Hasan bin Ali bin Abu
Talib
(3-50
H)
Dia adalah putra sulung Ali bin Abu
Talib dengan Fatimah Postur dan paras mukanya mirip dengan Rasulullah. Dia
diangkat sebagai khalifah sepeninggal ayahnya. Dia lebih mengutamakan tidak
berperang, menghindari pertumpahan darah sesama muslim, untuk itu dia
menyerahkan kursi ke khalifahan kepada Muawiah sampai dia meninggal dunia di
Madinah.
Riwayat
Hidup Al-Hasan dan Wafatnya
Beliau dilahirkan pada bulan
Ramadlan tahun ke-3 Hijriyah menurut kebanyakan para ulama sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnu Hajar. (lihat Fathul Bari juz VII, hal. 464)
Setelah ayah beliau Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at
beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Berkata Syaikh Muhibbudin
al-Khatib bahwa diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnyajuz ke-1
hal. 130 -setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh- mereka
berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.” Maka beliau menjawab:
“Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam….” Dan disebutkan oleh beliau
(Muhibuddin Al-Khatib) beberapa hadits dalam masalah ini. (Lihat Ta’liq kitab Al-’Awashim
Minal Qawashim, Ibnul Arabi, hal. 198-199). Tetapi setelah itu Al-Hasan
menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyah untuk mencegah pertumpahan darah di
kalangan kaum muslimin.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dalam kitab As-Shulh dari Imam Al-Hasan Al-Bashri, dia
berkata: -Demi Allah- Al-Hasan bin Ali telah menghadap Mu’awiyah beserta
beberapa kelompok pasukan berkuda ibarat gunung, maka berkatalah ‘Amr bin ‘Ash:
“Sungguh aku berpendapat bahwa pasukan-pasukan tersebut tidak akan berpaling
melainkan setelah membunuh pasukan yang sebanding dengannya”. Berkata kepadanya
Mu’awiyah -dan dia demi Allah yang terbaik di antara dua orang-: “Wahai ‘Amr!
Jika mereka saling membunuh, maka siapa yang akan memegang urusan manusia?
Siapa yang akan menjaga wanita-wanita mereka? Dan siapa yang akan menguasai
tanah mereka?” Maka ia mengutus kepadanya (Al-Hasan) dua orang utusan dari Quraisy
dari Bani ‘Abdi Syams Abdullah bin Samurah dan Abdullah bin Amir bin Kuraiz, ia
berkata: “Pergilah kalian berdua kepada orang tersebut! Bujuklah dan ucapkan
kepadanya serta mintalah kepadanya (perdamaian -peny.)” Maka keduanya
mendatanginya, berbicara dengannya dan memohon padanya…) kemudian di akhir
hadits Al-Hasan bin Ali meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa dia melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar dan Hasan bin
Ali di sampingnya beliau sesaat menghadap kepada manusia dan sesaat melihat
kepadanya seraya berkata :
َإِنَّ
ابْنِى هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ
مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخارى مع الفتح ?/64? رقم 2?04)
Sesungguhnya anakku ini adalah
sayyid, semoga Allah akan mendamaikan dengannya antara dua kelompok besar dari
kalangan kaum muslimin. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz V, hal. 647, hadits no. 2704)
Berkata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah:
“….Al-Husein menyalahkan saudaranya Al-Hasan atas pendapat ini, tetapi
beliau tidak mau menerimanya. Dan kebenaran ada pada Al-Hasan sebagaimana
dalil yang akan datang….” (lihat AlBidayah wan Nihayah, juz VIII hal.
17). Yang dimaksud oleh beliau adalah dalil yang sudah kita sebutkan di atas
yang diriwayatkan dari Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu.
Itulah keutamaan Al-Hasan yang
paling besar yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka
bersatulah kaum muslimin hingga tahun tersebut terkenal dengan tahun
jama’ah.
Yang mengherankan justru kaum Syi’ah
Rafidlah menyesali kejadian ini dan menjuluki Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu sebagai
‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian mereka menganggapnya
fasik sedangkan sebagian lagi bahkan mengkafirkannya karena hal itu. Berkata
Syaikh Muhibbudin Al-Khatib mengomentari ucapan Rafidlah ini sebagai berikut:
“Padahal termasuk dari dasar-dasar keimanan Rafidlah -bahkan dasar keimanan
yang paling utama- adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sembilan
keturunannya adalah maksum. Dan dari konsekwensi kemaksuman mereka, bahwa
mereka tidak akan berbuat kesalahan. Dan setiap apa yang bersumber dari mereka
berarti hak yang tidak akan terbatalkan. Sedangkan apa yang bersumber dari Al-Hasan
bin Ali radhiyallahu ‘anhuma yang paling besar adalah pembai’atan
terhadap amiril mukminin Mu’awiyah, maka mestinya mereka pun masuk dalam
bai’at ini dan beriman bahwa ini adalah hak karena ini adalah amalan seorang
yang maksum menurut mereka. (Lihat catatan kaki kitab Al-Awashim minal
Qawashim hal. 197-198).
Tetapi kenyataannya mereka
menyelisihi imam mereka sendiri yang maksum bahkan menyalahkannya,
menfasikkannya, atau mengkafirkannya. Sehingga terdapat dua kemungkinan :
- Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka tentang kemaksuman dua
belas imam, maka hancurlah agama mereka (agama Itsna ‘Asyariyyah).
- Kedua, mereka meyakini kemaksuman Al-Hasan, maka mereka adalah para
pengkhianat yang menyelisihi imam yang maksum dengan permusuhan dan
kesombongan serta kekufuran. Dan tidak ada kemungkinan yang ketiga.
Adapun Ahlus Sunnah yang beriman
dengan kenabian “kakek Al-Hasan” shallallahu ‘alaihi wa sallam berpendapat
bahwa perdamaian dan bai’at beliau kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu adalah
salah satu bukti kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amal
terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya kemudian menganggap AlHasan
yang memutihkan wajah kaum mukminin.
Demikianlah khilafah Mu’awiyah
berlangsung dengan persatuan kaum muslimin karena Allah Subhanahu wa Ta
‘ala dengan sebab pengorbanan Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu yang
besar yang dia -demi Allah- lebih berhak terhadap khilafah daripada Mu’awiyah radhiyallahu
‘anhu sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar Ibnul Arabi dan para ulama.
Semoga Allah meridlai seluruh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Pada tahun ke 10 masa khilafah Mu’awiyah meninggallah Al-Hasan radhiyallahu
`anhu pada umur 47 tahun. Dan ini yang dianggap shahih oleh Ibnu Katsir,
sedangkan yang masyhur adalah 49 tahun. Wallahu A’lam bish-Shawab. Ketika
beliau diperiksa oleh dokter, maka dia mengatakan bahwa Al-Hasan radhiyallahu
‘anhu meninggal karena racun yang memutuskan ususnya. Namun tidak diketahui
dalam sejarah siapa yang membunuhnya. Adapun ucapan Rafidlah yang menuduh
pihak Mu’awiyah sebagai pembunuhnya sama sekali tidak dapat diterima
sebagaimana dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi dengan ucapannya:
“Kami mengatakan bahwa hal ini tidak
mungkin karena dua hal:
Pertama, bahwa dia (Mu’awiyah) sama sekali tidak mengkhawatirkan
kejelekan apapun dari Al-Hasan karena beliau telah menyerahkan urusannya kepada
Mu’awiyah. Yang kedua, hal ini adalah perkara ghaib yang tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah, maka bagaimana mungkin menuduhkannya kepada salah
seorang makhluk-Nya tanpa bukti pada zaman yang berjauhan yang kita tidak dapat
mudah percaya dengan nukilan seorang penukil dari kalangan pengikut hawa nafsu
(Syi’ ah). Dalam keadaan fitnah dan Ashabiyyah, setiap orang akan menuduh
lawannya dengan tuduhan yang tidak semestinya, maka tidak mungkin diterima
kecuali dari seorang yang bersih dan tidak didengar darinya kecuali keadilan.”
(Lihat Al-Awashim minal Qawashim hal. 213-214)
Demikian pula dikatakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa tuduhan Syi’ah tersebut tidak benar dan
tidak didatangkan dengan bukti syar’i serta tidak pula ada persaksian yang
dapat diterima dan tidak ada pula penukilan yang tegas tentangnya. (Lihat Minhajus
Sunnah juz 2 hal. 225)
Semoga Allah merahmati Al-Hasan bin
Ali dan meridlainya dan melipatgandakan pahala amal dan jasa-jasanya. Dan
semoga Allah menerimanya sebagai syahid. Amiin.
Husain bin Ali bin
Abu Talib
(4-61
H)
Putra kedua dari perkawinan Ali bin
Abu Talib dengan Fatimah. Dia tidak mau membaiat Yazid, sehingga dia terbunuh
dalam perang Karbala tanggal 10 Muharam 61 H/680 M.
Riwayat
Hidup Al-Husein dan Peristiwa Pembunuhannya
Oleh:
Ustadz Muhammad Umar Sewed
Beliau dilahirkan pada bulan Sya’ban
tahun ke-empat Hijriyah. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam men-tahnik (yakni mengunyahkan kurma kemudian dimasukkan
ke mulut bayi dengan digosokkan ke langit-langitnya -pent.), mendoakan dan
menamakannya Al-Husein. Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah
wan Nihayah, juz VIII, hal. 152.
Berkata Ibnul Arabi dalam kitabnya Al-Awashim
minal Qawashim: “Disebutkan oleh ahli tarikh bahwa surat-surat berdatangan
dari ahli kufah kepada Al-Husein (setelah meninggalnya Mu’awiyah radhiyallahu
‘anhu). Kemudian Al-Husein mengirim Muslim Ibnu Aqil, anak pamannya kepada
mereka untuk membai’at mereka dan melihat bagaimana keikutsertaan mereka. Maka
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu memberitahu beliau (Al-Husein) bahwa
mereka dahulu pernah mengkhianati bapak dan saudaranya. Sedangkan Ibnu Zubair
mengisyaratkan kepadanya agar dia berangkat, maka berangkatlah Al-Husein.
Sebelum sampai beliau di Kufah ternyata Muslim Ibnu Aqil telah terbunuh dan
diserahkan kepadanya oleh orang-orang yang memanggilnya. “Cukup bagimu ini sebagai
peringatan bagi yang mau mengambil peringatan” (kelihatannya yang dimaksud
adalah ucapan Ibnu Abbas kepada Al-Husein -pent.).
Tetapi beliau radhiyallahu ‘anhu
tetap melanjutkan perjalanannya dengan marah karena dien dalam
rangka menegakkan al-haq. Bahkan beliau tidak mendengarkan nasehat orang yang
paling alim pada jamannya yaitu ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan
menyalahi pendapat syaikh para shahabat yaitu Ibnu Umar. Beliau mengharapkan
permulaan pada akhir (hidup -pent.), mengharapkan kelurusan dalam kebengkokan
dan mengharapkan keelokan pemuda dalam rapuh ketuaan. Tidak ada yang
sepertinya di sekitarnya, tidak pula memiliki pembela-pembela yang memelihara
haknya atau yang bersedia mengorbankan dirinya untuk membelanya. Akhirnya kita
ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah Al-Husein,
maka datang kepada kita musibah yang menghilangkan kebahagiaan jaman. (lihat Al-Awashim
minal Qawashim oleh Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dengan tahqiq dan ta’liq Syaikh
Muhibbuddin Al-Khatib, hal. 229-232)
Yang dimaksud oleh beliau dengan
ucapannya ‘Kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita
tumpahkan darah Al-Husein‘adalah bahwa niat Al-Husein dengan sebagian kaum
muslimin untuk mensucikan bumi dari khamr Yazid yang hal ini masih merupakan
tuduhan-tuduhan dan tanpa bukti, tetapi hasilnya justru kita menodai bumi
dengan darah Al-Husein yang suci. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhibbudin
Al-Khatib dalam ta’liq-nya terhadap buku Al-Awashim Minal Qawashim.
Ketika Al-Husein ditahan oleh
tentara Yazid, Samardi Al-Jausyan mendorong Abdullah bin Ziyad untuk
membunuhnya. Sedangkan Al-Husein meminta untuk dihadapkan kepada Yazid atau
dibawa ke front untuk berjihad melawan orang-orang kafir atau kembali ke Mekah.
Namun mereka tetap membunuh Al-Husein dengan dhalim sehingga beliau meninggal
dengan syahid radhiyallahu ‘anhu. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata: “Al-Husein terbunuh di Karbala di dekat Eufrat dan jasadnya dikubur di
tempat terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad
di Kufah. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dan dari
para imam yang lain.
Adapun tentang dibawanya kepala
beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam beberapa jalan yang munqathi’ (terputus)
dan tidak benar sedikitpun tentangnya.
Bahkan dalam riwayat-riwayat tampak
sesuatu yang menunjukkan kedustaan dan pengada-adaan riwayat tersebut. Disebutkan
padanya bahwa Yazid menusuk gigi taringnya dengan besi dan bahwasanya sebagian
para shahabat yang hadir seperti Anas bin Malik, Abi Barzah dan lain-lain
mengingkarinya. Hal ini adalah pengkaburan, karena sesungguhnya yang menusuk
dengan besi adalah ‘Ubaidilah bin Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih
dan musnad, bahwasanya mereka menempatkan Yazid di tempat ‘Ubaidilah bin Ziyad.
Adapun ‘Ubaidillah, tidak diragukan lagi bahwa dialah yang memerintahkan untuk
membunuhnya (Husein) dan memerintahkan untuk membawa kepalanya ke hadapan
dirinya. Dan akhirnya Ibnu Ziyad pun dibunuh karena itu.
Dan lebih jelas lagi bahwasanya para
shahabat yang tersebut tadi seperti Anas dan Abi Barzah tidak berada di Syam,
melainkan berada di Iraq ketika itu. Sesungguhnya para pendusta adalah
orang-orang jahil (bodoh), tidak mengerti apa-apa yang menunjukkan kedustaan
mereka.” (Majmu’ Fatawa, juz IV, hal. 507-508)
Adapun yang dirajihkanoleh
para ulama tentang kepala Al-Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhuma adalah
sebagaimana yang disebutkan oleh az-Zubair bin Bukar dalam kitabnya Ansab
Quraisy dan beliau adalah seorang yang paling ‘alim dan paling tsiqah
dalam masalah ini (tentang keturunan Quraisy). Dia menyebutkan bahwa kepala
Al-Husein dibawa ke Madinah An-Nabawiyah dan dikuburkan di sana. Hal ini yang
paling cocok, karena di sana ada kuburan saudaranya Al-Hasan, paman ayahnya
Al-Abbas dan anak Ali dan yang seperti mereka. (Dalam sumber yang sama, juz IV,
hal. 509)
Demikianlah Al-Husain bin Ali radhiyallahu
‘anhuma terbunuh pada hari Jum’at, pada hari ‘Asyura, yaitu pada bulan
Muharram tahun 61 H dalam usia 54 tahun 6 bulan. Semoga Allah merahmati
Al-Husein dan mengampuni seluruh dosadosanya serta menerimanya sebagai syahid.
Dan semoga Allah membalas para pembunuhnya dan mengadzab mereka dengan adzab
yang pedih. Amin.
Sikap
Ahlus Sunnah Terhadap Yazid bin Mu’awiyyah
Untuk membahas masalah ini kita
nukilkan saja di sini ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah secara lengkap dari Fatawa-nyasebagai
berikut :
Belum terjadi sebelumnya manusia membicarakan
masalah Yazid bin Muawiyyah dan tidak pula membicarakannya termasuk masalah
Dien. Hingga terjadilah setelah itu beberapa perkara, sehingga manusia melaknat
terhadap Yazid bin Muawiyyah, bahkan bisa jadi mereka menginginkan dengan itu
laknat kepada yang lainnya. Sedangkan kebanyakan Ahlus Sunnah tidak suka
melaknat orang tertentu. Kemudian suatu kaum dari golongan yang ikut mendengar
yang demikian meyakini bahwa Yazid termasuk orang-orang shalih yang besar dan
Imam-imam yang mendapat petunjuk.
Maka golongan yang melampaui batas
terhadap Yazid menjadi dua sisi yang berlawanan :
Sisi pertama, mereka yang mengucapkan bahwa dia kafir zindiq dan
bahwasanya dia telah membunuh salah seorang anak perempuan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, membunuh shahabat-shahabat Anshar, dan anak-anak
mereka pada kejadian Al-Hurrah (pembebasan Madinah) untuk menebus dendam
keluarganya yang dibunuh dalam keadaan kafir seperti kakek ibunya ‘Utbah bin
Rab’iah, pamannya Al-Walid dan selain keduanya. Dan mereka menyebutkan pula
bahwa dia terkenal dengan peminum khamr dan menampakkan maksiat-maksiatnya.
Pada sisi lain, ada yang
meyakini bahwa dia (Yazid) adalah imam yang adil, mendapatkan petunjuk dan
memberi petunjuk. Dan dia dari kalangan shahabat atau pembesar shahabat serta
salah seorang dari wali-wali Allah. Bahkan sebagian dari mereka meyakini bahwa
dia dari kalangan para nabi. Mereka mengucapkan bahwa barangsiapa tidak
berpendapat terhadap Yazid maka Allah akan menghentikan dia dalam neraka
Jahannam. Mereka meriwayatkan dari Syaikh Hasan bin ‘Adi bahwa dia adalah wali
yang seperti ini dan seperti itu. Barangsiapa yang berhenti (tidak mau
mengatakan demikian), maka dia berhenti dalam neraka karena ucapan mereka yang
demikian terhadap Yazid. Setelah zaman Syaikh Hasan bertambahlah perkara-perkara
batil dalam bentuk syair atau prosa. Mereka ghuluw kepada Syaikh Hasan
dan Yazid dengan perkara-perkara yang menyelisihi apa yang ada di atasnya
Syaikh ‘Adi yang agung -semoga Allah mensucikan ruhnya-. Karena jalan beliau
sebelumnya adalah baik, belum terdapat bid’ah-bid’ah yang seperti itu, kemudian
mereka mendapatkan bencana dari pihak Rafidlah yang memusuhi mereka dan
kemudian membunuh Syaikh Hasan bin ‘Adi sehingga terjadilah fitnah yang tidak
disukai Allah dan Rasul-Nya.
Dua sisi ekstrim terhadap Yazid
tersebut menyelishi apa yang disepakati oleh para ulama dan Ahlul Iman. Karena sesungguhnya Yazid bin Muawiyyah dilahirkan pada
masa khalifah Utsman bin ‘Affan radliallahu ‘anhu dan tidak pernah bertemu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tidak pula termasuk shahabat dengan
kesepakatan para ulama. Dia tidak pula terkenal dalam masalah Dien dan
keshalihan. Dia termasuk kalangan pemuda-pemuda muslim bukan kafir dan bukan
pula zindiq. Dia memegang kekuasaan setelah ayahnya dengan tidak disukai oleh
sebagian kaum muslimin dan diridlai oleh sebagian yang lain. Dia memiliki
keberanian dan kedermawanan dan tidak pernah menampakkan
kemaksiatan-kemaksiatan sebagaimana dikisahkan oleh musuh-musuhnya.
Namun pada masa pemerintahannya
telah terjadi perkara-perkara besar yaitu :
1.
Terbunuhnya Al-Husein radhiyallahu ‘anhu sedangkan Yazid tidak
memerintahkan untuk membunuhnya dan tidak pula menampakkan kegembiraan dengan
pembunuhan Husein serta tidak memukul gigi taringnya dengan besi. Dia juga
tidak membawa kepala Husein ke Syam. Dia memerintahkan untuk melarang Husein
dengan melepaskannya dari urusan walaupun dengan memeranginya. Tetapi para
utusannya melebihi dari apa yang diperintahkannya tatkala Samardi Al-Jausyan
mendorong ‘Ubaidillah bin Ziyad untuk membunuhnya. Ibnu Ziyad pun menyakitinya
dan ketika Al-Husein radhiyallahu ‘anhu meminta agar dia dibawa
menghadap Yazid, atau diajak ke front untuk berjihad (memerangi orang-orang
kafir bersama tentara Yazid -pent), atau kembali ke Mekkah, mereka menolaknya
dan tetap menawannya. Atas perintah Umar bin Sa’d, maka mereka membunuh beliau
dan sekelompok Ahlul Bait radhiyallahu ‘anhum dengan dhalim. Terbunuhnya
beliau radhiyallahu ‘anhu termasuk musibah besar, karena sesungguhnya
terbunuhnya Al-Husein -dan ‘Utsman bin ‘Affan sebelumnya- adalah penyebab
fitnah terbesar pada umat ini. Demikian juga pembunuh keduanya adalah makhluk
yang paling jelek di sisi Allah. Ketika keluarga beliau radhiyallahu ‘anhu mendatangi
Yazid bin Mua’wiyah, Yazid memuliakan mereka dan mengantarkan mereka ke
Madinah.
Diriwayatkan bahwa Yazid melaknat
Ibnu Ziyad atas pembunuhan Husein dan berkata : “Aku sebenarnya meridlai
ketaatan penduduk Irak tanpa pembunuhan Husein.”
Tetapi dia tidak menampakkan
pengingkaran terhadap pembunuhnya, tidak membela serta tidak pula membalasnya,
padahal itu adalah wajib bagi dia. Maka akhirnya Ahlul Haq mencelanya karena
meninggalkan kewajibannya, ditambah lagi dengan perkara-perkara yang lain.
Sedangkan musuh-musuh mereka menambahkan kedustaan-kedustaan atasnya.
2.
Ahlil Madinah membatalkan bai’atnya kepada Yazid dan mereka mengeluarkan
utusan-utusan dan penduduknya. Yazid pun mengirimkan tentara kepada mereka,
memerintahkan mereka untuk taat dan jika mereka tidak mentaatinya setelah tiga
hari mereka akan memasuki Madinah dengan pedang dan menghalalkan darah mereka.
Setelah tiga hari, tentara Yazid memasuki Madinah an-Nabawiyah, membunuh
mereka, merampas harta mereka, bahkan menodai kehormatan-kehormatan wanita yang
suci, kemudian mengirimkan tentaranya ke Mekkah yang mulia dan mengepungnya.
Yazid meninggal dunia pada saat pasukannya dalam keadaan mengepung Mekkah dan
hal ini merupakan permusuhan dan kedzaliman yang dikerjakan atas perintahnya.
Oleh karena itu, keyakinan Ahlus
Sunnah dan para imam-imam umat ini adalah mereka tidak melaknat dan tidak
mencintainya. Shalih bin Ahmad bin Hanbal berkata: Aku katakan kepada ayahku:
“Sesungguhnya suatu kaum mengatakan bahwa mereka cinta kepada Yazid.” Maka
beliau rahimahullah menjawab: “Wahai anakku, apakah akan mencintai Yazid
seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir?” Aku bertanya: “Wahai ayahku,
mengapa engkau tidak melaknatnya?” Beliau menjawab: “Wahai anakku, kapan engkau
melihat ayahmu melaknat seseorang?”
Diriwayatkan pula bahwa ditanyakan
kepadanya : “Apakah engkau menulis hadits dari Yazid bin Mu’awiyyah?”
Dia berkata: “Tidak, dan tidak ada kemulyaan, bukankah dia yang telah
melakukan terhadap ahlul Madinah apa yang dia lakukan?”
Yazid menurut ulama dan Imam-imam
kaum muslimin adalah raja dari raja-raja (Islam -pent). Mereka tidak
mencintainya seperti mencintai orang-orang shalih dan wali-wali Allah dan tidak
pula melaknatnya. Karena sesungguhnya mereka tidak suka melaknat seorang muslim
secara khusus (ta yin), berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari
dalam Shahih-nya dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu: Bahwa
seseorang yang dipanggil dengan Hammar sering minum khamr.
Acap kali dia didatangkan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dicambuknya. Maka berkatalah
seseorang: “Semoga Allah melaknatnya. Betapa sering dia didatangkan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Jangan engkau melaknatnya, sesungguhnya dia mencintai Allah dan
Rasul-Nya. ” (HR. Bukhari)
Walaupun demikian di kalangan Ahlus
Sunnah juga ada yang membolehkan laknat terhadapnya karena mereka
meyakini bahwa Yazid telah melakukan kedhaliman yang menyebabkan laknat bagi
pelakunya.
Kelompok yang lain berpendapat untuk
mencintainya karena dia seorang muslim yang memegang pemerintahan di zaman para
shahabat dan dibai’at oleh mereka. Serta mereka berkata: “Tidak benar
apa yang dinukil tentangnya padahal dia memiliki kebaikan-kebaikan, atau dia
melakukannya dengan ijtihad.”
Pendapat yang benar adalah apa yang
dikatakan oleh para imam (Ahlus Sunnah), bahwa mereka tidak mengkhususkan kecintaan
kepadanya dan tidak pula melaknatnya. Di samping itu kalaupun dia sebagai orang
yang fasiq atau dhalim, Allah masih mungkin mengampuni orang fasiq dan dhalim.
Lebih-lebih lagi kalau dia memiliki kebaikan-kebaikan yang besar.
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya
dari Ummu Harran binti Malhan radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
َ…وَأَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِى
يَغْزُوْنَ مَدِيْنَةَ قَيْصَرَ مَغْفُوْرٌ لَهُمْ. (رواه البخارى)
Tentara pertama yang memerangi
Konstantiniyyah akan diampuni. (HR. Bukhari)
Padahal tentara pertama yang
memeranginya adalah di bawah pimpinan Yazid bin Mu’awiyyah dan pada waktu itu
Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bersamanya.
Catatan
:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
melanjutkan setelah itu dengan ucapannya :
“Kadang-kadang sering tertukar
antara Yazid bin Mu’ awiyah dengan pamannya Yazid bin Abu Sufyan. Padahal
sesungguhnya Yazid bin Abu Sufyan adalah dari kalangan Shahabat, bahkan
orang-orang pilihan di antara mereka dan dialah keluarga Harb (ayah Abu Sufyan
bin Harb -pent) yang terbaik. Dan beliau adalah salah seorang pemimpin Syam
yang diutus oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu ketika pembebasan
negeri Syam. Abu Bakar ash-Shiddiq pernah berjalan bersamanya ketika
mengantarkannya, sedangkan dia berada di atas kendaraan. Maka berkatalah Yazid
bin Abu Sufyan: “Wahai khalifah Rasulullah, naiklah! (ke atas kendaraan) atau
aku yang akan turun.” Maka berkatalah Abu Bakar: “Aku tidak akan naik dan
engkau jangan turun, sesungguhnya aku mengharapkan hisab dengan langkah-langkahku
ini di jalan Allah. Ketika beliau wafat setelah pembukaan negeri Syam di zaman
pemerintahan Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau mengangkat saudaranya yaitu
Mu’awiyah untuk menggantikan kedudukannya.
Kemudian Mu’awiyah mempunyai anak
yang bernama Yazid di zaman pemerintahan ‘Utsman ibnu ‘Affan dan dia tetap di
Syam sampai terjadi peristiwa yang terjadi.
Yang wajib adalah untuk meringkas
yang demikian dan berpaling dari membicarakan Yazid bin Mu’awiyah serta bencana
yang menimpa kaum muslimin karenanya dan sesungguhnya yang demikian merupakan
bid’ah yang menyelisihi ahlus sunnah wal jama’ah. Karena dengan sebab itu
sebagian orang bodoh meyakini bahwa Yazid bin Mu`awiyah termasuk kalangan
shahabat dan bahwasanya dia termasuk kalangan tokoh-tokoh orang shalih yang
besar atau imam-imam yang adil. Hal ini adalah kesalahan yang nyata.” (Diambil
dari Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, jilid 3, hal. 409-414)
Bid’ah-bid’ah
yang Berhubungan dengan Terbunuhnya Al-Husein
Kemudian muncullah bid’ah-bid’ah
yang banyak yang diadakan oleh kebanyakan orang-orang terakhir berkenaan
dengan perisiwa terbunuhnya Al-Husein, tempatnya, waktunya dan lain-lain.
Mulailah mereka mengada-adakan An-Niyaahah (ratapan) pada hari
terbunuhnya Al-Husein yaitu pada hari ‘Asyura (10 Muharram), penyiksaan
diri, mendhalimi binatang-binatang ternak, mencaci maki para wali Allah
(para shahabat) dan mengada-adakan kedustaan-kedustaan yang diatasnamakan ahlul
bait serta kemungkaran-kemungkaran yang jelas dilarang dalam kitab Allah
dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin.
Al-Husein radhiyallahu ‘anhu telah
dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan mati syahid pada hari ‘Asyura
dan Allah telah menghinakan pembunuhnya serta orang yang mendukungnya
atau ridla dengan pembunuhannya. Dan dia mempunyai teladan pada orang
sebelumnya dari para syuhada, karena sesungguhnya dia dan saudaranya adalah
penghulu para pemuda ahlul jannah. Keduanya telah dibesarkan pada masa
kejayaan Islam dan tidak mendapatkan hijrah, jihad, dan kesabaran atas
gangguan-gangguan di jalan Allah sebagaimana apa yang telah didapati oleh ahlul
bait sebelumnya. Maka Allah mulyakan keduanya dengan syahid untuk
menyempurnakan kemulyaan dan mengangkat derajat keduanya.
Pembunuhan beliau merupakan musibah
besar dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mensyari’atkan untuk
mengucapkan istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un)ketika
musibah dalam ucapannya :
َ…وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا
أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُهْتَدُونَ.
…. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orangyang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka
itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 155-157)
Sedangkan mereka yang mengerjakan
apa-apa yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
rangka meratapinya seperti memukul pipi, merobek baju, dan menyeru dengan
seruan-seruan jahiliyah, maka balasannya sangat keras sebagaimana diriwayatkan
dalam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, berkata:
Bersabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam :
َلَيْسَ
مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُوْدَ، وَشَقَّ الْجُيُوْبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.
(رواه البخارى ومسلم)
Bukan dari golongan kami, siapa yang
memukul-mukul pipi, merobek-robek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan
jahiliyah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain, juga dalam
Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa
dia berkata: “Aku berlepas diri dari orang-orang yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya, yaitu bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berlepas diri dari al-haliqah, ash-shaliqah dan
asy-syaaqqah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam Shahih Muslim dari Abi
Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
َأَرْبَعٌ
فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ: الْفَخْرُ فِى اْلأَحْسَابِ
وَالطَّعْنُ فِى اْلأَنْسَابِ وَاْلإِسْتِسْقَاءُ بِالنُجُوْمِ وَالنِّيَاحَةُ.
(رواه مسلم)
Empat perkara yang terdapat pada
umatku dari perkara perkara jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya: bangga
dengan kedudukan, mencela nasab (keturunan), mengharapkan hujan dengan
bintang-bintang dan meratapi mayit. (HR. Muslim)
Dan juga beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
َ…وَإِنَّ النَّائِحَةَ إِذَا لَمْ تَتُبْ
قَبْلَ الْمَوْتِ جَائَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانِ،
وَدَرْعٌ مِنْ لَهَبِ النَّارِ. (صحيح رواه أحمد والطبرانى والحاكم)
Sesungguhnya perempuan tukang ratap
jika tidak bertaubat sebelum matinya dia akan dibangkitkan di hari kiamat
sedangkan atasnya pakaian dari timah dan pakaian dada dari nyala api neraka. (HR.
Ahmad, Thabrani dan Hakim)
Hadits-hadits tentang masalah ini
bermacam-macam.
Demikianlah keadaan orang yang
meratapi mayit dengan memukul-mukul badannya, merobek-robek bajunya dan
lain-lain. Maka bagaimana jika ditambah lagi bersama dengan itu kezaliman
terhadap orang-orang mukmin (para shahabat), melaknat mereka, mencela mereka,
serta sebaliknya membantu ahlu syiqaq orang-orang munafiq dan ahlul
bid’ah dalam kerusakan dien yang mereka tuju serta kemungkaran lain yang
Allah lebih mengetahuinya.
Sumber :
- Minhajus-Sunnah, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah.
- Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
- Al-’Awashim Minal Qawashim, oleh Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dengan tahqiq dan ta’liq
Syaikh Muhibbudin Al-Khatib.
- Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir.
- Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari
oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
- Shahih Muslim dengan Syarh
Nawawi.
- Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah
oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani.
|
Ali bin Al-Husein
Zainal Abidin
(Wafat
93 H)
Nama sebenarnya adalah Ali bin
al-Husein bin Ali bin Abi Thalib, neneknya adalah Fatimah az-zahra binti
Rasulillah, terkadang ia disebut dengan Nama Abu Husein atau Abu Muhammad,
sedangkan nama panggilannya adalah Zainal abidin dan As-Sajad, karena kebanyakan
melakukan shalat dimalam hari dan di siang hari.
Perjalanan
Hidupnya
Diriwayatkan bahwa Ia menerima
beberapa orang tamu dari Irak, lalu membicarakan Abu Bakar, Umar dan Utsman
tentang sesuatu yang buruk terhadapnya, dan ketika mereka selesai bicara, maka
ia berkata,”Apakah kalian termasuk kaum muhajirin yang didalam Alquran surat
al-Hasyr: 8 yang menegaskan ‘Mereka yang diusir dari kampung halaman dan
dipaksa meninggalkan harta benda mereka, hanya karena mereka ingin memperoleh
karunia Allah dan keridhaan-Nya?”’ Mereka menjawab, ”Bukan…!”
”Apakah kalian termasuk kaum Anshar
yang dinyatakan dalam Alquran surat al-Hasyr 97 : ‘Mereka yang tinggal
di Madinah dan telah beriman kepada Allah sebelum kedatangan kaum Muhajirin.
Mereka itu mencintai dan bersikap kasih sayang kepada orang-orang yang datang
berhijrah kepada mereka, dan mereka tidak mempunyai pamrih apa pun dalam
memberikan bantuan kepada kaum Muhajirin. Bahkan mereka lebih mengutamakan
orang-orang yang hijrah daripada diri mereka sendiri, kendatipun mereka berada
dalam kesusahan?”’ ”Bukan…!”
Kalau begitu berati kalian menolak
untuk tidak termasuk ke dalam salah satu dari kedua golongan tersebut.
Selanjutnya ia berkata” Aku bersaksi bahwa kalian bukanlah orang yang dimaksud
dalam firman allah, “”Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” (Qs. Al
Hasyr:10). Maka keluarlah kalian dari rumahku, niscaya Allah murka kepada
kalian”.
Ali bin al Husein Zainal ‘Abidin
dianggap sebagai ulama yang paling masyur di Madinah dan pemimpin ulama tabi’in
di sana. Hal ini keterangan yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, dan yang
diriwayatkan Ibnu Abbas.
Kurang lebih 30 tahun Zainal Abidin
bergiat mengajar berbagai cabang ilmu agama Islam di Masjid Nabawi di Madinah.
Sikap tidak berpihak pada kelompok mana pun tersebut mengundang simpati dari
semua kelompok yang bertikai. Zainal Abidin disegani oleh segenap kaum Muslimin
baik kawan maupun lawan.
Pada zamannya, Zainal Abidin diakui
masyarakat Muslimin sebagai ulama puncak dan kharismatik. Ia sangat dihormati,
disegani, dan diindahkan nasihat-nasihatnya. Kenyataan itu tidak hanya karena
kedalaman ilmu pengetahuan agamanya, tidak pula karena satu-satunya pria
keturunan Rasulullah, tetapi juga karena kemuliaan akhlak dan ketinggian budi
pekertinya.
Salah seorang Putera ‘Amar bin Yasir
meriwayatkan bahwa: pada suatu hari Ali bin Husein kedatangan suatu kaum, lalu
beliau menyuruh pembantunya untuk membuatkan daging panggang, Kemudian pembantu
itu dengan terburu buru sehingga besi untuk membakar daging terjatuh mengenai
kepala anak Alin bin usein yang masih kecil sehingga anak tersebut meninggal.
Maka Ali berkata kepada pembantunya,’ kamu kepanasan, sehingga besi itu jatuh’.
Setelah itu beliau sendiri mempersiapkan untuk memakamkan anaknya.”. Menunjukan
kesabaran dan kepasrahan beliau, dimana seorang pembantu telah menyebabkan kematian
anaknya. sehingga ia membalas kejelekan dengan suatu kebaikan.
Sebuah keterangan yang diriwayatkan
oleh Hisyam bin Abdul Malik ketika ia sedang menunaikan ibadah haji sebelum
diangkat menjadi Khalifah, ia berusaha untuk mencium hajar aswad tetapi ia
tidak mampu melakukannya, kemudian datang Ali bin Husein hendak mencium hajar
aswad juga sehingga orang orang disekitarnya menyingkir dan berhenti lalu
beliau menciumnya. Kemudian orang orang bertanya kepada Hisyam siapa orang
itu?, dia menjawab aku tidak mengenalnya. Maka seseorang berkata” Aku
mengenalnya, dia adalah Ali bin al Husein.
Para ulama sepakat bahwa Ali bin al
Husein ini anak paling kecil dari Husein yang selamat, sedangkan kakak kakaknya
dan kedua orang tuanya terbunuh sebagai syuhada. Zainal Abidin kecil selamat
dari pembunuhan keluarga Rasulullah, ketika itu ia sedang terlentang diatas
tempat tidur karena sakit, sehingga keadaanya luput dari pembunuhan, saat itu
usianya 23 tahun. Allah melindungi dan menyelamatkannya.
Ia wafat pada tahun 74 H di Madinah
dalam usia 58 tahun dan dimakamkan di Baqi. Riwayat lain dikatakan ia wafat
pada tahun 93 H dalam usia 57 tahun.
Ummi Kultsum binti
Ali bin Abu Thalib
(Wafat
75H)
Namanya adalah Ummu Kultsum
binti Ali bin Abi Thalib, orang yang pertama kali masuk Islam dari golongan
anak, memiliki kedudukan yang tinggi dan posisi yang luhur di sisi Rasulullah.
Beliau juga putri khalifah Rasyidin yang keempat. Kakeknya adalah penghulu anak
Adam. Ibu beliau adalah ratu wanita ahli jannah, Fathimah binti Rasulullah,
sedangkan kedua saudaranya adalah pemimpin pemuda ahli jannah dan penghibur
hati Rasulullah.
Dalam lingkungan yang mulia seperti
inilah pada zaman Rasulullah Ummu Kultsum dilahirkan, tumbuh berkembang dan
terdidik. Beliau adalah teladan bagi para gadis muslimah yang tumbuh di atas
dien, keutamaan dan rasa malu.
Amirul Mukminin Umar bin Khathab
al-Faruq , Khalifah Rasyidin yang kedua mendatangi ayahnya untuk meminang
beliau. Akan tetapi, mulanya Imam Ali bin Abi Thalib meminta ditunda, karena
Ummu Kultsum masih kecil. Umar berkata: “Nikahkanlah aku dengannya wahai Abu
Hasan, karena aku telah memperhatikan kemuliannya, yang tidak aku dapatkan pada
orang lain.” Maka Ali meridhainya dan menikahkan Umar dengan putrinya pada
bulan Dzulqa’dah tahun 17 Hijriyah, dan hidup bersama hingga terbunuhnya Umar.
Dari pernikahannya mendapatkan dua anak, yaitu Zaid bin Umar al-Akbar dan
Ruqayyah binti Umar.
Yang mengesankan pada Ummu Kultsum,
istri dari Amirul Mukminin, bahwa suatu ketika Umar keluar pada malam hari
seperti biasanya untuk mengawasi rakyatnya (inilah keadaan setiap pemimpin yang
bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya dalam naungan daulah Islamiyah ).
Beliau melewati suatu desa di Madinah, tiba-tiba beliau mendengar suara
rintihan wanita yang bersumber dari sebuah gubug, di depan pintu ada seorang
laki-laki yang sedang duduk. Umar mengucapkan salam kepadanya dan bertanya
kepadanya tentang apa yang terjadi. Laki-laki tersebut berkata bahwa dia adalah
seorang Badui yang ingin mendapatkan kemurahan hati Amirul Mukminin. Umar
bertanya tentang wanita di dalam gubug yang beliau dengar rintihannya.
Laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa yang berbicara dengannya adalah
Amirul Mukminin, maka dia menjawab, “Pergilah anda dan semoga Allah
merahmati anda sehingga mendapatkan yang anda cari, dan janganlah anda bertanya
tentang sesuatu yang tak ada gunanya bagi anda.”
Umar kembali mengulang-ulang
pertanyaannya agar dia dapat membantu kesulitannya jika mungkin. Laki-laki
tersebut menjawab, “Dia adalah istriku yang hendak melahirkan dan tak ada
seorang pun yang dapat membantunya.” Umar bertolak meninggalkan laki-laki
tersebut dan kembali ke rumah dengan segera. Beliau masuk menemui istrinya,
yakni Ummu Kaltsum dan berkata, ”Apakah kamu ingin mendapat pahala yang
Allah akan limpahkan kepadamu?” Beliau menjawab dengan keadan yang penuh
antusias dan berbahagia dengan kabar gembira tersebut yang mana beliau merasa
mendapatkan kehormatan karenanya, “Apa wujud kebaikan dan pahala tersebut
Wahai Umar?” Maka Umar memberitahukan kejadian yang baru mereka temui,
kemudian Ummu Kultsum segera bangkit dan dan mengambil peralatan untuk
melahirkan dan kebutuhan bagi bayi, sedangkan Amirul Mukminin membawa kuali
yang di dalamnya ada mentega dan makanan. Beliau berangkat bersama istrinya
hingga sampai ke gubug tersebut.
Ummu Kultsum masuk ke dalam gubug
dan membantu ibu yang hendak melahirkan dan beliau bekerja dengan semangat seorang
bidan. Sementara itu, Amirul Mukminin duduk-duduk bersama laki-laki tersebut di
luar sambil memasak yang beliau bawa. Tatkala istri laki-laki tersebut
melahirkan anaknya, Ummu Kultsum secara spontan berteriak dari dalam rumah,
“Beritakan kabar gembira kepada temanmu wahai Amirul Mukminin, bahwa Allah
telah mengaruniakan kepadanya seorang anak laki-laki. Hal itu membuat orang
badui tersebut terperanjat. Karena ternyata orang di sampingnya yang sedang
memasak dan meniup api adalah Amirul Mukminin.
Begitu pula wanita yang melahirkan
tersebut terperanjat, karena yang menjadi bidan baginya di gubug tersebut
ternyata adalah istri dari Amirul Mukminin. Takjub pula orang-orang yang hadir
menyaksikan realita yang berada dalam naungan Islam tersebut ketika seorang
kepala negara dan istrinya membantu seorang laki-laki dan istrinya dari Badui.
Setelah berselang beberapa waktu
lamanya, tangan yang berdosa dan dengki dengan Islam membunuh Umar bin
Khatthab, sehingga Ummu Kultsum menjadi seorang janda.
Tatkala Ummu Kultsum wafat, Ibnu
Umar menyalatkannya dan begitu pula putranya, Zaid, yang berdiri di sampingnya
dan mereka berdua takbir empat kali.
Sumber :
- Kitab Nisaa’ Haular Rasuul,
karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar