Ummu Hakim binti
al-Harits
Nama lengkapnya adalah Ummu Hakim
binti al-Harits bin Hisyam bin Mughirah al-Makhzumiyah. Beliau adalah putri
dari saudaranya Abu Jahal Amru bin Hisyam yang menjadi musuh Allah dan
Rasul-Nya. Adapun ibu beliau bernama Fathimah binti al-Walid.
Sesungguhnya Ummu Hakim diberi
nikmat berupa akal yang cemerlang dan hikmah yang fasih. Ayahanda beliau yakni
al-Haris menikahkan beliau pada masa jahiliyah dengan putra pamannya yaitu
Ikrimah bin Abu Jahal yang mana dia adalah salah seorang dari orang-orang yang
telah diumumkan Rasulullah untuk dibunuh. Ketika kaum muslimin mendapat
kemenangan dan kota Mekah telah dibuka, Ikrimah bin Abu Jahal melarikan diri ke
Yaman, karena dia mendengar ancaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terhadapnya.
Manusia masuk agama Allah dengan
berbondong-bondong, masuk Islamlah al-Haris bin Hisyam dan juga putrinya yaitu
Ummu Hakim dan baguslah keislamannya.
Ummu Hakim termasuk wanita yang
berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia merasakan
manisnya iman yang telah memenuhi kalbunya, sehingga kemudian ia ingin agar
orang yang paling dia cintai dan paling dekat dengannya yaitu suaminya, Ikrimah
bin Abu Jahal, merasakan manisnya iman sebagaimana yang beliau rasakan.
Kebijakan dan kejernihan akalnya
telah menuntun beliau untuk menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
untuk meminta keamanan bagi suaminya bila dia masuk Islam. Alangkah girangnya
hati beliau mendengar jawaban Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sang
pemilik jiwa yang besar yang mau memaafkan dan menjamin keamanan jiwanya.
Selanjutnya, Ummu Hakim segera
bertolak untuk mengejar suaminya yang melarikan diri dengan harapan beliau
dapat menemukannya sebelum kapal berlayar.
Beliau menempuh jalan yang sulit dan
membawa perbekalan yang minim namun tidak berputus asa, beliau tidak merasa
lemah karena tujuan yang agung telah meringankan penderitaan yang banyak dan
banyak lagi. Takdir Allah menghendaki agar beliau dapat bertemu dengan suaminya
di sebuah pantai yang tatkala itu kapal nyaris hendak berlayar. Selanjutnya,
Ummu Hakim berteriak kepada suaminya, “Wahai putra pamanku?. aku datang
kepada kamu karena utusan manusia yang paling suka perdamaian, manusia yang
paling berbakti, sebaik-baik manusia, maka janganlah engkau membinasakan
dirimu, aku telah meminta jaminan keamanan bagimu!” Ikrimah berkata: “Apakah
engkau benar-benar telah melakukannya?” “Benar” jawab Ummu Hakim.
Kemudian, beliau menceritakan kepada suaminya tentang akidah yang telah
memenuhi kalbunya dan telah beliau rasakan manisnya dan bahwa beliau belum
masuk Islam kecuali setelah beliau mengetahui bahwa ternyata Islam adalah agama
yang sempurna dan bahwa Islam itu tinggi, tiada yang lebih tinggi darinya.
Beliau ceritakan pula tentang pribadi Rasul yang mulia dan bagaimana pula
beliau memasuki Mekah dengan menghancurkan berhala-berhala di dalamnya, serta
pemberian maaf beliau kepada manusia dengan jiwa yang besar, dan jiwa beliau
terbuka bagi setiap manusia untuk memaafkan.
Inilah kemenangan bagi Ummu Hakim ra
yang telah menabur benih yang baik pada jiwa suaminya hingga selanjutnya beliau
kembali bersama suaminya untuk menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam dan Ikrimah mengumumkan keislamannya di hadapan Rasulullah, dan beliau
memulai lembaran barunya dengan Islam yang hampir saja dia terdampar dalam
kegelapan Jahiliyah dan paganisme. Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam membuka kedua tangannya untuk menyambut kembalinya seorang pemuda
secara total yang hendak menunjukkan loyalitasnya kepada Allah dan Rasulnya.
Selanjutnya, Ikrimah ra senantiasa
meneguk dari sumber akidah Islamiyah hingga memancarlah pada jiwanya keimanan
yang tulus dan kecintaan yang murni serta mendorong beliau terjun ke dalam
kancah peperangan, sedangkan di belakangnya adalah pengikutnya yang masing-masing
mampu memanggul senjata.
Di dalam kancah pertempuran beliau
membai’at kepada sahabat-sahabatnya untuk mati di jalan Allah Azza wa Jalla,
dia tulus untuk mencari syahid sehingga Allah mengabulkannya, beliau berhasil
meraih indahnya syahid di jalan Allah. Akan tetapi, Ummu Hakim sebagai wanita
mukminah sedikit pun tidak bersedih hati, beliau tetap sabar meskipun saudara,
ayah, dan bahkan suaminya telah syahid di medan perang. Sebab, bagaimana
mungkin beliau bersedih hati padahal beliau berangan-angan agar dirinya dapat
meraih syahid sebagaimana yang telah berhasil mereka raih? Dan syahid adalah
angan-angan dan cita-cita tertinggi seorang mukmin yang shadiq.
Setelah berselang beberapa lama dari
kesyahidan suaminya, yakni Ikrimah ra, beliau dilamar oleh seorang panglima
kaum muslimin dari Umawiyah yang bernama Khalid bin Sa’id ra. Tatkala terjadi
perang Marajush, Shufur Khalid hendak mengumpuli beliau, namun Ummu Hakim
menjawab, “Seandainya saja engkau menundanya hingga Allah menghancurkan
pasukan musuh.” Khalid berkata : “Sesungguhnya saya merasa bahwa saya
akan terbunuh.” Ummu Hakim berkata : “Jika demikian, silahkan.” Maka
Khalid melakukan malam pengantin dengan Ummu Hakim di atas jembatan yang pada
kemudian hari dikenal dengan jembatan Ummu Hakim.
Pada pagi harinya mereka mengadakan
walimah untuk pengantin. Belum lagi mereka selesai makan. Pasukan Romawi
menyerang mereka, hingga sang pengantin laki-laki yang juga sebagai panglima
perang terjun ke jantung pertempuran. Ia berperang hingga syahid. Maka Ummu
Hakim mengencangkan baju yang beliau kenakan kemudian berdiri untuk memukul
pasukan Romawi dengan tiang kemah yang dijadikan walimatul urs dan bahkan
beliau mampu membunuh tujuh orang di antara musuh-musuh Allah.
Alangkah indahnya malam pertamanya
dan alangkah indahnya waktu paginya. Begitulah, para wanita mukminah mujahidah
dan yang bersabar merayakan malam pertamanya di medan perang kemudian pagi
harinya berjihad dan berperang.
Hal ini tidaklah mengherankan karena
ternyata Ummu Hakim adalah putri dari saudara wanitanya “saifullah al-maslul”
(pedang Allah yang terhunus), seorang panglima yang pemberani yaitu Khalid bin
Walid.
Ummu Umarah (Nusaibah
binti Kaab)
Nama lengkapnya adalah Nusaibah
binti Ka’ab bin Amru bin Auf bin Mabdzul al-Anshaiyah. Ia adalah seorang wanita
dari Bani Mazin an-Najar.
Beliau wanita yang bersegera masul
Islam, salah seorang dari dua wanita yang bersama para utusan Anshar yang
datang ke Mekah untuk melakukan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Disamping memiliki sisi keuatmaan dan kebaikan, ia juga suka berjihad,
pemberani, ksatia, dan tidak takut mati di jalan Allah.
Nusaibah ikut pegi berperang dalam
Perang Uhud besama suaminya (Ghaziyah bin Amru) dan bersama kedua anaknya dari
suami yang prtama (Zaid bin Ashim bin Amru), kedua anaknya bernama Abdullah dan
Hubaib. Di siang harri beliau membeikan minuman kepada yang terluka, namun
tatkala kaum muslimin porang-poranda beliau segera mendekati Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa pedang (untuk menjaga keselamatan
Rasulullah) dan menyerang musuh dengan anak panah. Beliau beperang dengan
dahsyat. Beliau menggunakan ikat pinggang pada peutnya hingga teluka sebanyak
tiga belas tempat. Yang paling parah adalah luka pada pundaknya yang tekena
senjara dai musuh Allah yang bernama Ibnu Qami’ah yang akhirnya luka tersebut
diobati selama satu tahun penuh hingga sembuh.
Nusaimah sempat mengganggap ringan
lukanyayang berbahaya ketika penyeu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berseru agar kaum muslimin menuju Hamraul Asad, maka Nusaibah mengikat lukanya
dengan bajunya, akan tetapi tidak mampu untuk menghentikan cucuran daahnya.
Ummu Umarah menutukan kejadian
Perang Uhud demikian kisahnya, “Aku melihat orang-oang sudah menjauhi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga tinggal sekelompok kecil yang
tidak sampai bilangan sepuluh orang. Saya, kedua anakku, dan suamiku berada di
depan beliau untuk melindunginya, sementara orang-orang koca-kacir. Beliau
melihatku tidak memiliki perisai, dan beliau melihat pula ada seorang laki-laki
yang mundu sambil membawa perisai. Beliau besabda, ‘Beikanlah peisaimu kepada yang
sedang berperang!’ Lantas ia melempakannya, kemudian saya mengambil dan saya
pegunakan untuk melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu
yang menyerang kami adalah pasukan bekuda, seandainya mereka berrjalan kaki
sebagaimana kami, maka dengan mudah dapat kami kalahkan insya Allah. Maka
tatkala ada seorang laki-laki yang berkuda mendekat kemudian memukulku dan aku
tangkis dengan pisaiku sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa degan pedangnya
dan akhirnya dia hendak mundu, maka aku pukul urat kaki kudanya hingga jatuh
teguling. Kemudian ketika itu Nabi berseu, ‘Wahai putra Ummu imarah, bantulah
ibumu… bantulah ibumu….’ Selanjutnya putraku membantuku untuk mengalahkan musuh
hingga aku berhasil membunuhnya.” (Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/412).
Putra beliau yang bernama Abdullah
bin Zaid bekata, “Aku teluka. Pada saat itu dengan luka yang parah dan darah
tidak berhenti mengalir, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Balutlah lukamu!’ Sementara ketika itu Ummu Imarh sedang menghadapi musuh,
tatkala mendenga seuan Nabi, ibu menghampiriku dengan membawa pembalut dari
ikat pinggangnya. Lantas dibalutlah lukaku sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berdiri, ketika itu ibu bekata kepadaku, ‘Bangkitlah besamaku dan
tejanglah musuh!’Hal itu membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Siapakah yang mampu berbuat dengan apa yang engkau pebuat ini wahai Ummu
Imarah?’
Kemudian datanglah orang yang tadi
melukaiku, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Inilah yang
memukul anamu whai Ummu Imarah!” Ummu Imarah becerita, “Kemudian aku datangi
orang tersebut kemudian aku pukul betisnya hingga roboh.” Ummu Imarah melihat
ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum karena apa yang
telah diperbuat olehnya hingga kelihata gigi geraham beliau, beliau bersabda,
“Engkau telah menghukumnya wahai Ummu Imarah.”
Kemudian mereka pukul lagi dengan senjata hingga dia mati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memenangkanmu dan meyejukkan pandanganmu dengan kelelahan musuh-musuhmu dan dapat membalas musuhmu di depan matamu.” (Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/413 — 414).
Selain pada Perang Uhud, Ummu Imarah
juga ikut pada dalam bai’atur ridwan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam Perang Hudaibiyah, dengan demikian beliau ikut serta dalam Perang
Hunain.
Ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat, ada bebeapa kabilah yang mutad dari Islam di bawah
pimpinan Musailamah al-Kadzab, selanjutnya khalifah Abu Bakar ash-Shidiq
mengambil keputusan untuk memerangi orang-orang yang murtad tesebut. Maka,
bersegeralah Ummu Imarah mendatangi Abu Bakar dan meminta ijin kepada beliau
untuk begabung bersama pasukan yang akan memerangi orang-orang yang mutad dai
Islam. Abu Bakar ash-Shidiq bekata kepadanya, “Sungguh aku telah mengakui
pranmu di dalam perang Islam, maka berangkatlah dengan nama Allah.” Maka,
beliau berangkat bersama putranya yang bernama Hubaib bin Zaid bin Ashim.
Di dalam perang ini, Ummu Imarah
mendapatkan ujian yang berat. Pada perang tesebut putranya tertawan oleh
Musailamah al-Kadzab dan ia disiksa dengan bebagai macam siksaan agarr mau
mengakui kenabian Musailamah al-Kadzab. Akan tetapi, bagi putra Ummu imarah
yang telah tebiasa dididik untuk besabar tatkala beperang dan telah dididik
agar cinta kepada kematian syahid, ia tidak kenal kompomi sekalipun diancam.
Tejadilah dialog antaraya dengan Musailamah:
Musailamah : "Engkau
bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?"
Hubaib : "Ya"
Musailamah : "Engkau besaksi bahwa aku adalah Rasulullah?"
Hubaib : " Aku tidak mendengar apa yang kamu katakan itu"
Hubaib : "Ya"
Musailamah : "Engkau besaksi bahwa aku adalah Rasulullah?"
Hubaib : " Aku tidak mendengar apa yang kamu katakan itu"
Kemudian Musailamah al-Kadzab memotong-motong tubuh Hubaib hingga tewas.
Suatu ketika Ummu Imarah ikut serta
dalam perang Yamamah besama putranya yang lain, yaitu Abdullah. Beliau bertekad
untuk dapat membunuh Musailamah dengan tangannya sebagai balasan bagi
Musailamah yang telah membunuh Hubaib, akan tetapi takdir Allah menghendaki
lain, yaitu bahwa yang mampu membunuh adalah putra beliau yang satunya, yaitu
Abdullah. Ia membalas Musailamah yang telah membunuh saudara kandungnya.
Tatkala membunuh Musailamah,
Abdullah bekeja sama dengan Wahsyi bin Harb, tatkala ummu imarah mengetahui
kematian si Thaghut al-Kadzab, maka beliau bersujud syukur kepada Allah.
Ummu Imarah pulang dari peperangan dengan membawa dua belas luka pada tubuhnya setelah kehilangan satu tangannya dan kehilangan anaknya yang terakhir, yaitu Abdullah.
Sungguh, kaum muslimin pada masanya
mengetahui kedudukan beliau. Abu Bakar ash-Shidiq penah mendatangi beliau untuk
menanyakan kondisinya dan menenangkan beliau. Khalid si pedang Islam membantu
atas penghomatannya, dan seharusnyalah kaum muslimin di zaman kita juga
mengetahui haknya pula. Beliau sungguh telah mengukir sejarahnya dengan tinta
emas.
Sumber :
- Kitab Nisaa’ Haular Rasuul,
karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.
|
Ummu Ma’bad
Perjalanan hijrah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disertai sahabat beliau, Abu Bakr
Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berlangsung diam-diam, menghindari kejaran
Quraisy. Perjalanan yang tak ringan. Di tengah payahnya perjalanan
Makkah-Madinah, mereka singgah di sebuah tenda, tempat tinggal sepasang suami
istri yang selalu memberikan jamuan kepada orang-orang yang singgah di sana.
Peristiwa yang menakjubkan pun terjadi dalam kehidupan seorang wanita bernama Ummu
Ma’bad.
Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyah, Atikah
bintu Khalid bin Khalif bin Munqidz bin Rabi’ah bin Ashram bin Dhabis bin Haram
bin Habsyiyah bin Salul bin Ka’b bin ‘Amr dari Khuza’ah. Dia menikah dengan
sepupunya, Tamim bin ‘Abdil ‘Uzza bin Munqidz bin Rabi’ah bin Ashram bin Dhabis
bin Haram bin Habsyiyah bin Salul bin Ka’b bin ‘Amr dari Khuza’ah. Mereka
dikaruniai seorang anak yang mereka beri nama Ma’bad. Dengan nama inilah mereka
berkunyah.
Mereka berdua tinggal di Qudaid,
antara Makkah dan Madinah. Namun mungkin mereka tak pernah menyangka, tempat
tinggal mereka akan menjadi tempat yang masyhur dengan singgahnya utusan Allah
Subhanahu wa Ta’ala di sana.
Ummu Ma’bad adalah seorang wanita
yang tekun dan ulet. Dia biasa duduk di serambi tendanya, memberi makanan dan
minuman kepada siapa pun yang melewati tendanya.
Sementara itu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu hendak
melanjutkan perjalanan kembali setelah bersembunyi selama tiga hari dalam gua.
Budak Abu Bakr, ‘Amr bin Fuhairah menyertai mereka. Juga seorang penunjuk
jalan, Abdullah bin ‘Uraiqith Al-Laitsi yang datang pada hari yang ditentukan
membawa dua tunggangan milik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu
Bakr. Senin dini hari mereka berangkat.
Selasa, mereka sampai di Qudaid.
Berempat mereka singgah di tenda Ummu Ma’bad. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan Abu Bakr meminta daging dan kurma yang dia miliki. Mereka hendak membelinya.
“Kalau kami memiliki sesuatu,
tentu kalian tidak akan kesulitan mendapat jamuan,” kata Ummu Ma’bad. Saat
itu adalah masa paceklik, kambing-kambing pun tidak beranak.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihat seekor kambing betina di samping tenda. “Mengapa kambing ini?”
tanya beliau. “Dia tertinggal dari kambing-kambing yang lain karena lemah,”
jawab Ummu Ma’bad. “Apa dia masih mengeluarkan susu?” tanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. “Bahkan dia lebih payah dari itu!” ujar
Ummu Ma’bad.
“Apakah engkau izinkan bila
kuperah susunya?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Boleh,
demi ayah dan ibuku,” jawab Ummu Ma’bad. “Bila kau lihat dia masih bisa
diperah susunya, perahlah!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengusap kantong susu kambing betina itu sambil menyebut nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan berdoa. Seketika itu juga, kantong susu kambing betina
itu menggembung dan membesar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta
bejana pada Ummu Ma’bad, lalu memerah susu kambing itu dalam bejana hingga
penuh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bejana itu pada
Ummu Ma’bad. Ummu Ma’bad pun meminum susu itu hingga kenyang. Setelah itu
beliau memberikannya kepada yang lainnya hingga mereka pun kenyang. Barulah
beliau minum susu itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerah susu kambing itu lagi hingga memenuhi bejana. Beliau tinggalkan
bejana yang penuh berisi susu itu untuk Ummu Ma’bad, kemudian mereka
melanjutkan perjalanan.
Tak lama kemudian, suami Ummu Ma’bad
datang sambil menggiring kambing-kambing yang kurus dan lemah. Ketika melihat
bejana berisi susu, dia bertanya keheranan, “Dari mana susu ini? Padahal
kambing-kambing kita tidak beranak dan di rumah tak ada kambing yang bisa
diperah!”
“Demi Allah,” kata Ummu
Ma’bad. “Tadi ada seseorang yang penuh berkah lewat di sini. Di antara
ucapannya, begini dan begini ….”
“Demi Allah,” sahut Abu
Ma’bad, “Aku yakin, dialah salah seorang Quraisy yang sedang mereka
cari-cari! Gambarkan padaku, bagaimana ciri-cirinya, wahai Ummu Ma’bad!”
Ummu Ma’bad pun melukiskan sifat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilihatnya, “Dia sungguh elok.
Wajahnya berseri-seri. Bagus perawakannya, tidak gemuk, tidak kecil kepalanya,
tampan rupawan. Bola matanya hitam legam, bulu matanya panjang. Suaranya agak
serak-serak, dan lehernya jenjang. Jenggotnya lebat, matanya jeli bagaikan
bercelak. Alisnya panjang melengkung dengan kedua ujung yang bertemu, rambutnya
hitam legam. Bila diam, dia tampak berwibawa, bila berbicara, dia tampak ramah.
Amat bagus dan elok dilihat dari kejauhan, amat tampan dipandang dari dekat.
Manis tutur katanya, tidak sedikit bicaranya, tidak pula berlebihan, ucapannya
bak untaian marjan. Perawakannya sedang, tidak dipandang remeh karena pendek,
tak pula enggan mata memandangnya karena terlalu tinggi. Dia bagai pertengahan
antara dua dahan, dia yang paling tampan dan paling mulia dari ketiga temannya
yang lain. Dia memiliki teman-teman yang mengelilinginya. Bila dia berbicara,
mereka mendengarkan ucapannya baik-baik. Bila dia memerintahkan sesuatu, mereka
dengan segera melayani dan menaati perintahnya. Dia tak pernah bermuka masam
dan tak bertele-tele ucapannya.”
Mendengar penuturan itu, Abu Ma’bad
berkata yakin, “Demi Allah, dia pasti orang Quraisy yang sedang mereka
cari-cari. Aku bertekad untuk menemaninya, dan sungguh aku akan melakukannya
jika kudapatkan jalan untuk itu!”
Hari yang penuh kebaikan dari sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Pada hari itu, Ummu Ma’bad masuk Islam [~Ahli sejarah
yang lain mengatakan, Ummu Ma’bad datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam setelah peristiwa itu untuk menyatakan keislamannya dan berbai’at.
Wallahu a’lam~]. Dikisahkan, kambing Ummu Ma’bad yang diusap oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam panjang umurnya. Kambing itu tetap
hidup sampai masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu tahun
12 H dan selalu mengeluarkan air susunya saat diperah, pagi maupun sore hari.
Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyah, semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya ….
Sumber :
- Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu
Hajar Al-‘Asqalani (8/305-307)
- Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu
‘Abdil Barr (4/1876,1958-1962)
- Ath-Thabaqatul Kubra, karya
Al-Imam Ibnu Sa’d (8/288)
- Ats-Tsiqat, karya Al-Imam Ibnu
Hibban (1/123-128)
- Mukhtashar Siratir Rasul, karya
Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (hal. 131-133); Penulis: Al-Ustadzah Ummu
‘Abdirrahman Bintu ‘Imran, Sumber Artikel: http://www. asysyariah.com/,
kategori Cerminan Salihah)
|
Ummu Waraqah binti
Naufal
Namanya adalah Ummu Waraqah binti
Abdullah atau dikenal dengan Ummu Waraqah binti Naufal, ia putri dari Abdullah
bin al- Haris bin Uwaimar bin Naufal al-Anshariyah, dinisbahkan kepada
kakeknya.
Beliau termasuk wanita yang mulia
dan yang paling mulia pada zamannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
telah mengunjungi beliau beberapa kali dan beliau menjulukinya dengan gelar
asy-Syahidah.
Ia adalah seorang wanita yang
memiliki ghirah (semangat) tinggi terhadap Islam dan bercita-cita untuk mati
syahid di jalan Allah dalam rangka meninggikan kalimat Allah. Oleh karena itu,
beliau tidak terhalang untuk berjihad bersama kaum muslimin dan mendapatkan
pahala mujahidin. Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam hendak
berangkat Perang Badar, Ummu Waraqah berkata kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam, “Ya Rasulullah, izinkanlah aku berangkat bersama anda,
sehingga aku dapat mengobati orang-orang yang terluka di antara kalian, merawat
orang yang sakit di antara kalian, dan agar Allah mengaruniai diriku syahadah
(mati syahid).”
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalam menjawab, “Sesungguhnya Allah akan mengaruniai dirimu syahadah,
tapi tinggallah kamu di rumahmu, karena sesungguhnya engkau adalah syahidah
(orang yang akan mati syahid).”
Beliau turut mengumpulkan Alquran
al-Karim, dan beliau adalah seorang wanita yang ahli dalam membaca Alquran.
Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan beliau agar menjadi
imam bagi para wanita di daerahnya. Dan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam menyiapkan seorang muadzin bagi beliau.
Disebutkan dalam al-Musnad dan
as-Sunan dari hadis Abdurrahman bin Khalad dari Ummu Waraqah mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengunjungi beliau di rumahnya,
kemudian memberikan seorang muadzin untuknya. Abdurrahman berkata, “Aku
melihat muadzin tersebut seorang laki-laki yang sudah tua.”
Jadilah rumah Ummu Waraqah ra, rumah
Allah yang di sana, ditegakkan salat lima waktu. Alangkah terhormatnya seorang
wanita yang menduduki posisi sebagaimana seorang wanita mukminah seperti Ummu
Waraqah.
Ummu Waraqah senantiasa istiqamah
dengan keadaannya, yaitu menjaga syari’at-syari’at Allah hingga pada suatu
ketika budak dan jariyahnya -yang telah dijanjikan oleh beliau akan
dimerdekakan setelah beliau wafat- membunuh beliau. Tatkala pagi Umar bin
Khaththab berkata, “Demi Allah, aku tidak mendengar suara bacaan Alquran dari
bibiku semalam.” Kemudian beliau memasuki rumahnya, namun tidak melihat suatu
apa pun, kemudian beliau memasuki kamarnya, ternyata beliau telah terbungkus
dengan kain di samping rumah (yakni telah wafat). Umar berkata, “Alangkah
benar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ketika bersabda, ‘Marilah
pergi bersama kami untuk mengunjungi wanita yang syahid’.”Selanjutnya, Umar
naik mimbar dan menyampaikan berita tersebut lantas berkata, “Hadapkanlah
dua budak tersebut kepadaku.”
Maka, datanglah dua orang budak
tersebut dan beliau menanyai keduanya dan mereka mengakui bahwa mereka berdua
telah membunuhnya, maka beliau perintahkan agar kedua orang budak tersebut
disalib, dan mereka berdualah orang yang pertama kali disalib dalam sejarah
Islam.
Sumber :
- Kitab Nisaa’ Haular Rasuul,
karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.
|
Ummu Ruman
Dia beriman, berbaiat dan berhijrah.
Dia berikan kebaikan untuk Allah dan Rasul-Nya dalam keislamannya, hingga dia
beroleh janji, “Barangsiapa yang ingin melihat seorang bidadari, maka
lihatlah wanita ini.”
Ummu Ruman bintu ‘Amir bin ‘Uwaimir
bin Abdi Syams bin ‘Itab bin Udzainah bin Sabi’ bin Duhman bin Al-Harits bin
Ghanm bin Malik bin Kinanah Al-Kinaniyah radhiyallahu ‘anha [~Nasab Ummu
Ruman dari ayahnya hingga Kinanah banyak diperselisihkan oleh para ahli tarikh,
namun mereka bersepakat bahwa dia dari Bani Ghanm bin Malik bin Kinanah~]
adalah istri orang terbaik umat ini setelah Nabinya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Sebelum datang masa Islam, Ummu
Ruman adalah istri ‘Abdullah bin Al-Harits bin Sakhbarah bin Jurtsumatil Khair
bin ‘Adiyah bin Murrah Al-Azdi. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan pada
mereka seorang anak bernama Ath-Thufail. Mereka tinggal di As-Surah. Selang
beberapa waktu, Abdullah membawa istrinya ke Makkah untuk tinggal di sana.
Sebagaimana kebiasaan kala itu, para pendatang bersekutu dengan para pembesar
Makkah yang dapat melindunginya. Begitu pun ‘Abdullah bin Al-Harits. Dia
bersekutu dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq.
Namun Ummu Ruman harus bertemu
dengan kenyataan, Abdullah meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
Sepeninggal Abdullah bin Al-Harits, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu datang
meminangnya dan membawa Ummu Ruman dalam kehidupan rumah tangganya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala menganugerahi pasangan ini Abdurrahman dan ‘Aisyah.
Hari terus bergulir, hingga cahaya
Islam merekah di kota Makkah. Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu adalah
orang pertama yang membenarkan risalah. Tak ketinggalan Ummu Ruman menyatakan
keimanannya dan turut berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keluarga yang sarat barakah. Ketika
putri mereka, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berumur enam tahun, datang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminang ‘Aisyah. Jadilah putri Ummu Ruman
ini seorang wanita yang penuh kemuliaan sebagai Ummul Mukminin. Namun saat itu,
‘Aisyah masih tetap berada dalam asuhan ayah ibunya, dalam keluarga yang penuh
kebaikan, hingga saatnya turun perintah hijrah.
Ketika itu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu lebih dulu berangkat hijrah,
sementara Ummu Ruman beserta keluarga Abu Bakr masih tinggal di Makkah. Barulah
setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap beberapa saat di
Madinah, beliau mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhuma
untuk menjemput keluarga beliau, berbekal 500 dirham dan dua ekor unta. Abu
Bakr juga mengutus Abdullah bin ‘Uraiqith dengan membawa dua atau tiga ekor
unta, dan menulis surat kepada putranya, Abdullah bin Abi Bakr, untuk membawa
Ummu Ruman beserta ‘Aisyah dan Asma`. Mereka pun bertolak menuju Madinah
bersama-sama. Saat itu, Zaid dan Abu Rafi’ membawa Fathimah, Ummu Kultsum, dan
Saudah bintu Zam’ah. Zaid juga menjemput istri dan anaknya, Ummu Aiman dan
Usamah bin Zaid.
Setiba di Madinah, keluarga Abu Bakr
tinggal beberapa lama di kampung Bani Al-Harits bin Al-Khazraj. Suatu hari,
‘Aisyah yang kala itu berusia sembilan tahun tengah menikmati permainan bersama
teman-teman sepermainannya. Tiba-tiba Ummu Ruman datang memanggilnya. ‘Aisyah
segera datang tanpa mengetahui apa maksud ibunya memanggilnya. Ummu Ruman
menggamit tangan ‘Aisyah yang masih terengah-engah itu ke depan pintu rumah.
Diambilnya sedikit air, diusapnya wajah dan kepala putrinya, lalu diajaknya
‘Aisyah masuk. Ternyata di sana telah berkumpul para wanita Anshar. Mereka
menyambut ‘Aisyah dengan doa keberkahan. Ummu Ruman menyerahkan ‘Aisyah pada
mereka yang dengan segera mendandani ‘Aisyah. Ternyata hari itu adalah hari
istimewa, saat bertemunya putri Ummu Ruman dengan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, suaminya.
Ummu Ruman tetap mengiringi
kehidupan putrinya. Bahkan juga ketika tersebar berita dusta tentang ‘Aisyah
yang mengguncang rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sepulang beliau dari peperangan Bani Al-Mushthaliq. ‘Aisyah yang turut dalam perjalanan
itu, semenjak kepulangannya jatuh sakit sampai sebulan lamanya hingga tak
mengetahui isu yang beredar menyangkut dirinya. Dia hanya merasa janggal dengan
sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang begitu dingin. Dia tak
merasakan sentuhan kelembutan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana yang biasa beliau lakukan bila ‘Aisyah sedang sakit. Namun
akhirnya, sampai pulalah kabar itu ke telinga ‘Aisyah dari Ummu Mishthah.
Bertambah parahlah sakit ‘Aisyah.
Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menemuinya, ‘Aisyah pun meminta izin untuk tinggal sementara waktu
bersama orang tuanya. Dia ingin mencari kepastian tentang berita yang tersebar
itu dari mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya.
Di hadapan ibunya, ‘Aisyah bertanya,
“Wahai ibu, apa sebenarnya yang sedang dibicarakan orang-orang?” Dengan
hati yang tak kalah sedihnya, Ummu Ruman menenangkan ‘Aisyah, “Tenanglah,
duhai putriku. Demi Allah, teramat jarang seorang wanita yang cantik di sisi seorang
suami yang begitu mencintainya, sementara dia memiliki madu, melainkan dia akan
diperbincangkan.”
“Subhanallah!” sahut ‘Aisyah,
“Berarti benar orang-orang membicarakan hal itu?” Pecahlah tangis
‘Aisyah malam itu tanpa henti hingga pagi menjelang. Air matanya tak berhenti
mengalir. ‘Aisyah masih terus menangis.
Sampai pada akhirnya, Allah
Subhanahu wa Ta’ala turunkan dari atas langit pernyataan tentang kesucian
dirinya dari tuduhan dusta yang dihembuskan oleh kaum munafikin dalam ayat 11
sampai 19 Surah An-Nuur.
Ummu Ruman, istri Ash-Shiddiq,
ibunda Ash-Shiddiqah ini kembali ke hadapan Rabbnya pada masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan meninggalkan banyak kebaikan. Ketika
jasadnya telah diturunkan ke dalam kubur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin melihat seorang bidadari surga,
maka lihatlah Ummu Ruman.” Ummu Ruman bintu ‘Amir, semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala meridhainya ….
Sumber :
- Al-Ishabah, karya Al-Hafidz Ibnu
Hajar Al-‘Asqalani (8/206-209);
- Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu
‘Abdil Barr (hal. 1935-1937);
- Kitab Azwajin Nabi, karya
Al-Imam Muhammad bin Yusuf Ash-Shalihi Ad-Dimasyqi (hal. 83-84, 111-117);
- Ath-Thabaqatul Kubra, karya
Al-Imam Ibnu Sa’d (8/276); Tahdzibul Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi
(35/358-361), Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran, dinukil
dari asysyariah.com).
|
Ummu Sulaim binti
Malhan
Nama lengkapnya adalah Rumaisha’
Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin
Ghanam bin Adi bin Naja al-Anshaiyah al-Khazrajiyah.
Beliau adalah seorang wanita yang
memiliki sifat keibuan dan cantik, dihiasi pula dirinya dengan ketabahan, kebijaksanaan,
lurus pemikirannya, dan dihiasi pula dengan kecerdasan berpikir dan kefasihan
serta berakhlak mulia, sehingga nantinya cerita yang baik ditujukan kepada
beliau dan setiap lisan memuji atasnya. Karena, beliau memiliki sifat yang
agung tersebut sehingga mendorong putra pamannya yang bernama malik bin Nadhar
untuk segera menikahinya yang akhirnya melahirkan Anas bin Malik.
Tatkala cahaya nubuwwah mulai terbit
dan dakwah tauhid mulai muncul, orang-orang yang berakal sehat dan memiliki
fitrah yang lurus untuk bersegera masuk Islam. Ummu Sulaim termasuk golongan
petama yang masuk Islam awal-awal dari golongan Anshar. Beliau tidak
mempedulikan segala kemungkinan yang akan menimpanya di dalam masyarakat
jahiliyah penyembah behala yang beliau buang tanpa ragu.
Adapun kalangan petama yang harus
beliau hadapi adalah kemarahan Malik, suaminya, yang barru saja pulang dari
bepergian dan mendapati istrinya telah masuk Islam. Malik berkata dengan
kemarahan yang memuncak, “Apakah engkau murtad dari agamamu?” Maka
dengan penuh yakin dan tegar beliau menjawab, “Tidak, bahkan aku telah
beriman.”
“Demi Allah, orang seperti anda
tidak pantas untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan aku
adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu
mau masuk Islam, maka itulah mahar bagiku dan kau tidak meminta yang selain
dari itu.” (Lihat an-Nasa’i VI/144).
Sungguh ungkapan tesebut mampu
menyentuh perasaan yang paling dalam dan mengisi hati Abu Thalhah, sungguh Ummu
Sulaim telah bercokol di hatinya secara sempurrna, dia bukanlah seorang wanita
yang suka bermain-main dan takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan, sesungguhnya
dia adalah wanita cedas, dan apakah dia akan mendapatkan yang lebih baik
darrinya untuk dipeisti, atau ibu bagi anak-anaknya?”
Tanpa terasa lisan Abu Thahah
mengulang-ulang, “Aku berada di atas apa yang kamu yakini, aku bersaksi
bahwa tidak ada ilah yang hak kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allah.”
Ummu Sulaim lalu menoleh kepada putranya
Anas dan beliau berkata dengan suka cita karena hidayah Allah yang diberikan
kepada Abu Thalhah melalui tangannya, “Wahai Anas nikahkanlah aku dengan Abu
Thalhah.” Kemudian beliau pun dinikahkan Islam sebagai mahar. Oleh karena
itu, Tsabit meiwayatkan hadis darri Anas :
“Aku belum penah mendengarr
seorang wanita yang paling mulia dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.”
(Sunan Nasa’i VI/114).
Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thahah
dengan kehidupan suami istri yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi
bagi kehidupan suami istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.
Ummu Sulaim adalah profil seorang
istri yang menunaikan hak-hak suami istri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana
juga contoh terbaik sebagai seorang ibu, seorang pendidik yang utama dan orang
da’iyah.
Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki
madrasah imaniyah melalui istrinya yang utama, yakni Ummu Sulaim. sehingga,
pada gilirannya beliau minum dari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam
hal kemuliaan dengan Ummu Sulaim.
Marilah kita dengarkan penuturan
Anas bin malik yang menceitakan kepada kita bagaimana pelakuan Abu Thalhah
terhadap kitabullah dan komitmenya tehadap Alquran sebagai landasan dan
kepribadian. Anas bin Malik berkata:
“Kamu sekali-kali tidak sampai
kepada kebajikan (yang sempuna), sebelu kamu menafkahkan sebagian hata yang
kamu cintai.” (Ali Imran: 92).
Seketika Abu Thalhah bediri
menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan berkata, “Sesungguhnya
Allah telah berfiman di dalam kitabnya (yang artinya), “Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian
harta yang kamu cintai.” Dan sesungguhnya harta yang paling aku sukai adalah
kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah degan harapan mendapatkan
kebaikan dan simpanan di sisi Allah, maka pergunakanlah sesukamu ya Rasulullah.”
“Bagus… bagus… itulah harta yang
menguntungkan… itulah harta yang mnguntungkan…. Aku telah mendengar apa yang
kamu katakan dan aku memutuskan agar engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu.”
Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya
kepada anak kerabatnya dan Bani dari pamanya.”
Allah memuliakan kedua orang suami
istri ini dengan seorang anak laki-laki sehingga keduanya sangat bergembira dan
anak tersebut menjadi penyejuk pandangan bagi keduanya dengan pergaulannya dan
dengan tingkah lakunya. Anak tersebut diberi nama Abu Umair. Suatu ketika anak
tersebut bemain-main dengan seekor burung lalu burung tersebut mati. Hal itu
menjadikan anak tersebut bersedih dan menangis. Pada saat itu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam melewati dirinya maka beliau berkata kepada anak
tesebut untuk meghibur dan bermain dengannya, “Wahai Abu Umair, apa yang
dilakukan oleh anak burung pipit itu?” (Al-Bukhari VII/109).
Allah berkehendak untuk menguji
keduanya denga seorang anak yang cakap dan dicintai. Suatu ketika Abu umair
sakit sehingga kedua orang tuanya disibukkan olehnya. Sudah menjadi kebiasaan
bagi ayahya apabila kembali dari pasar, petama kali yang dia kerjakan setelah
mengucapkan salam adalah bertanya tentang kesehatan anaknya, dan beliau belum
merasa tenag sebelum melihat anaknya.
Suatu ketika Abu Thalhah keluar ke
masjid dan bersamaan dengan itu anaknya meninggal. Maka Ibu mukminah yang sabar
ini menghadapi musibah tersebut dengan jiwa yang ridha dan baik. Sang ibu
membaringkannya di temp[at tidur sambil senantiasa mengulangi, “Inna lillahi
wa inna ilaihi raji’un.” Beliau berpesan kepada anggota keluarganya, “Janganlah
kalian menceritakan kepada Abu Thalhah hingga aku sendiri yang menceritakan
kepadanya.”
Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu
Sulaim mengusap air mata kasih sayangnya, kemudian dengan semangat menyambut
suaminya dan menjawab seperti biasanya, “Apa yang dilakukan oleh anakku?”
Beliau menjawab, “Dia dalam keadaan tenang.”
Abu Thalhah mengira bahwa anaknya
sudah dalam keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan
dan kesehatannya, dan dia tidak mau mendekat karena kahawatir mengganggu
ketenangannya. Kemudian Ummu Sulim mendekati beliau dan memperssiapkan makan
malam baginya, lalu beliau makan dan minum, sementara Ummu Sulaim bersolek
dengan dandanan yang lebih cantik daripada hari-hari sebelumnya, beliau
mengenakan baju yang paling bagus, berdandan dan memakai wangi-wangian,
kemudian keduanya pun berbuat sebagaimana layaknya suami istri.
Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa
suaminya sudah kenyang dan telah mencampurinya serta merasa tenang terhadap
keadaan anaknya, maka beliau memuji Allah karena abeliau tidak membuat risau
suaminya dana beliau bioarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.
Tatkala di akhir malam beliau
berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu seandainya
ada suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian suatu ketika
mereka mengambil titipan tersebut, maka bolehkah bagi keluarga tersebut
menolaknya?” Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.”
Kemudian Ummu Sulim berkata lagi, “Bagaimana pendapatmu jika keluarga
tersebut berkeberatan tatkala titipannya diambil setelah dia sudah dapat
memanfaatkannya?” Abu Thalhah berkata, “Berarti mereka tidak adil.”
Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya anakmu adalah titipan dari Allah dan
Allah telah mengambil, maka tabahkanlah hatimua dengan meninggalnya anakmu.”
Abu Thalhah tidak kuasa menahan
amarahnya, maka beliau berkata dengan marah, “Kau biarkan aku dalam keadaan
seperti ini baru kamu kabari tentang anakku?”
Beliau mengulangi kata-kata tersebut
hingga beliau mengucapkan kalimat istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un) lalu bertahmid kepada Allah sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi
tenang.
Keesokan harinya beliau pergi
menghadap Rasullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan mengabarkan kepadanya
tentang apa yang telah terjadi, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam bersabda, “Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua.”
Mulai hari itulah Ummu Sulaim
mengandung seorang anak yang akhirnya diberi nama Abdullah. Tatkala Ummu Sulaim
melahirkan, beliau utus Anas bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam, selanjutnya Anas berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Ummu Sulaim telah melahirkan tadi malam.” Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut (yakni
menggosokkan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit mulut si bayi). Anas
berkata, “Berikanlah nama bayi ya Rasulullah!” beliau bersabda, “Namanya
Abdullah.”
Ubadah, salah seorang rijal sanad
berkata, “Aku melihat dia memiliki tujuh orang anak yang kesemuanya hafal
Alquran.”
Di antara kejadian yang mengesankan
pada diri wanita yang utama dan juga suaminya yang mukmin adalah bahwa Allah
menurunkan ayat tentang mereka aberdua yang manusia dapat beribadah dengan
membacanya. Abu Hurairah berkata, “Telah datang seorang laki-laki kepada
Rasullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan berkata, ‘Sesungguhnya aku dalam
keadaan lapar’. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menanyakan kepada
salah satu istrinya tentang makanan yang ada di rumahnya, namun beiau menjawab,
‘Demi yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air,
kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya sama.
Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda, ‘Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Allah
merahmatinya’. Maka berdirilah seorang Anshar yang namanya Abu Thalhah seraya
berkata, ‘Saya, ya Rasulullah’. Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju
rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya kepada istrinya (Ummu
Sulaim), “Apakah kamu memiliki makanan?” Istrinya menjawab, ‘Tidak punya
melainkan makanan untuk anak-anak’. Abu Thalhah berkata, ‘ Berikanlah minuman
kepada mereka dan tidurkanlah mereka. Nanti apabila tamu saya masuk, maka akan
saya perlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan sudah aberada di
tangan, maka berdirilah dan matikanlah lampu’. Hal itu dilakukan oleh Ummu
Sulaim. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut, sementara kedua
istri tersebut bermalam dalam keadaan tidak makan. Keesokan harinya keduanya
datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Sungguh Allah takjub (atau tertawa)
terhadap fulan dan fulanah’.”
Dalam riwayat lain Rasulullah
bersabda, “Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan
terhadap tamu kalian.”
Di akhir hadis disebutkan, maka
turunlah ayat:
“Dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan
(apa yang mereka berikan itu).” (Al-Hasyr: 9).
Abu Thalhah tak kuasa menahan rasa
gembiranya, maka beliau bersegera memberikan kabar gembira itu kepada istrinya
sehingga sejuklah pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka
dlam Alquran yang senantiasa dibaca. Selain berdakwah di lingkungannya, Ummu
Sulaim juga turut andil dalam berjihad bersama pasukan kaum muslimin.
Anas berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam berperang bersama Ummu Sulaim dan para wanita dari
kalangan Anshar, apabila berperang, para wanita tersebut memberikan minum
kepada mujahidin dan mengobati yang luka.”
Begitulah, Ummu Sulaim memiliki
kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, beliau
tidak pernah masuk rumah selain rumah Ummu Sulaim, bahkan Rasulullah telah
memberi kabar gembira bahwa beliau termasuk ahli jannah.
Sumber :
- Kitab Nisaa’ Haular Rasuul,
karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.
|
Shahabiyah Rasulullah
Lainnya
Selain para Shahabiyah diatas.
Dibawah juga ini masih termasuk para Shahabiyah Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم ,
dengan penjelasan biografi singkatnya.
Arwa binti Abdul Muthalib (wafat 15
H)
Bibi Rasulullah ini, termasuk wanita
yang terpandang pada masa Jahiliah dan masa Islam. Beliau memiliki ide-ide yang
jernih dan profesional melantunkan syair.
Fatimah binti Qais bin Khalid (wafat
50 H)
Sahabat wanita yang berpandangan
luas ini termasuk rombongan yang pertama berhijrah. Di tempat kediamannyalah
diselenggarakan pertemuan tokoh-tokoh Islam (ahli syura) untuk memusyawarahkan
pengganti khalifah sepeninggal Umar.
Gazalah Al-Haruriah (wafat 77 H)
Istri Syabib bin Yazid Al-Haruri ini
terkenal sebagai wanita pemberani dan tangkas. Beliau ikut berperang dalam
beberapa kali pertempuran sebagaimana pahlawan lainnya. Terdapat sebuah cerita
populer tentang dirinya yaitu larinya Hajjaj karena tidak mampu menghadapinya
dalam sebuah pertempuran.
Hindun binti Utbah bin Rabiah (wafat
14 H)
Sahabat wanita dari suku Quraisy
yang terkenal dengan kefasihan kelantangan, ide-ide yang gemilang dan tegas
ini, cukup professional dalam membacakan syair. Sebelum masuk Islam dia sering
membangkitkan semangat kaum musyrikin untuk menghantam kaum muslimin. Dia masuk
Islam pada waktu penaklukan Kota Mekah dan berkesempatan pula mengikuti Perang
Yarmuk serta aktif membangunkan semangat kaum muslimin dalam melawan tentara
Romawi.
Juwairiah binti Abu Sofyan (wafat 54
H)
Seorang sahabat dan pejuang wanita
yang turut menggempur musuh secara langsung pada Perang Yarmuk. Beliau juga
ikut dalam berbagai pertempuran lainnya yang membuktikan bahwa dia adalah
wanita pionir yang tangkas.
Khaulah binti Azwar Al-Asadi (wafat
35 H)
Penyair wanita yang termasuk
pemberani ini mirip dengan Khalid bin Walid dalam aktifitas kemiliterannya. Dia
mempunyai kumpulan cerita tentang penaklukan negeri-negeri Syam. Syair-syairnya
dianggap sebagai syair yang melukiskan kemuliaan dan kemegahan.
Laila Al-Gifariah (wafat 40 H)
Sahabat wanita yang terpandang ini
sering mengikuti Rasulullah ke medan tempur untuk mengobati pejuang yang sakit
dan terluka. Pada waktu Perang “Jamal” ia ikut berangkat ke Basrah berperang di
barisan Ali bin Abu Thalib.
Lubabah Kubra (Lubabah binti Harits
Al-Hilali) (wafat 30 H)
Istri Abbas bin Abdul Muthalib ini,
termasuk wanita terhormat yang melahirkan banyak tokoh. Beliau masuk Islam di
Mekah setelah Khadijah, dengan demikian dia adalah wanita kedua masuk Islam.
Muazah binti Abdullah Al-Adawiah
(wafat 83 H)
Wanita ini adalah pakar hadis yang
banyak meriwayatkan hadis dari Aisyah dan Ali bin Abu Thalib ra. Dia termasuk
perawi yang terpercaya yang mencapai tingkat siqah dan hujjah dalam ilmu hadis.
Qatilah binti Harits bin Kaldah
(wafat 20 H)
Penyair wanita ranking pertama ini,
adalah saudara kandung Nadhar yang sering menghalang-halangi orang-orang yang
ingin menemui Nabi . Beliau berhasil menawan dan membunuh saudaranya pada
Perang Badar, seraya melantunkan sebuah syair yang dianggap merupakan sebab
Rasulullah . melarang membunuh tawanan Quraisy. Beliau masuk Islam dan
meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah .
Rabayi` binti Mi`waz bin Harits
Al-Anshariah (wafat 45 H)
Sahabat wanita yang terkemuka ini
sempat membaiat Rasulullah pada waktu Baiat Ridwan dan turut dalam
berbagai pertempuran bersama Rasulullah . Dia bertugas mensuplai minuman kepada
para pejuang dan merawat serta mengobati mereka serta mentransportasikan
pahlawan yang gugur dan yang luka-luka ke Madinah.
Rufaidah Al-Anshariah (wafat 35 H)
Sahabat wanita juru rawat tentara
yang luka-luka ini telah mengabdikan dirinya untuk melayani para pejuang Islam
dan dianggap sebagai juru rawat pertama dalam sejarah Islam. Dialah yang
membalut luka Saad bin Abu Waqash ketika dibawa ke kemahnya sewaktu Perang
Khandaq.
Rumaisha binti Milhan (wafat 30 H)
Sahabat wanita terpandang, ibu Anas
bin Malik ini, ikut dalam beberapa kali pertempuran. Pada waktu Perang Uhud,
dia bertugas sebagai pensuplai minuman para pejuang dan mengobati yang cedera.
Pada waktu Perang Hunain dia bersama Aisyah bertugas mengambil air dan membawanya dengan kantong-kantong kulit untuk diberikan kepada kaum muslimin di saat perang sedang berkecamuk, setelah itu mereka kembali lagi mengambil air dan membawanya ke barisan kaum muslimin.
Subaiah binti Harits
Subaiah binti Harits Al-Aslamiah
ini, adalah seorang sahabat wanita yang pernah kawin dengan Saad bin Khaulah
dari suku Bani Amir yang berasal dari Bani Luai. Saad, suaminya, sempat ikut
dalam Perang Badar dan wafat ketika melaksanakan haji wada. Umar bin Abdullah
bin Arqam meriwayatkan hadis yang berkenaan dengan talak dari sahabat wanita
ini.
Syifa binti Abdullah Al-Adawiah
Al-Qurasyiah (wafat 20 H)
Sahabat wanita yang terkemuka ini,
pada zaman Jahiliah sudah pandai tulis-baca dan setelah Islam dia mengajari
Hafsah (istri Rasulullah.) tulis-baca. Rasulullah memberikan kepadanya sebuah
rumah di Madinah. Umar bin Khattab selalu mengutamakan pendapatnya.
Ummu Athiyah Al-Anshariah (Nasibah
binti Harits) (wafat 8 H)
Sahabat wanita terkemuka ini, sempat
berbaiat kepada Rasulullah, meriwayatkan hadis-hadis dari beliau dan mengikuti
beliau berperang sebanyak tujuh kali peperangan. Dia bertugas membuat makanan
untuk pejuang muslimin, mengobati tentara yang terluka dan merawat yang sakit.
Ummu Darda (Khairah binti Abu Hadrad
Al-Aslami) (wafat 30 H)
Sahabat wanita yang terkemuka dan
memiliki ide-ide yang cemerlang ini berhasil menghafal banyak hadis Rasulullah
. Banyak tabiin yang meriwayatkan hadis dari beliau, seperti Sofwan bin
Abdullah. Beliau berdomisili di Madinah dan meninggal di negeri Syam (Suriah).
Ummu Kulsum binti Uqbah bin Muit
(wafat 40 H)
Sahabat wanita yang masuk Islam di
Mekah ini adalah wanita yang ikut berhijrah dalam priode pertama. Beliau
berjalan kaki dari Mekah menuju ke Madinah.
Ummu Qais binti Mihsan. Nama aslinya
adalah Aminah binti Mihsan Al-Asadiah, seorang sahabat wanita yang telah
memeluk Islam dari sejak dini dan ikut berhijrah dan membaiat Nabi . Dialah
wanita yang datang menyerahkan bayinya kepada Nabi yang kemudian oleh Nabi
diletakkan di atas pangkuannya, bayi tersebut buang air kecil, Nabi menyuruh
mengambil air danmenyiramkannya ke atas bagian pakaian yang terkena air kencing
tanpa dicuci.
Ummu Waraqah binti Abdullah bin
Harits (wafat 15 H)
Sahabat wanita yang sempat berbaiat
kepada Rasulullah ini, adalah hafal dan mempunyai koleksi Alquran. Beliau
sempat mengikuti,Perang Badar, di saat itu dia aktif mengobati tentara yang
terluka dan merawat yang sakit.
Zainab binti Ali bin Abu Talib
(wafat 62 H)
Dia adalah saudara kandung Hasan dan
Husain yang sempat ikut bersama saudaranya Husain dalam Perang Karbela. Dia
dikenal dengan kewibawaan dan kepandaian berpidato dengan gaya bahasa yang
menarik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar