukankah antara Anda dengan Allah tidak ada lagi suatu penghalang?” jawab
Sa’id meyakinkan.
Pada suatu ketika Khalifah ‘Umar memanggil Sa’id untuk diserahi suatu jabatan dalam
pemerintahan.
“Hai Sa’id! Engkau kami angkat menjadi Gubernur di Himsh!” kata Khalifah Umar.
3
“Wahai  ‘Umar!  Saya  memohon  kepada  Allah  semoga  Anda  tidak  mendorong  saya
condong kepada dunia,” kata Sa’id.
“Celaka  Engkau!”  balas  ‘Umar  marah.  “Engkau  pikulkan  beban  pemerintahn  ini  di
pundakku, tetapi kemudian Engkau menghindar dan membiarkanku repot sendiri.”
“Demi Allah! Saya tidak akan membiarkan Anda,” jawab Sa’id.
Kemudjan Khalifah ‘Umar melantik Sa ‘Id menjadi Gubernur di Himsh.
Sesudah pelantikan, Khalifah ‘Umar bertanya kepada Sa’id, “Berapa gaji yang Engkau
inginkan?”
“Apa yang harus saya perbuat dengan gaji itu, ya Amirul Mu’minin?” jawab Sa’id balik
bertanya. “Bukankah penghasilan saya dan Baitul Mal sudah cukup?”
Tidak  berapa  lama  setelah  Sa  ‘id  memerintah  di  Himsh,  sebuah  delegasi  datang
menghadap Khalifah ‘Umar di Madinah. Delegasi itu terdiri dari penduduk Hims yang di tugasi
Khalifah mengamat-amati jalannya pemerintahan di Himsh.
Dalam pertemuan dengan delegasi tersebut, Khalifah ‘Umar meminta daftar fakir miskin
Himsh untuk diberikan santunan. Delegasi mengajukan daftar yang diminta Khalifah. Di dalam
daftar tersebut terdapat nama-nama si Fulan, dan nama Sa’id bin ‘Amir Al-Jumahy.
Ketika Khalifah meneliti daftar tersebut, beliau menemukan nama Sa’id bin ‘Amir Al-
Jumahy. Lalu beliau bertanya “Siapa Sa ‘id bin ‘Amir yang kalian cantumkan ini?”
“Gubernur kami! “jawab mereka.
“Betulkah Gubernur kalian miskin?” tanya khalifah heran.
“Sungguh, ya Amiral Mu’minin! Demi Allah! Sering kali di rumahnya tidak kelihatan
tanda-tanda api menyala (tidak memasak),”jawab mereka meyakinkan.
Mendengar perkataan itu, Khalifah ‘Umar menangis, sehingga air mata beliau meleleh
membasahi  jenggotnya.  Kemudian  beliau  mengambil  sebuah  pundi-pundi  berisi  uang  seribu
dinar.
“Kembalilah kalian ke Himsh. Sampaikan salamku kepada Gubernur Sa’id bin ‘Amir.
Dan  uang  ini  saya  kirim  kan  untuk  beliau,  guna  meringankan  kesulitan-kesulitan  rumah
tangganya” ucap ‘Umar sedih.
Setibanya  di  Himsh,  delegasi  itu  segera  menghadap  Gubernur  Sa’id,  menyampaikan
salam dan uang kiriman Khalifah untuk beliau Setelah Gubernur Sa ‘id melihat pundi-pundi
berisi uang dinar, pundi-pundi itu dijauhkannya dari sisinya seraya berucap, ‘inna lilahi wa inna
ilaihi raji’un. (Kita milik Allah, pasti kembali kepada Allah).”
Mendengar ucapannya itu, seolah-olah suatu mara bahaya sedang menimpanya. Kerana
itu isterinya segera menghampiri seraya bertanya, “Apa yang terjadi, hai ‘Sa ‘Id? Meninggalkah
Amirul Mu ‘minin?”
“Bahkan  lebih  besar  dan  itu!”  jawab  Sa’id  sedih.  “Apakah  tentara  muslimin  kalah
berperang?” tanya Isterinya pula.
“Jauh lebih besar dri itu!” jawab Sa’id tetap sedih. ‘Apa pulakah gerangan yang Iebih
dari itu?” tanya isterinya tak sabar.
‘Dunia  telah  datang  untuk  merusak  akhiratku.  Bencana  telah  menyusup  ke  rumah
tangga kita,’ jawab Sa’id mantap.
“Bebaskan dirimu daripadanya! “ kata isteri Sa’id memberi semangat, tanpa mengetahui
perihal adanya pundi pundi uang yang dikirimkan Khalifah ‘Umar untuk pri badi suaminya.
“Mahukah Engkau menolongku berbuat demikian?” tanya Sa ‘id.
‘Tentu...;! “jawab isterinya bersemangat.
Maka Sa’id mengambil pundi-pundi uang itu, lalu disuruhnya isterinya membagi-bagi 
kepada fakir miskin.
Tidak  berapa  lama  kemudian,  Khalifah  ‘Umar  berkunjung  ke  Syria,  mengininspeksi
pemerintahan di sana. Dalam kunjungannya itu beliau. menyempatkan diri singgah di Himsh
Kota Himsh pada masa itu dinamai orang pula “Kuwaifah (Kufah kedil)”, kerana rakyat nya
sering  melapor  kepada  pemerintah  pusat  dengan  ke1emahan-kelemahan  Gubernur  mereka,
persis seperti kelakuan masyarakat Kufah.
Tatkala Khalifah singgah di sana, rakyat mengeluelukan beliau, mengucapkan Selamat
Datang.
Khalifah  bertanya  kepada  rakyat,  “Bagaimana  penilaian  Saudara-Saudara  terhadap
kebijakan Gubernur.
“Ada empat macam kelemahan yang hendak kami laporkan kepada Khalifah,” jawab
rakyat.
“Saya akan pertemukan kalian dengan Gubernur kalian,” jawab Khalifah ‘Umar sambil
mendo’a: “Semoga sangka baik saya selama ini kepada Sa’id bin ‘Amir tidak salah.”
Maka tatkala semua pihak—iaitu Gubernur dan masyarakat—telah lengkap berada di
hadapan Khalifah, beliau bertanya kepada rakyat, “Bagaimana laporan sau dara-saudara tentang
kebijakan Gubernur Saudara-sau dara?”
Pertanyaan Khalifah dijawab oleh seorang Juru Bicara.
Pertama: Gubernur selalu tiba di tempat tugas setelah matahari tinggi.
“Bagaimana  tanggapan  Anda  mengenai  lapor’an  rakyat Anda  itu,  hai  Sa  ‘id?”  tanya
Khalifah.
Gubernur  Sa’id  bin  ‘Amir  Al-Jumahy  diam  sejenak.  Kemudian  dia  berkata:
“Sesungguhnya saya keberatan menanggapinya. Tetapi apa boleh buat.. Keluarga saya ti dak
mempunyai pembantu. Kerana itu tiap pagi saya terpaksa turun tangan membuat adonan roti
lebih dahulu untuk mereka. Sesudah adonan itu asam (siap untuk dimasak), barulah saya buat
roti.  Kemudian  saya  berwudhu’.  Sesudah  itu  barulah saya  berangkat  ke  tempat  tugas  untuk
melayani masyarakat.”
“Apa lagi laporan Saudara-saudara?” tanya Khalifah kepada hadirin.
Kedua, Gubernur tidak bersedia melayani kami pada malam hari.”
“Bagaimana pula tanggapan Anda mengenai itu, hai Sa’id?” tanya khalifah.
“ Ini sesungguhnya lebih berat bagi saya menanggapinya, terutama di hadapan umum
seperti ini,” kata Sa ‘id. “Saya telah membagi waktu saya, siang hari untuk melayani masyarakat,
malam hari untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah,” lanjut Sa ‘id
“Apa lagi,” tanya Khalifah kepada hadirin.
Ketiga: Gubernur tidak masuk kantor sehari penuh dalam sebulan.
“Bagaimana pula tanggapan Anda, hai Sa’id?” tanya Khalifah ‘Umar.
“Sebagaimana  telah  saya  terangkan  tadi,  saya  tidak mempunyai  pembantu  rumah
tangga. Di samping itu saya hanya memiliki sepasang pakaian yang melekat di badan ku ini.
Saya mencucinya sekali sebulan. Bila saya mencucinya, saya terpaksa menunggu kering lebih
dahulu. Sesudah itu barulah saya dapat keluar melayani masyarakat,” ucap Said.
‘Nah, apa lagi laporan selanjutnya?” tanya Khalifah.
Keempai:  Sewaktu-waktu  Gubernur  menutup  diri  untuk bicara.  Pada  saat-saat  seperti  itu,
biasanya beliau pergi meninggalkan majlis.”
“Silakan menanggapi, hai Gubernur Said!” kata Khali fah ‘Umar.
“Ketika  saya  masih  musyrik  dulu,  saya  pernah  menyaksikan  almarhum  Khubaib  bin
‘Ady dihukum mati oleh kaum Quraisy kafir. Saya menyaksikan mereka menyayat-nyayat tubuh
Khubaib  berkeping-keping.  Pada  waktu  itu  mereka  bertanya  mengejek  Khubaib,  “Sukakah
engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebaskan?”
Ejekan mereka itu dijawab oleh Khubaib, “Saya tidak ingin bersenang-senang dengan
isteri dan anak-anak saya, sementara Nabi Muhammad tertusuk duri ...“
‘Demi  Allah...!”  kata  Sa’id.  “Jika  saya  teringat  akan  peristiwa  ,  di  waktu  mana  saya
membiarkan  Khubaib  tanpa  membelanya  sedikit  jua  pun,  maka  saya  merasa,  bahwa  dosaku
tidak akan diampuni Allah swt.”
Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku,” kata Khalifah ‘U mar mengkahiri
dialog itu.
Sekembalinya  ke  Madinah,  Khalifah  ‘Umar  mengirimi  Gubernur  Sa’id  seribu  dinar
untuk memenuhi kebutuhannya.
Melihat jumlah uang sebanyak itu, isterinya berkata kepada Sa’jd, “Segala puji bagi Allah
yang  mencukupi  kita  berkat  pengabdianmu.  Saya  ingin  uang  ini  kita  per  gunakan  untuk
membeli bahan pangan dan kelengkapan kelengkapan lain-lain. Dan saya ingin pula menggaji
seorang pembantu rumah tangga untuk kita.”
“Adakah usul yang lebih baik dan itu?” tanya Sa’id kepada isterinya.
“Apa pulakah yang lebih baik dari itu? “ jawab isterinya balik bertanya.
“Kita  bagi-bagikan  saja  uang  ini  kepada  rakyat  yang  membutuhkannya.  Itulah  yang
lebih baik bagj kita,” jawab Sa’id.
“Mengapa....?” tanya isterinya.
‘Dengan  begitu  berarti  kita  mendepositokan  uang  ini  kepada  Allah.  Itulah  cara  yang
lebih baik,” kata Said.
“Baiklah kalau begitu,” kata isterinya. “Semoga kita dibalasi Allah dengan balasan yang
paling baik.”
Sebelum mereka meninggalkan majlis, uang itu dimasukkan Sa ‘Id ke dalam beberapa
pundi, lalu diperintah kannya kepada salah seorang keluarganya:
‘Pundi  ini  berikan  kepada  janda  si  Fulan.  Pundi  ini  kepada  anak  yatim  Si  Fulan.  ini
kepada si Fulan yang miskin... dan seterusnya.”
Semoga  Allah  swt.  meridhai  Sa’id  bin  ‘Amir  Al-Jumahy.  Dja  telah  membeli  akhirat
dengan  menghindari  godaan  kemewahan  dunia,  dan  mengutamakan  keridhaan  Allah  serta
pahala yang berlipat ganda di akhirat, lebih dan segala-galanya. Amin!!!