Ibnu Taimiyah, Bintang Terang di Alam Dakwah & Jihad
ما يفعل أعدائي بي ؟ ..
أنا جنتي و بستاني في صدري ..
أين ما رحت فهي معي ..
أنا حبسي خلوة ..
و نفيي سياحة ..( يعني الترحيل عن البلد )
و قتلي شهادة ..
المأسور من أسره هواه ..
و المحبوس من حبس قلبه عن ربه ..
أنا جنتي و بستاني في صدري ..
أين ما رحت فهي معي ..
أنا حبسي خلوة ..
و نفيي سياحة ..( يعني الترحيل عن البلد )
و قتلي شهادة ..
المأسور من أسره هواه ..
و المحبوس من حبس قلبه عن ربه ..
(terjemahnya di akhir
artikel)
Tanggal 20 Dzulqaidah 1430 H
atau bertepatan dengan tanggal 8 November 2009 kemarin, tepat tujuh ratus dua
(702) tahun umat Islam kehilangan salah satu pahlawannya dalam sepanjang
sejarah. Sang Pahlawan yang menjadi komandan, ulama, mujtahid, dan mujahid
pembela Islam. Kehidupannya tak pernah lepas dari bayang-bayang penguasa tirani
dan jeruji besi. Pahlawan itu bernama Abul-Abbas Taqiyud-Din Ahmad ibn
Abdul-Salaam ibn Abdullah ibn Taymiyah al-Harrani atau yang lebih dikenal
dengan nama Ibnu Taimiyah.
Ia dilahirkan dari
lingkungan keluarga yang religius dan berlatarbelakang intelektual kuat.
Ayahnya Syihabuddin bin Taymiyyah merupakan hakim sekaligus khatib. Kakeknya
bernama Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taymiyyah Al-Harrani
seorang ulama fiqih, ahli hadits, tafsir, ilmu ushul dan hafidz.
Ibnu Taymiyyah lahir di
Harran, 10 Rabiul Awwal 661 H ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan
budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (tahun
1268), Ibnu Taymiyyah dibawa ayahnya ke Damaskus disebabkan serbuan tentara
Mongol atas Irak.
Seperti ayah dan kakeknya,
Ibnu Taymiyyah pun memiliki IQ tinggi. Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda
kecerdasannya. Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang
ulama besar dari Halab (di Syria, pen.) yang sengaja datang ke Damsyiq, khusus
untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah
bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan
matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara
cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, iapun
dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama
tersebut berkata: “Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan
besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.
Ketika umurnya belum
mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mendalami
bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab. Pada umur itu, ia telah mengkaji
musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian kutubu-Sittah dan Mu’jam
At-Thabarani Al-Kabir.
Di Damaskus ia belajar pada
banyak guru. Ilmu hitung, khat, Nahwu, Ushul fiqih merupakan bagian dari ilmu
yang diperolehnya. Di usia belia ia telah mereguk limpahan ilmu utama dari
manusia utama. Dan satu hal ia dikaruniai Allah Ta’ala kemampuan mudah hafal
dan sukar lupa. Hingga sejak kecil, ia telah hafal Al-qur’an.
Ibnu Taymiyyah amat
menguasai rijalul Hadits (perawi hadits) dan Fununul hadits
(macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Beliau memahami semua hadits
yang termuat dalam Kutubus Sittah dan berbagai Al-Musnad.
Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah, ia memiliki kehebatan yang luar
biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir. Tiap
malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu ‘ushul sambil mengomentari para filosof.
Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang
memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari’ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam
Tarikul Ibnul Warid bahwa karangan beliau mencapai lima ratus judul.
Sekalipun kecintaannya
terhadap ilmu sangatlah mendalam, Ibnu Taymiyyah tidaklah lantas
meninggalkan kegiatan-kegiatan amaliyah dan aktivitas-aktivitas dakwah dan
jihad seperti yang telah ditinggalkan kebanyakan ulama-ulama masa kini
yang hanya puas bergelut dengan buku dan kitab-kitab saja. Ibnu Taymiyyah tidak
berdiam diri jika melihat kemungkaran yang di lihatnya. Ia langsung ikut terjun
ke masyarakat menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Ia tak mengambil sikap uzlah
melihat merajalelanya kemaksiatan dan kemungkaran. Suatu kali, dalam
perjalanannya ke Damaskus, di sebuah warung yang biasa jadi tempat berkumpulnya
para pandai besi, ia melihat orang bermain catur (permainan yang dianggapnya
sebagai permainan maksiat_pen). Ia langsung mendatangi tempat itu untuk
mengambil papan catur dan membalikkannya. Mereka yang tengah bermain catur
hanya termangu dan diam.
Tak hanya itu, dengan
tangannya sendiri, ia juga pernah mengobrak-abrik tempat pemabukan
dan pendukungnya. Sesuatu yang hampir sama dilakukan oleh Front Pembela Islam
serta laskar-laskar Islam lainnya terutama jika bulan Ramadhan. Bahkan, pernah
pada suatu Jum’at, Ibnu Taymiyyah dan pengikutnya memerangi penduduk yang
tinggal di gunung Jurdu dan Kasrawan karena mereka sesat dan rusak aqidahnya akibat
perlakuan tentara Tar-Tar yang pernah menghancurkan kota itu. Beliau kemudian
menerangkan hakikat Islam pada mereka.
Amaliyah amar ma’ruf nahi
munkarnya tak berhenti di situ. Ia melanjutkannya dengan berjihad dalam arti
perang. Sesuatu yang sangat jauh sekali dilakukan oleh para ulama-ulama
kebanyakan hari ini. Ia adalah seorang mujahid yang menjadikan jihad sebagai
jalan hidupnya. Tahun 700 H, saat Syam dikepung tentara Tar-Tar. Ia segera
mendatangi walikota Syam guna memecahkan segala kemungkinan yang terjadi.
Dengan mengemukakan ayat Alqur’an, ia bangkitkan keberanian membela tanah air
menghalau musuh. Kegigihannya itu membuat ia dipercaya untuk meminta bantuan
bala tentara dari sultan di Kairo. Dengan argumentasi yang matang dan tepat, ia
mampu menggugah hati Sultan. Ia kerahkan seluruh tentaranya menuju Syam
sehingga akhirnya diperoleh kemenangan yang gemilang.
Pada Ramadhan 702 H, ia
terjun sendiri ke medan perang Syuquq yang menjadi pusat komando pasukan
Tar-Tar. Bersama tentara Mesir, mereka semua maju bersama dibawah komando
Sultan. Dengan semangat Allahu Akbar yang menggema mereka berhasil mengusir
tentara Tar-Tar. Dan Syuquq dapat rebut kembali..
Pribadi Ibnu Taymiyyah
memiliki banyak sisi. Sebuah peran yang sering terlihat adalah kegiatannya menentang
segala bid’ah, khurafat dan pandangan-pandangan yang menurutnya sesat. Tak
heran jika ia banyak mendapat tantangan dan tentangan dari para ahlul bid’ah di
zamannya.
Sebagian besar mereka
bermaksud melenyapkan syari’at Muhammad yang suci, yang berada di atas segala
agama dan hukum. Para pemuka aliran sesat tersebut menyebabkan manusia berada
dalam keraguan tentang dasar-dasar agama mereka.
”Mereka adalah orang-orang
zindiq yang tak yakin dengan agama. Setelah saya melihat semua itu, jelaslah
bagi saya bahwa wajib bagi setiap orang yang mampu untuk menentang kebathilan
serta melemahkan hujjah-hujjah mereka, untuk mengerahkan tenaganya dalam
menyingkap keburukan-keburukannya dan menolak dalil-dalil mereka.” Demikian
diantara beberapa pendapatnya yang mendapat tantangan dari mereka yang merasa
dipojokkan dan disalahkan.
Tahun 705 H, kemampuan dan
keampuhan Ibnu Taymiyyah diuji. Para Qadhi berkumpul bersama sultan di istana.
Setelah melalui perdebatan yang sengit antara mereka, akhirnya jelas bahwa Ibnu
Taymiyyah memegang aqidah yang benar. Banyak diantara mereka menyadari akan
kebenaran Ibnu Taymiyyah.
Namun, upaya pendeskriditan
terhadap pribadi Ibnu Taymiyyah terus berlangsung. Dalam sebuah pertemuan di
Kairo ia dituduh meresahkan masyarakat melalui pendapat-pendapatnya yang
kontroversial. Sang qadhi yang telah terkena hasutan memutuskan Ibnu
Taymiyyah bersalah. Beliau di vonis penjara selama satu tahun beberapa bulan.
Dalam perjalanan hidupnya,
ia tak hanya sekali merasakan kehidupan penjara. Tahun 726 H, berdasarkan fakta
yang diputar balikkan, Sultan megeluarkan perintah penangkapannya. Mendengar
hal ini beliau berujar, “Saya menunggu hal itu. Disana ada kebaikan banyak
sekali.”
Itulah Ibnu Taimiyah, ulama
besar yang meringkuk dalam penjara Mesir. Baru saja ia bebas dari penjara,
kemudian ditangkap lagi dan dipenjarakan yang kedua kalinya selama setengah
tahun lagi. Sebabnya karena ia menulis sebuah kitab yang isinya tentang masalah
ketuhanan yang tidak di terima banyak kalangan. Jadi, pribadi Ibnu Taymiyyah
pun bukanlah tergolong ulama yang dekat dengan penguasa serta menjadi penjilat
di sisinya. Banyak pula orang-orang maupun ulama yang menganggapnya sesat dan
menyesatkan. Di dalam, penjara yang hanya setengah tahun itu ia berhasil
menginsafkan penghuni penjara yang tinggal bersama beliau sehingga semua yang
insaf dan kemudian menjadi pengikut yang setia.
Kehidupan dalam penjara ia
manfaatkan untuk membaca dan menulis. Tulisan-tulisannya tetap mengesankan
kekuatan hujjah dan semangat serta pendapat beliau. Sikap itu malah
mempersempit ruang gerak Ibnu Taymiyyah. Tanggal 9 Jumadil Akhir 728 H, semua
buku, kertas, tinta dan pena-nya dirampas. Perampasan itu merupakan hantaman
berat bagi Ibnu Taymiyyah. Setelah dilarang menulis, ia lebih banyak membaca ayat
suci dan beribadah. Memperbanyak tahajjud hingga keyakinanya makin mantap.
Beliau pun mengambil kitab suci Al-Quran yang tidak ikut dirampas, meskipun
beliau hafidz. Beliau baca Al-Quran itu sampai penat, kemudian berzikir dan
shalat. Demikianlah yang ia kerjakan, sehingga sejak itu telah menamatkan
(mengkhatamkan) membaca Al-Quran 80 (delapan puluh kali).
Dan ketika ia membaca akan
masuk ke 81 kalinya, tetapi ketika sampai kepada ayat yang artinya,” ...
Sesungguhnya orang yang muttaqin itu akan duduk di dalam syurga dan
sungai-sungai yang mengalir di bawahnya, di dalam kedudukan yang benar, pada
sisi Tuhan Allah Yang Maha Kuasa.” Ia pun tidak dapat meneruskan bacaannya
lagi, karena jatuh sakit selama 20 hari.
Saat itu ia telah berusia 67
tahun, dan telah merengkuk dalam penjara yang terakhir itu selama lebih dari 20
bulan lamanya, dan ketika itu sakit beliau semakin bertambah. Orang banyak
tidak mengetahui bahwa beliau dalam keadaan sakit, karena yang mengurus diri
beliau hanyalah Ibnul Qayyim Al-Jauziyah muridnya yang setia. Baru setelah
muadzin berseru dari atas menara bahwa ia telah pulang ke rahmatullah,
berduyun-duyun orang mengerumuni gerbang penjara.
Semua orang yang terisak
menangis dan meratapi kematian beliau. Mereka berebutan ingin melihat wajahnya,
memegang jenazah dan bahkan ada yang berusaha menciumnya.
Beliau meninggal dunia hari
Senin, 20 Dzulqaidah 728 H (26-28 September 1328 M), dalam usia 67 tahun,
setelah sakit dalam penjara lebih dari 20 hari. Beliau menghembuskan nafas yang
terakhir di atas sajadah shalatnya, sedang dalam keadaan membaca Al-Quran. Ia
akhirnya harus mati membela kebenaran dalam penjara. Pasar-pasar di kota
Damaskus sepi. Kehidupan terhenti sejenak. Para Emir, pemimpin, ulama dan
fuqaha, tentara, laki-laki dan perempuan, anak-anak kecil semuanya keluar
rumah. Semua manusia turun ke jalan mengantar jenazahnya. Menurut ahli sejarah,
belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta dihormati oleh orang
sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hambal. Ia dikuburkan
pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam
Syarafuddin.
Ada sebuah pesan yang
singkat dan padat yang beliau tinggalkan bagi para pejuang hingga akhir zaman,
pesan yang beliau kemas dalam bentuk syair yang indah dan tajam :
Apa yang bisa
diperbuat musuh padaku !!!!
taman dan kebun (surga)ku ada di dadaku
taman dan kebun (surga)ku ada di dadaku
Kemanapun ku pergi,
ia selalu bersamaku
dan tiada pernah
tinggalkan aku.
terpenjaraku adalah khalwat
pembunuhanku adalah mati syahid
Terusirku dari negeriku adalah rekreasi
terpenjaraku adalah khalwat
pembunuhanku adalah mati syahid
Terusirku dari negeriku adalah rekreasi
(Ibnu Taymiyyah)
(ditulis dengan
mencomot sumber sana-sini secara acak dan sporadis)
NB:
Untuk lebih mengenal tentang
Ibnu Taymiyyah silakan membaca buku-buku yang lebih lengkap yang membahas
tentang beliau seperti:
1.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, karya Abul Hasan Ali An-Nadwi,
Penerjemah Drs. H.M. Qadirun Nur, Penerbit CV. Pustaka Mantiq
2.
Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli, cet
II 1397 H/1977 M. Maktabah Dar-Al-Ma’rifah–Dimasyq
3.
Ibnu Taimiyah – Sejarah Hidup dan Pemikiran, Penulis Ahmadi Thaha,
Penerbit Bina Ilmu
4.
Catatan-catatan Spiritual Ibnu Taimiyah, Pengarang: Shaleh bin Abdul Aziz bin Muhammad bin
Alu Syaikh Penerbit: AKBAR
5.
Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah Penulis Khalid I. Jindan
Penerbit Rineka Cipta Tahun Penerbitan 2002
6.
Tasawuf, antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah, Penulis: Dr. Abdul
Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, Penerbit : Khalifa.
7.
dan lain-lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar