Al-Qosim bin Muhammad
Ia merupakan putra pertama Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم dan beliau dijuluki dengan Abul Qosim, ia hidup hingga mampu berjalan kemudian meninggal dunia dalam usia 2 tahun.
Tidak boleh orang berkunyah ‘Abul Qosim’ berdasarkan Hadits Rasulullah shollahu’alaihiwasallam, “Hendaklah kalian bernama dengan nama-namaku tetapi jangan berkunyah dengan kunyahku (Abul Qosim).” (HR. Bukhori no. 3537 dll).
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Pendapat yang benar bernama dengan nama Nabi itu diperbolehkan. Sedangkan berkunyah dengan kunyah Nabi itu terlarang. Berkunyah dengan kunyah Nabi saat beliau masih hidup itu terlarang lagi. Terkumpulnya nama dan kunyah Nabi pada diri seseorang juga terlarang.” (Zaadul Ma’ad, 2/317, Muassasah Ar-Risalah).
Beliau juga mengatakan, “Kunyah adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap orang yang diberi kunyah… diantara petunjuk Nabi adalah memberi kepada orang yang sudah punya ataupun yang tidak punya anak. Tidak terdapat Hadits yang melarang berkunyah dengan nama tertentu, kecuali berkunyah dengan nama Abul Qasim.” (Zaadul Maad, 2/314).
Imam Ibnu Muflih berkata, “Diperbolehkan berkunyah meskipun belum memiliki anak.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 3/152, Muassasah Ar-Risalah).
BERKUNYAH; julukan yang biasanya diambil dari nama anaknya, misal abu iram, mengambil dari anaknya yang namanya iram, tapi tak selalu demikian
Zainab binti Muhammad
(Wafat
8 H)
Zainab adalah putri tertua
Rasulullah .. Rasulullah . telah menikahkannya dengan sepupu beliau, yaitu Abul
‘Ash bin Rabi’ sebelum beliau diangkat menjadi Nabi, atau ketika Islam belum
tersebar di tengah-tengah mereka. lbu Abul ‘Ash adalah Halah binti Khuwaylid,
bibi Zainab dari pihak ibu. Dari pernikahannya dengan Abul ‘Ash mereka
mempunyai dua orang anak: Ali dan Umamah. Ali meninggal ketika masih
kanak-kanak dan Umamah tumbuh dewasa dan kemudian menikah dengan Ali bin Abi
Thalib. setelah wafatnya Fatimah.
Setelah berumah tangga, Zainab
tinggal bersama Abul ‘Ash bin Rabi’ suaminya. Hingga pada suatu ketika, pada
saat suaminya pergi bekerja, Zainab mengunjungi ibunya. Dan ia dapatkan
keluarganya telah mendapatkan suatu karunia dengan diangkatnya, ayahnya,
Muhammad . menjadi Nabi akhir jaman. Zainab mendengarkan keterangan tentang
Islam dari ibunya, Khadijah.. Keterangan ini membuat hatinya lembut dan
menerima hidayah Islam. Dan keislamannya ini ia pegang dengan teguh, walaupun
ia belum menerangkan keislamannya kepada suaminya, Abul ‘Ash.
Sedangkan Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah
termasuk orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Pekerjaan sehari-harinya
adalah sebagai peniaga. Ia sering meninggalkan Zainab untuk keperluan
dagangnya. la sudah mendengar tentang pengakuan Muhammad sebagai Nabi .. Namun,
ia tidak mengetahui bahwa istrinya, Zainab sudah memeluk Islam. Pada tahun ke-6
setelah hijrah Nabi . ke Madinah.
Abul ‘Ash bin Rabi’ pergi ke Syria
beserta kafilah-kafilah Quraisy untuk berdagang. Ketika Rasulullah . mendengar
bahwa ada kafilah Quraisy yang sedang kembali dari Syria, beliau mengirim Zaid
bin Haritsah ra. bersama 313 pasukan muslimin untuk menyerang kafilah Quraisy
ini. Mereka menghadang kafilah ini di dekat Al-is di Badar pada bulan jumadil
Awal. Mereka menangkap kafilah itu dan barang-barang yang dibawanya serta
menahan beberapa orang dari kafilah itu, termasuk Abul ‘Ash bin Rabi’. Ketika
penduduk Mekkah datang unluk menebus para tawanan, maka saudara laki-laki Abul
‘Ash, yaitu Amar bin Rabi’, telah datang untuk menebus dirinya. Ketika itu,
Zainab istri Abul ‘Ash masih tinggal di Mekkah. la pun telah mendengar berita
serangan kaum muslimin atas kafilah-kafilah Quraisy termasuk berita tertawannya
Abul ‘Ash.
Berita ini sangat meiiyedihkannya.
Lalu ia mengirimkan kalungnya yang terbuat dari batu onyx Zafar hadiah dari
ibunya, Khadijah binti Khuwaylid ra.. Zafar adalah sebuah gunung di Yaman.
Khadijah binti Khuwaylid telah memberikan kalung itu kepada Zainab ketika ia
akan menikah dengan Abul ‘Ash bin Rabi’. Dan kali ini, Zainab mengirimkan
kalung itu sebagai tebusan atas suaminya, Abul ‘Ash. Kalung itu sampai di
tangan Rasulullah . Ketika beliau . melihat kalung itu, beliau segera
mengenalinya. Dan kalung itu mengingatkan beliau kepada istrinya yang sangat ia
sayangi, Khadijah. Beliau berkata, ‘Seorang Mukmin adatah penolong bagi orang
Mukmin lainnya. Setidaknya mereka memberikan perlindungan. Kita lindungi orang
yang dilindungi oleh Zainab. jika kalian bisa mencari jalan untuk niembebaskan Abul
‘Ash kepada Zainab dan mengembalikan kalungnya itu kepadanya, maka lakukaniah.’
Mereka menjawab, ‘Baik, ya Rasulullah ‘ Maka mereka segera membebaskan Abul
‘Ash dan mengembalikan kalung itu kepada Zainab.
Kemudian Rasulullah . menyuruh Abul
‘Ash agar berjanji untuk membiarkan Zainab bergabung bersama Rasulullah . Dia
pun berjanji dan memenuhi janjinya itu. Ketika Rasulullah . pulang ke rumahnya,
Zainab datang menemuinya dan meminta untuk mengembalikan kepada Abul ‘Ash apa
yang pernah diambil darinya. Beliau mengabulkannya. Pada kesempatan itu, Beliau
pun telah melarang Zainab agar tidak mendatangi Abul ‘Ash, karena dia tidak
halal bagi Zainab selama dia masih kafir.
Llalu Abul ‘Ash kembali ke Mekkah
dan menyelesaikan semua kewajibannya. Kemudian dia masuk Islam dan kembali
kepada Rasulutiah sebagai seorang Muslim. Dia berhijrah pada bulan Muharram, 7
Hijriyah. Maka Rasulullah . pun mengembalikan Zainab kepadanya, berdasarkan
pernikahannya yang pertama
Zainab wafat pada tahun 8 Hijriyah.
Orang-orang yang memandikan jenazahnya ketika itu, antara lain ialah; Ummu
Aiman, Saudah binti Zam’ah, Ummu Athiyah dan Ummu Salamah.. Rasulullah .
berpesan kepada mereka yang akan memandikan jenazahnya ketika itu, ‘Basuhiah
dia dalarn jumlah yang ganjil, 3 atau 5 kali atau iebih jika kalian merasa
lebih baik begitu. Mulailah dari sisi kanan dan anggota-anggota wudhu. Mandikan
dia dengan air dan bunga. Bubuhi sedikit kapur barus pada air siraman yang
terakhir. Jika kalian sudah selesai beritahukaniah kepadaku.’ Ketika itu,
rambut jenazah dikepang meniadi tiga kepangan, di samping dan di depan lalu
dikebelakangkan. Setelah selesai dari memandikan jenazah, Ummu Athiyah
memberitahukan kepada Nabi . Lalu Nabi memberikan selimutnya dan berkata,
‘Kafanilah dia dengan kain ini.’
Cerita
cinta
Cinta tak cukup untuk menyatukan dua
manusia. Tatkala jalan telah berbeda, tak kan mungkin mereka saling bersama.
Namun cahaya keimanan akan mempertemukan kembali yang telah terpisahkan sekian
lama.
Tersebutlah kisah tentang putri
pemimpin para nabi. Terlahir dari rahim ibundanya, seorang wanita bangan
Quraisy, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay
Al-Qurasyiyyah radhiallahu ‘anhu, saat ayahnya memasuki usia tiga puluh tahun.
Dia bernama Zainab radhiallahu ‘anha bintu Muhammad bin ‘Abdillah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Semasa hidup ibunya, sang putri yang
menawan ini disunting oleh seorang pemuda, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ bin ‘Abdil
‘Uzza bin ‘Abdisy Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi namanya. Dia
putra Halah bintu Khuwailid, saudari perempuan Khadijah. Ketika itu, Khadijah
radhiallahu ‘anha menghadiahkan seuntai kalung untuk pengantin putrinya. Dari
pernikahan itu, lahir Umamah dan ‘Ali, dua putra-putri Abul ‘Ash.
Tatkala cahaya Islam merebak, Allah
Subhanahu wa Ta’ala membuka hati Zainab radhiallahu ‘anha untuk menyambutnya.
Namun, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ masih berada di atas agama nenek moyangnya. Dua
insan di atas dua jalan yang berbeda…
Orang-orang musyrik pun mendesak
Abul ‘Ash untuk menceraikan Zainab, namun Abul ‘Ash dengan tegas menolak
mentah-mentah permintaan mereka. Akan tetapi, Zainab radhiallahu ‘anha masih
pula tertahan untuk bertolak ke bumi hijrah.
Ramadhan tahun kedua setelah hijrah,
terukir peristiwa Badr. Dalam pertempuran itu, terbunuh tujuh puluh orang dari
pihak musyrikin dan tertawan tujuh puluh orang dari mereka. Di antara tawanan
itu ada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’.
Penduduk Makkah pun mengirim tebusan
untuk membebaskan para tawanan. Terselip di antara harta tebusan itu seuntai
kalung milik Zainab radhiallahu ‘anha untuk kebebasan suaminya. Ketika melihat
kalung itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkenang pada Khadijah
radhiallahu ‘anha yang telah tiada. Betapa terharu hati beliau mengingat putri
yang dicintainya. Lalu beliau berkata pada para shahabat, “Apabila kalian
bersedia membebaskan tawanan yang ditebus oleh Zainab dan mengembalikan harta
tebusan yang dia berikan, lakukanlah hal itu.” Para shahabat pun menjawab, “Baiklah,
wahai Rasulullah!”
Kemudian mereka lepaskan Abul ‘Ash
bin Ar-Rabi’ dan mengembalikan seuntai kalung Zainab yang dijadikan harta
tebusan itu.
Ketika itu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam meminta Abul ‘Ash untuk berjanji agar membiarkan Zainab pergi
meninggalkan negeri Makkah menuju Madinah. Kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu bersama salah
seorang Anshar sembari berkata, “Pergilah kalian ke perkampungan Ya’juj
sampai bertemu dengan Zainab, lalu bawalah dia kemari.”
Berpisahlah Zainab bintu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas jalan Islam, meninggalkan suaminya yang
masih berkubang dalam kesyirikan.
Menjelang peristiwa Fathu Makkah,
Abul ‘Ash keluar dari negeri Makkah bersama rombongan dagang membawa
barang-barang dagangan milik penduduk Makkah menuju Syam. Dalam perjalanannya,
rombongan itu bertemu dengan seratus tujuhpuluh orang pasukan Zaid bin Haritsah
yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadang
rombongan dagang itu. Pasukan muslimin pun berhasil menawan mereka dan
mengambil harta yang dibawa oleh rombongan musyrikin itu, namun Abul ‘Ash
berhasil meloloskan diri.
Ketika gelap malam merambah, Abul
‘Ash dengan diam-diam menemui istrinya, Zainab bintu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, untuk meminta perlindungan.
Subuh tiba. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabat berdiri menunaikan Shalat Shubuh. Saat itu,
Zainab radhiallahu ‘anha berseru dengan suara lantang, “Wahai kaum muslimin,
sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’!”
Usai shalat, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menghadap pada para shahabat sembari bertanya, “Kalian
mendengar apa yang aku dengar?” “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui apa pun
sampai aku mendengar apa yang baru saja kalian dengar.”
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menemui putrinya dan berpesan, “Wahai putriku, muliakanlah dia,
namun jangan sekali-kali dia mendekatimu karena dirimu tidak halal baginya.”
Zainab radhiallahu ‘anha menjawab, “Sesungguhnya dia datang semata untuk
mencari hartanya.”
Setelah itu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengumpulkan pasukan Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu dan
berkata pada mereka, “Sesungguhnya Abul ‘Ash termasuk keluarga kami
sebagaimana kalian ketahui, dan kalian telah mengambil hartanya sebagai fai’
yang diberikan Allah kepada kalian. Namun aku ingin kalian berbuat kebaikan dan
mengembalikan harta itu kepadanya. Akan tetapi kalau kalian enggan, maka kalian
lebih berhak atas harta itu.” Para shahabat menjawab, “Wahai Rasulullah,
kami akan kembalikan harta itu padanya.”
Seluruh harta yang dibawa Abul ‘Ash
kembali ke tangannya dan tidak berkurang sedikit pun. Segera dia membawa harta
itu kembali ke Makkah dan mengembalikan setiap harta titipan penduduk Makkah
pada pemiliknya. Lalu dia bertanya, “Apakah masih ada di antara kalian yang
belum mengambil kembali hartanya?” Mereka menjawab, “Semoga Allah memberikan
balasan yang baik padamu. Engkau benar-benar seorang yang mulia dan memenuhi
janji.” Abul ‘Ash pun kemudian menegaskan, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya! Demi Allah, tidak ada yang menahanku
untuk masuk Islam saat itu, kecuali aku khawatir kalian menyangka bahwa aku memakan
harta kalian. Sekarang setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala tunaikan harta itu
kepada kalian masing-masing, aku masuk Islam.” Abul ‘Ash bergegas meninggalkan
Makkah, hingga bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan Islam.
Enam tahun bukanlah rentang waktu
yang sebentar. Akhir penantian yang sekian lama pun menjelang. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan putri tercintanya, Zainab
radhiallahu ‘anhu kepada suaminya, Abul ‘Ash bin Ar- Rabi’ radhiallahu ‘anhu,
dengan nikahnya yang dulu dan tanpa menunaikan kembali maharnya. Dua insan kini
bersama meniti jalan mereka …
Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menetapkan taqdir-Nya. Tak lama setelah pertemuan itu, Zainab bintu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke hadapan Rabb-nya, pada
tahun kedelapan setelah hijrah, meninggalkan kekasihnya untuk selamanya.
Di antara para shahabiyyah yang
memandikan jenazahnya, ada Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyah radhiallahu ‘anha.
Darinya terpapar kisah dimandikannya jenazah Zainab radhiallahu ‘anha, sesuai
perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan guyuran air bercampur
daun bidara. Seusai itu, rambut Zainab radhiallahu ‘anha dijalin menjadi tiga
jalinan. Jenazahnya dibungkus dengan kain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Putri pemimpin para nabi itu telah pergi…
Sumber :
- Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu
‘Abdil Barr (4/1701-1704,1853-1854)
- Ath-Thabaqatul Kubra, karya
Al-Imam Ibnu Sa’d (8/30-35)
- Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, karya
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (hal. 110-117)
- Shahih As-Sirah An-Nabawiyah,
karya Ibrahim Al-‘Ali (hal. 192) .
|
Ruqayyah Binti
Rasulullah
(Wafat
2 H)
Ruqayyah telah menikah dengan Utbah
bin Abu lahab sebelum masa kenabian. Sebenarnya hat itu sangat tidak disukai
oleh Khadijah.. Karena ia telah mengenal perilaku ibu Utbah, yaitu Umrnu jamil
binti Harb, yang terkenal berperangai buruk dan jahat. ta khawatir putrinya
akan memperoleh sifat-sifat buruk dari ibu mertuanya tersebut. Dan ketika
Rasulullah . telah diangkat menjadi Nabi, maka Abu Lahablah, orang yang paling
memusuhi Rasulullah . dan Islam. Abu Lahab telah banyak menghasut orang-orang
Mekkah agar memusuhi Nabi . dan para sahabat . Begitu pufa istrinya, Ummu Jamil
yang senantiasa berusaha mencelakakan Rasulullah . dan memfitnahnya. Atas
perilaku Abu lahab dan permusuhannya yang keras terhadap Rasulullah ., maka
Allah telah menurunkan wahyu-Nya, ‘Maka celakalah kedua tangan Abu lahab, (Al
lahab: 1)
Setelah ayat ini turun, maka Abu
lahab berkata kepada kedua orang putranya, Utbah dan Utaibah, ‘Kepalaku tidak
haial bagi kepalamu selama kamu tidak menceraikan Putri Muhammad.’ Atas
perintah bapaknya itu, maka Utbah mericeraikan istrinya tanpa alasan. Setelah
bercerai dengan Utbah, kemudian Ruqayyah dinikahkan oleh Rasulullah . dengan
Utsman bin Affan.
Hati Ruqayyah pun berseri-seri
dengan pernikahannya ini. Karena Utsman adalah seorang Muslim yang beriman
teguh, berbudi luhur, tampan, kaya raya, dan dari golongan bangan Quraisy.
Setelah pernikahan itu, penderitaan kaum muslimin bertambah berat, dengan
tekanan dan penindasan dari kafirin Quraisy. Ketika semakin hari penderitaan
kaum muslimin, termasuk keluarga Rasulutlah . bertambah berat, maka dengan
berat hati Nabi . mengijinkan Utsman beserta keluarganya dan beberapa muslim
lainnya untuk berhijrah ke negeri Habasyah. Ketika itu Rasulullah . bersabda,
‘Pergilah ke negeri Habasyah, karena di sana ada seorang raja yang terkenal
baik budinya, tidak suka menganiaya siapapun, Di sana adalah bumi yang
melindungi kebenaran. Pergilah kalian ke sana. Sehingga Allah akan membebaskan
kalian dari penderitaan ini.’
Maka berangkatlah satu kafilah untuk
berhijrah dengan diketuai oleh Utsman bin Affan. Rasulullah . bersabda tentang
mereka, Mereka adalah orang yang pertama kali hijrah karena Allah setelah Nabi
Luth as.’ Setibanya di Habasyah mereka memperoleh perlakuan yang sangat baik
dari Raja Habasyah. Mereka hidup tenang dan tenteram, hingga datanglah berita
bahwa keadaan kaum muslimin di Mekkah telah aman. Mendengar berita tersebut,
disertai kerinduan kepada kampung halaman, maka Utsman memutuskan bahwa kafilah
muslimin yang dipimpimnya itu akan kembali lagi ke kampung halamannya di
Mekkah. Mereka pun kembali. Namun apa yang dijumpai adalah berbeda dengan apa
yang mereka dengar ketika di Habasyah. Pada masa itu, mereka mendapati keadaan
kaum muslimin yang mendapatkan penderitaan lebih parah lagi. Pembantaian dan
penyiksaan atas kaum muslimin semakin meningkat. Sehingga rombongan ini tidak
berani memasuki Mekkah pada siang hari. Ketika malam telah menyelimuti kota
Mekkah, barulah mereka mengunjungi rumah masingmasing yang dirasa aman.
Ruqayyah pun masuk ke rumahnya, melepas rindu terhadap orang tua dan
saudara-saudaranya.
Namun ketika matanya beredar ke
sekeliling rumah, ia tidak menjumpai satu sosok manusia yang sangat ia
rindukan. la bertanya, ‘Mana ibu?….. mana ibu?….’ Saudara-saudaranya terdiam
tidak menjawab. Maka Ruqayyah pun sadar, orang yang sangat berarti dalam
hidupnya itu telah tiada. Ruqayyah menangis. Hatinya sangat bergetar, bumi pun
rasanya berputar atas kepergiannya. Penderitaan hatinya, ternyata tidak
berhenti sampai di situ. Tidak lama berselang, anak lelaki satu-satunya, yaitu
Abdullah yang lahir ketika hijrah pertama, telah meninggal dunia pula. Padahal
nama Abdullah adalah kunyah bagi Utsman ra., yaitu Abu Abdullah.
Abdullah masih berusia dua tahun,
ketika seekor ayam jantan mematuk mukanya sehingga mukanya bengkak, maka Allah
mencabut nyawanya. Ruqayyah tidak mempunyai anak lagi setelah itu.
Dia hijrah ke Madinah setelah
Rasulullah j. hijrah. Ketika Rasulullah . bersiap-siap untuk perang Badar,
Ruqayyah jatuh sakit, sehingga Rasulullah . menyuruh Utsman bin Affan agar
tetap tinggal di Madinah untuk merawatnya. Namun maut telah menjemput Ruqayyah
ketika Rasulullah . masih berada di medan Badar pada bulan Ramadhan. Kemudian
berita wafatnya ini dikabarkan oleh Zaid bin Haritsah ke Badar. Dan kemenangan
kaum muslimin yang dibawa oleh Rasulullah . beserta pasukannya dari Badar,
ketika masuk ke kota Madinah, telah disambut dengan berita penguburan Ruqayyah.
Pada saat wafatnya Ruqayyah, Rasulullah . berkata, Bergabunglah dengan
pendahulu kita, Utsman bin Maz’un.’
Para wanita menangisi kepergian
Ruqayyah. Sehingga Umar bin Khattab. datang kepada para wanita itu dan memukuli
mereka dengan cambuknya agar mereka tidak keterlaluan dalam menangisi jenazah
Ruqayyah. Akan tetapi Rasulullah . menahan tangan Umar. dan berkata,
‘Biarkaniah mereka menangis, ya Umar. Tetapi hati-hatilah dengan bisikan
syaitan. Yang datang dari hati dan mata adalah dari Allah dan merupakan rahmat.
Yang datang dari tangan dan lidah adalah dari syaitan.’
Ruqoyyah
dan Ummu Kultsum
Lahir dua orang putri dari rahim
ibunya, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza radhiallahu ‘anha.
Menyandang nama Ruqayyah dan Ummu Kultsum radhiallahu ‘anhuma, di bawah
ketenangan naungan seorang ayah yang mulia, Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil
Muththalib Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebelum datang masa sang ayah
diangkat sebagai nabi Allah, Ruqayyah disunting oleh seorang pemuda bernama
‘Utbah, putra Abu Lahab bin ‘Abdul Muththalib, sementara Ummu Kultsum menikah
dengan saudara ‘Utbah, ‘Utaibah bin Abi Lahab. Namun, pernikahan itu tak
berjalan lama. Berawal dengan diangkatnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai nabi, menyusul kemudian turun Surat Al-Lahab yang berisi cercaan
terhadap Abu Lahab, maka Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, menjadi berang.
Dia berkata kepada dua putranya, ‘Utbah dan ‘Utaibah yang menyunting
putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Haram jika kalian
berdua tidak menceraikan kedua putri Muhammad!”
Kembalilah dua putri yang mulia ini
dalam keteduhan naungan ayah bundanya, sebelum sempat dicampuri suaminya.
Bahkan dengan itulah Allah selamatkan mereka berdua dari musuh-musuh-Nya.
Ruqayyah dan Ummu Kultsum pun berislam bersama ibunda dan saudari-saudarinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
ganti yang jauh lebih baik. Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha
disunting oleh seorang sahabat mulia, ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu.
Sebagaimana kaum muslimin yang lain,
mereka berdua menghadapi gelombang ujian yang sedemikian dahsyat melalui tangan
kaum musyrikin Mekkah dalam menggenggam keimanan. Hingga akhirnya, pada tahun
kelima setelah nubuwah, Allah Subhanahu wa Ta’ala bukakan jalan untuk hijrah ke
bumi Habasyah, menuju perlindungan seorang raja yang tidak pernah menzalimi
siapa pun yang ada bersamanya. ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu membawa
istrinya di atas keledai, meninggalkan Mekkah, bersama sepuluh orang sahabat
yang lainnya, berjalan kaki menuju pantai. Di sana mereka menyewa sebuah perahu
seharga setengah dinar.
Di bumi Habasyah, Ruqayyah
radhiallahu ‘anha melahirkan seorang putra yang bernama ‘Abdullah. Akan tetapi,
putra ‘Utsman ini tidak berusia panjang. Suatu ketika, ada seekor ayam jantan
yang mematuk matanya hingga membengkak wajahnya. Dengan sebab musibah ini,
‘Abdullah meninggal dalam usia enam tahun.
Perjalanan mereka belum berakhir.
Saat kaum muslimin meninggalkan negeri Makkah untuk hijrah ke Madinah, mereka
berdua pun turut berhijrah ke negeri itu. Begitu pun Ummu Kultsum radhiallahu
‘anha, berhijrah bersama keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selang berapa lama mereka tinggal di
Madinah, bergema seruan perang Badr. Para sahabat bersiap untuk menghadapi
musuh-musuh Allah. Namun bersamaan dengan itu, Ruqayyah bintu Rasulullah
radhiallahu ‘anha diserang sakit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
memerintahkan ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu untuk tetap tinggal menemani
istrinya.
Ternyata itulah pertemuan mereka
yang terakhir. Di antara malam-malam peristiwa Badr, Ruqayyah bintu Rasulullah
radhiallahu ‘anha kembali ke hadapan Rabbnya karena sakit yang dideritanya.
‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu sendiri yang turun untuk meletakkan jasad
istrinya di dalam kuburnya.
Saat diratakan tanah pekuburan
Ruqayyah radhiallahu ‘anha, terdengar kabar gembira kegemilangan pasukan
muslimin melibas kaum musyrikin yang diserukan oleh Zaid bin Haritsah
radhiallahu ‘anhu. Kedukaan itu berlangsung bersama datangnya kemenangan, saat
Ruqayyah bintu Muhammad radhiallahu ‘anha pergi untuk selama-lamanya pada tahun
kedua setelah hijrah.
Sepeninggal Ruqayyah radhiallahu
‘anha, ‘Umar bin Al Khaththab radhiallahu ‘anhu menawarkan kepada ‘Utsman bin
‘Affan radhiallahu ‘anhu untuk menikah dengan putrinya, Hafshah bintu ‘Umar
radhiallahu ‘anhuma yang kehilangan suaminya di medan Badr. Namun saat itu
‘Utsman dengan halus menolak. Datanglah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu
‘anhu ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan
kekecewaannya.
Ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala
memilihkan yang lebih baik dari itu semua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam meminang Hafshah radhiallahu ‘anha untuk dirinya, dan menikahkan ‘Utsman
bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu dengan putrinya, Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha.
Tercatat peristiwa ini pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga setelah hijrah.
Enam tahun berlalu. Ikatan kasih itu
harus kembali terurai. Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha kembali ke hadapan
Rabbnya pada tahun kesembilan setelah hijrah, tanpa meninggalkan seorang putra
pun bagi suaminya. Jasadnya dimandikan oleh Asma’ bintu ‘Umais dan Shafiyah
bintu ‘Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhuma.
Tampak Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menshalati jenazah putrinya. Setelah itu, beliau duduk di
sisi kubur putrinya. Sembari kedua mata beliau berlinang air mata, beliau
bertanya, “Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya semalam?” Abu
Thalhah menjawab, “Saya.” Kata beliau, “Turunlah!”
Jasad Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha
dibawa turun dalam tanah pekuburannya oleh ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Fadhl bin
Al-‘Abbas, Usamah bin Zaid serta Abu Thalhah Al-Anshari radhiallahu ‘anhu.
Ruqayyah dan Ummu Kultsum, dua putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
semoga Allah meridhai keduanya…. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber :
- Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu
‘Abdil Barr (4/1701-1704,1853-1854)
- Ath-Thabaqatul Kubra, karya
Al-Imam Ibnu Sa’d (8/30-35)
- Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, karya
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (hal. 110-117)
- Shahih As-Sirah An-Nabawiyah,
karya Ibrahim Al-‘Ali (hal. 192)
|
Ummu Kultsum Binti
Muhammad
(Wafat
9 H)
Ummu Kultsum adalah adik Ruqayyah ,
putri Rasulullah . Ia telah menikah dengan Utaibah bin Abu Lahab, saudara Utbah
yang telah menikahi Ruqayyah, sebelurn mereka mengenal Islam. Lalu ketika
Rasulullah . telah diangkat menjadi Nabi, ia dan saudara-saudaranya memeluk
Islam dengan lapang dada. Dan dakwah Nabi.
Yang selalu ditentang oleh Abu lahab
beserta keluarganya ini, menyebabkan Allah telah mewahyukan kepada Nabi .
firman-Nya yang berbunyi, Maka celakalah kedua tangan Abu lahab’(Al-lahab: 1) ‘
Setelah tutun ayat ini, Abu lahab berkata kepads Utaibah anaknya, “Kepalaku tidak
halal bagi kepalamu selama kamu tidak menceraikan putri Nabi. Maka dia pun
menceraikan istrinya, Ummu Kultsum begitu saja. Utaibah mendatangi Nabi . dan
mengatakan kata-kata yang menyakitkan hati Rasulullah . Atas periakuan itu,
maka Rasulullah . telah berdoa kepada Allah, agar mengirimkan anjing-anjing-Nya
untuk membinasakan Utaibah. Dan apa yang telah didoakan oleh Nabi . terhadap
Utaibah itu benar-benar teriadi.
Dalam suatu perjalanan, seekor singa
yang ganas teiah memilih Utaibah di antara teman-temannya untuk diterkam
kepalanya. Utaibah mati dalam keadaan yang sangat mengerikan. Setelah bercerai,
maka Ummu Kultsum kembali tinggal bersama Rasulullah . di Mekkah. Dia ikut
hijrah ke Madinah ketika Rasulullah . berhijrah, kemudian tinggal di sana bersama
keluarga Rasulullah . Ruqayyah dan Ummu Kultsum adalah dua orang saudara yang
perjalanan hidup mereka hampir sama.
Mereka berdua teriahir dari bapak
yang sama, ibu yang sama, suami mereka pun kakak beradik yang namanya mempunyai
arti yang sama; Utbah dan Utaibah, mempunyai mertua yang sama, masuk Islam pada
hari yang sama, bercerai pada hari yang sama, dan setelah perceraian itu,
mereka mempunyai suami yang sama pula.
Ketika Ruqayyah meninggal dunia,
maka Utsman bin Affan. menikahi Ummu Kultsum yang masih perawan yang belum
terjamah oleb Utaibah. Pada waktu itu adalah bulan Rabi’ul-Awwal, tahun ke-3
Hijriyah. Dan keduanya baru berkumpul pada bulan Jumadits-Tsani. Mereka hidup bersama
sampai Ummu Kultsum meninggal dunia tanpa mendapatkan seorang anak pun. Ummu
Kultsum meninggal dunia pada bulan Sya’ban tahun ke-9 Hijriyah. Rasulullah .
berkata, ‘Seandainya aku mempunyai sepuluh orang putri, maka aku akan tetap
menikahkan mereka dengan Utsman.’ Ummu Kultsum adaiah seorang wanita yang
cantik. la senang memakai jubah sutra yang bergaris. Pada hari wafatnya,
jenazahnya telah dimandikan oleh Asma’ binti Umais dan Shafiah binti Abdul
Muthalib. jenazahnya ditempatkan di atas sebuah keranda yang terbuat dari
batang polgon palem yang baru dipotong. Dan pada saat penguburannya, Rasulullah
. duduk di dekat kuburan Ummu Kultsum dengan berlinangan air mata. Beliau
berkata, siapa di antara kalian yang tidak bercampur dengan istrinya tadi malam?’
Abu Thalhah ra. berkata, ‘Aku, ya Rasulullah ‘ lalu Beliau menyuruhnya,
“Turunlah kamu.” Maka Abu Thalhah turun dan menguburkan Ummu Kultsum.
Ruqoyyah
dan Ummu Kultsum
Lahir dua orang putri dari rahim
ibunya, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza radhiallahu ‘anha.
Menyandang nama Ruqayyah dan Ummu Kultsum radhiallahu ‘anhuma, di bawah
ketenangan naungan seorang ayah yang mulia, Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil
Muththalib Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebelum datang masa sang ayah diangkat
sebagai nabi Allah, Ruqayyah disunting oleh seorang pemuda bernama ‘Utbah,
putra Abu Lahab bin ‘Abdul Muththalib, sementara Ummu Kultsum menikah dengan
saudara ‘Utbah, ‘Utaibah bin Abi Lahab. Namun, pernikahan itu tak berjalan
lama. Berawal dengan diangkatnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
nabi, menyusul kemudian turun Surat Al-Lahab yang berisi cercaan terhadap Abu
Lahab, maka Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, menjadi berang. Dia berkata
kepada dua putranya, ‘Utbah dan ‘Utaibah yang menyunting putri-putri Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Haram jika kalian berdua tidak menceraikan
kedua putri Muhammad!”
Kembalilah dua putri yang mulia ini
dalam keteduhan naungan ayah bundanya, sebelum sempat dicampuri suaminya.
Bahkan dengan itulah Allah selamatkan mereka berdua dari musuh-musuh-Nya.
Ruqayyah dan Ummu Kultsum pun berislam bersama ibunda dan saudari-saudarinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
ganti yang jauh lebih baik. Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha disunting
oleh seorang sahabat mulia, ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu.
Sebagaimana kaum muslimin yang lain,
mereka berdua menghadapi gelombang ujian yang sedemikian dahsyat melalui tangan
kaum musyrikin Mekkah dalam menggenggam keimanan. Hingga akhirnya, pada tahun
kelima setelah nubuwah, Allah Subhanahu wa Ta’ala bukakan jalan untuk hijrah ke
bumi Habasyah, menuju perlindungan seorang raja yang tidak pernah menzalimi
siapa pun yang ada bersamanya. ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu membawa
istrinya di atas keledai, meninggalkan Mekkah, bersama sepuluh orang sahabat
yang lainnya, berjalan kaki menuju pantai. Di sana mereka menyewa sebuah perahu
seharga setengah dinar.
Di bumi Habasyah, Ruqayyah
radhiallahu ‘anha melahirkan seorang putra yang bernama ‘Abdullah. Akan tetapi,
putra ‘Utsman ini tidak berusia panjang. Suatu ketika, ada seekor ayam jantan
yang mematuk matanya hingga membengkak wajahnya. Dengan sebab musibah ini,
‘Abdullah meninggal dalam usia enam tahun.
Perjalanan mereka belum berakhir.
Saat kaum muslimin meninggalkan negeri Makkah untuk hijrah ke Madinah, mereka
berdua pun turut berhijrah ke negeri itu. Begitu pun Ummu Kultsum radhiallahu
‘anha, berhijrah bersama keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selang berapa lama mereka tinggal di
Madinah, bergema seruan perang Badr. Para sahabat bersiap untuk menghadapi
musuh-musuh Allah. Namun bersamaan dengan itu, Ruqayyah bintu Rasulullah
radhiallahu ‘anha diserang sakit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
memerintahkan ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu untuk tetap tinggal menemani
istrinya.
Ternyata itulah pertemuan mereka
yang terakhir. Di antara malam-malam peristiwa Badr, Ruqayyah bintu Rasulullah
radhiallahu ‘anha kembali ke hadapan Rabbnya karena sakit yang dideritanya.
‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu sendiri yang turun untuk meletakkan jasad
istrinya di dalam kuburnya.
Saat diratakan tanah pekuburan
Ruqayyah radhiallahu ‘anha, terdengar kabar gembira kegemilangan pasukan
muslimin melibas kaum musyrikin yang diserukan oleh Zaid bin Haritsah
radhiallahu ‘anhu. Kedukaan itu berlangsung bersama datangnya kemenangan, saat
Ruqayyah bintu Muhammad radhiallahu ‘anha pergi untuk selama-lamanya pada tahun
kedua setelah hijrah.
Sepeninggal Ruqayyah radhiallahu
‘anha, ‘Umar bin Al Khaththab radhiallahu ‘anhu menawarkan kepada ‘Utsman bin
‘Affan radhiallahu ‘anhu untuk menikah dengan putrinya, Hafshah bintu ‘Umar
radhiallahu ‘anhuma yang kehilangan suaminya di medan Badr. Namun saat itu
‘Utsman dengan halus menolak. Datanglah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu
‘anhu ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan
kekecewaannya.
Ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala
memilihkan yang lebih baik dari itu semua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam meminang Hafshah radhiallahu ‘anha untuk dirinya, dan menikahkan ‘Utsman
bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu dengan putrinya, Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha.
Tercatat peristiwa ini pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga setelah hijrah.
Enam tahun berlalu. Ikatan kasih itu
harus kembali terurai. Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha kembali ke hadapan
Rabbnya pada tahun kesembilan setelah hijrah, tanpa meninggalkan seorang putra
pun bagi suaminya. Jasadnya dimandikan oleh Asma’ bintu ‘Umais dan Shafiyah
bintu ‘Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhuma.
Tampak Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menshalati jenazah putrinya. Setelah itu, beliau duduk di
sisi kubur putrinya. Sembari kedua mata beliau berlinang air mata, beliau
bertanya, “Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya semalam?” Abu
Thalhah menjawab, “Saya.” Kata beliau, “Turunlah!”
Jasad Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha
dibawa turun dalam tanah pekuburannya oleh ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Fadhl bin
Al-‘Abbas, Usamah bin Zaid serta Abu Thalhah Al-Anshari radhiallahu ‘anhu.
Ruqayyah dan Ummu Kultsum, dua putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
semoga Allah meridhai keduanya…. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber :
- Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu
‘Abdil Barr (4/1701-1704,1853-1854)
- Ath-Thabaqatul Kubra, karya
Al-Imam Ibnu Sa’d (8/30-35)
- Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, karya
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (hal. 110-117)
- Shahih As-Sirah An-Nabawiyah,
karya Ibrahim Al-‘Ali (hal. 192)
- Siyar A’lamin Nubala, karya
Al-Imam Adz-Dzahabi (2/246-250), Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman
Anisah bintu ‘Imran, dinukil dari asysyariah.com, kategori cerminan shalihah.
|
Fatimah Az Zahra
Binti Rasulullah
(Wafat
11 H)
Pemimpin wanita pada masanya ini
adalah pui ke 4 dari anak anak Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, dan
ibunya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwalid. Sesungguhnya allah
Subhanahu wa ta’ala menghendaki kelahiran Fathimah yang mendekati tahun ke 5
sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan peristiwa besar
yaitu ditunjuknya Rasulullah sebagai menengah ketika terjadi perselisiha antara
suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakan kembali Hajar Aswad setelah
Ka’abah diperbaharui. Dengan kecerdasan akalnya beliau mampu memecahkan
persoalan yang hampir menjadikan peperangan diantara kabilah-kabilah yang ada
di Makkah.
Kelahiran Fahimah disambut gembira
oleh Rasulullahu alaihi wassalam dengan memberikan nama Fathimah dan julakannya
Az-Zahra, sedangkan kunyahnya adalah Ummu Abiha (Ibu dari bapaknya).
Ia putri yang mirip dengan ayahnya,
Ia tumbuh dewasa dan ketika menginjak usia 5 tahun terjadi peristiwa besar
terhadap ayahnya yaitu turunnya wahyu dan tugas berat yang diemban oleh
ayahnya. Dan ia juga menyaksikan kaum kafir melancarkan gangguan kepada ayahnya.sampai
cobaan yang berat dengan meninggal ibunya Khadijah. Ia sangat pun sedih dengan
kematian ibunya.
Pada saat kaum muslimin hijrah ke
madinah, Fathima dan kakanya Ummu Kulsum tetap tinggal di Makkah sampai Nabi
mengutus orang untuk menjemputnya.Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar, para sahabat berusaha meminag
Fathimah. Abu Bakar dan Umar maju lebih dahulu untuk meminang tapi nabi menolak
dengan lemah lembut.Lalau Ali bin Abi Thalib dating kepada Rasulullah untuk
melamar, lalu ketika nabi bertanya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu ?”, Tidak
ada ya Rasulullah,” jawabku. “ Dimana pakaian perangmu yang hitam, yang saya
berikan kepadamu,” Tanya beliau. “ Masih ada padaku wahai Rasulullah,” jawabku.
“Berikan itu kepadanya (Fatihmah) sebagai mahar,”.kata beliau.
Lalu ali bergegas pulang dan membawa
baju besinya, lalu Nabi menyuruh menjualnya dan baju besi itu dijual kepada
Utsman bin Affat seharga 470 dirham, kemudian diberikan kepada Rasulullah dan
diserahkan kepada Bilal untuk membeli perlengkapan pengantin.
Kaum muslim merasa gembira atas
perkawinan Fathimah dan Ali bin Abi Thalib, setelah setahun menikah lalu
dikaruniai anak bernama Al- Hasan dan saat Hasan genap berusia 1 tahun lahirlah
Husein pada bulan Sya’ban tahun ke 4 H. pada tahun kelima H ia melahirkan anak
perempuan bernama Zainab dan yang terakhir benama Ummu Kultsum.
Rasullah sangat menyayangi Fathimah,
setelah Rasulullah bepergian ia lebih dulu menemui Fathimah sebelum menemui
istri istrinya. Aisyah berkata ,” Aku tidak melihat seseorang yang
perkataannya dan pembicaraannya yang menyerupai Rasulullah selain Fathimah,
jika ia dating mengunjungi Rasulullah, Rasulullah berdiri lalu menciumnya dan
menyambut dengan hangat, begitu juga sebaliknya yang diperbuat Fathimah bila
Rasulullah dating mengunjunginya.”.
Rasulullah mengungkapkan rasa
cintanya kepada putrinya takala diatas mimbar:” Sungguh Fathima bagian
dariku , Siapa yang membuatnya marah bearti membuat aku marah”. Dan dalam
riwayat lain disebutkan,” Fathimah bagian dariku, aku merasa terganggu bila
ia diganggu dan aku merasa sakit jika ia disakiti.”.
Setelah Rasulullah Shallallahu
alaihi wasalam menjalankan haji wada’ dan ketika ia melihat Fathima, beliau
menemuinya dengan ramah sambil berkata,” Selamat dating wahai putriku”. Lalu
Beliau menyuruh duduk disamping kanannya dan membisikan sesuatu, sehingga
Fathimah menangis dengan tangisan yang keras, tak kala Fathimah sedih lalu
Beliau membisikan sesuatu kepadanya yang menyebabkan Fathimah tersenyum.
Takala Aisyah bertanya tentang apa
yang dibisiknnya lalu Fathimah menjawab,” Saya tak ingin membuka rahasia”.
Setelah Rasulullah wafat, Aisyah bertanya lagi kepada Fathimah tentang apa yang
dibisikan Rasulullah kepadanya sehingga membuat Fathimah menangis dan
tersenyum. Lalu Fathimah menjawab,” Adapun yang Beliau kepada saya pertama
kali adalah beliau memberitahu bahwa sesungguhnya Jibril telah membacakan
al-Qura’an dengan hapalan kepada beliau setiap tahun sekali, sekarang dia
membacakannya setahun 2 kali, lalu Beliau berkata “Sungguh saya melihat ajalku
telah dekat, maka bertakwalah dan bersabarlah, sebaik baiknya Salaf (pendahulu)
untukmu adalah Aku.”. Maka akupun menangis yang engkau lihat saat kesedihanku.
Dan saat Beliau membisikan yang kedua kali, Beliau berkata,” Wahai Fathimah
apakah engkau tidak suka menjadi penghulu wanita wanita penghuni surga dan
engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku”. Kemudian
saya tertawa.
Takala 6 bulan sejak wafatnya
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, Fathimah jatuh sakit, namaun ia merasa
gembira karena kabar gembira yang diterima dari ayahnya. Tak lama kemudian
iapun beralih ke sisi Tuhannya pada malam selasa tanggal 13 Ramadhan tahun 11 H
dalam usia 27 tahun.
Ada yang menyebutkan bahwa ia
dilahirkan pada masa keislaman. Namun ada pula yang menyebutkan bahwa itu
sebelum masa keislaman, lalu ia meninggal dunia dalam usia yang masih kecil. Ia
merupakan putra terakhir Nabi dari Khadijah.
Sumber :
- Kitab Raudhah Al Anwar fi Sirah
An Nabiy Al Mukhtar karya Syaikh Shafiyur Rahman Al Mubarakfury.
|
'Abdullah
Ada yang menyebutkan bahwa ia dilahirkan pada masa keislaman. Namun ada pula yang menyebutkan bahwa itu sebelum masa keislaman, lalu ia meninggal dunia dalam usia yang masih kecil. Ia merupakan putra terakhir Nabi dari Khadijah.
Sumber : - Kitab Raudhah Al Anwar fi Sirah An Nabiy Al Mukhtar karya Syaikh Shafiyur Rahman Al Mubarakfury. |
Ibrahim
Ia dilahirkan di Madinah dari budak
perempuan milik Nabi yakni Mariyah Al Qibthiyyah pada bulan Jumadil Ula atau
pada bulan Jumadil Akhir tahun ke 9 Hijriyyah. Dan ia meninggal dunia pada
tanggal 29 Syawal di tahun ke 10 Hijriyyah, yakni pada hari terjadinya gerhana
matahari di Madinah dalam usia menyusui, yakni dalam umur 16 atau 18 bulan.
Lalu dikebumikan di Baqi'. Nabi pernah berkata, "Sungguh akan ada yang
menyusuinya di surga untuk menyempurnakan masa susuannya."
Sumber :
- Kitab Raudhah Al Anwar fi Sirah
An Nabiy Al Mukhtar karya Syaikh Shafiyur Rahman Al Mubarakfury.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar