Shafiyah Binti Abdul
Muththalibs
Nama lengkapnya adalah
Shafiyyah binti Abdul Muththalib bin Hisyam bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab
al-Qurasyiyah al-Hasyimiyah. Beliau adalah bibi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam, saudari dari singa Allah Hamzah bin Abdul Muththalib. Beliau juga
seorang ibu dari sahabat agung, yaitu Zubair bin Awwam.
Shafiyyah ra tumbuh di rumah Abdul
Muththalib, pemuka Quraisy dan orang yang memiliki kedudukan yang tinggi,
terpandang, dan mulia. Dialah yang dipercaya untuk mengurus pendatang yang
berhaji.
Seluruh aktifitas tersebut membekas
pada diri Shafiyyah ra, sehingga membentuk kepribadian beliau yang kuat. Beliau
adalah seorang wanita yang fasih lisannya dan ahli bahasa. Seorang cendekiawan
dan penunggang kuda yang pemberani. Beliau ra termasuk wanita yang awal dalam
mengimani putra saudaranya yang jujur dan terpercaya yaitu Muhammad Shallallahu
‘alaihi wassalam, dan bagus keislamannya. Beliau berhijrah bersama putranya
yang bernama Zubeir bin Awwam untuk menjaga keislamannya.
Shafiyyah ra menyaksikan tersebarnya
Islam dan turut andil dalam menyebarkannya. Sungguh jihad merupakan darah
dagingnya. Oleh karena itu, beliau tidak menyia-nyiakan kesempatan pada hari
Uhud menjadi pelopor bagi para wanita yang ikut keluar untuk membantu para
mujahidin dan mengorbankan semangat mereka untuk bertempur, disamping beliau
juga mengobati mujahidin yang luka-luka di antara mereka.
Tatkala takdir Allah menghendaki
kaum muslimin terpukul mundur karena pasukan pemanah menyalahi perintah Rasul
Shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai panglima, maka banyak pasukan yang
berpencar dari Rasullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Namun, Shafiyyah tetap
berdiri dengan berani, sedangkan di tangannya menggenggam tongkat dan beliau
pukul wajah orang-orang yang mudurdari peperangan seraya berkata, “Kalian
hendak meninggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam?”
Manakala Shafiyyah mengetahui kesyahidan
saudaranya, Hamzah bin Abdul Muththalib ra, yang dijuluki singa Allah yang
dibunuh dengan sadis, maka Shafiyyah memberikan teladan yang agung bagi kita
dalam hal kesabaran, ketabahan, dan ketegaran. Beliau sendiri mengisahkan
kepada kita apa yang beliau saksikan, beliau berkata :
“Pada hari terbunuhnya Hamzah,
Zubeir menemuiku dan berkata, ‘Wahai ibunda, sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam menyuruh anda agar kembali’. Beliau menjawab,
‘Mengapa? Sungguh telah sampai kepadaku tentang dicincangnya saudaraku, namun
dia syahid karena Allah, kami sangat ridha dengan apa yang telah terjadi,
sungguh aku akan bersabar dan tabah insya Allah. Setelah Zubeir ra
memberitahukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tentang
komentarku beliau bersabda, ‘Berilah jalan baginya…!’ Maka aku mendapatkan
Hamzah dan tatkala aku melihatnya aku berkata, ‘Inna Lillahi wa inna ilaihi
Raji’un, kemudian aku mohonkan ampun baginya, setelah itu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk menguburkannya’.”
Gambaran lain dari Shafiyyah sang mujahidah dan penunggang kuda ini adalah tatkala terjadi Perang Khandaq saat pasukan Yahudi mencoba menyerang tempat kaum wanita ketika itu para wanita muslimah dan anak-anak berada dalam sebuah benteng. Di sana ada juga Hassan bin Tsabit ra. Tatkala ada orang Yahudi mengelilingi benteng, sedangkan kaum muslimin sedang menghadapi musuh, maka berdirilah Shafiyyah ra dan berkata kepada Hassan, “Sesungguhnya lelaki Yahudi ini menjadikan kita tidak aman, karena mereka akan mengetahui kekurangan kita, maka berdirilah dan bunuhlah ia. Kemudian, Hassan berkata, ‘Semoga Allah mengampuni anda, sungguh anda mengetahui bahwa seperti itu bukanlah keahlian saya’.”
Ketika Shafiyyah mendengar jawaban
Hassan, beliau langsung bangkit dan penuh semangat yang ada di jiwanya, beliau
mengambil tongkat yang keras kemudian turun dari benteng. Beliau menunggu
kesempatan lengahnya orang Yahudi tersebut lalu beliau memukulnya tepat pada
ubun-ubun secara bertubi-tubi hingga dapat membunuhnya. Beliau memang “wanita
pertama yang membunuh laki-laki”. Beliau kembali ke benteng dan tersirat
kegembiraan pada kedua matanya, karena mampu menghabisi musuh Allah yang
berarti pula menjaga rahasia persembuyian para wanita dan kaum muslimah dari
mereka. Kemudian beliau berkata kepada Hassan, “Turunlah dan lucutilah dia,
sebab tiada yang menghalangi diriku untuk melucutinya melainkan karena dia
seorang laki-laki.” Hassan berkata : “Saya tidak berkepentingan untuk
melucutinya wahai binti Abdul muththalib.”
Begitulah kaum muslimin mendapatkan
kemenangan dalam perang ini dengan jiwa yang beriman dan pemberani yang tidak
kenal istilah mustahil dalam meraih jalan kemenangan.
Tatkala Perang Khaibar, Shafiyyah ra
keluar bersama kaum muslimah untuk memompa semangat pasukan kaum muslimin.
Mereka membuat perkemahan di medan jihad untuk mengobati pasukan yang terluka
karena perang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam merasa senang dengan peran para mujahidah sehingga mereka juga
mendapatkan bagian dari rampasan perang.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam
mencintai bibinya, Shafiyyah ra, dan memuliakan beliau serta memberikan kepada
beliau bagian yang banyak. Tatkala turun ayat: “Wa andzir ‘Asyiratakal
aqrabin’ (Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat).”
(As-Syura: 214).
Beliau bersabda, “Hai Fathimah
binti Muhammad, hai Shafiyyah binti Abdul Muththalib, wahai Bani Abdul
Muththalib, aku tidak kuasa menolong kalian dari siksa Allah. Mintalah kepadaku
apa saja yang ada padaku.”
Shafiyyah mencintai Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam sejak kecil dan mengikutinya. Beliau takjub dengan
keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam dan akhirnya mengimani kenabian
beliau, menyertai beliau dalam peperangan, dan merasa sedih tatkala wafatnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang beliau ungkapkan dengan sya’irnya
yang indah :
Wahai
mata, tampakkanlah air mata dan janganlah tidur
Tangisilah sebaik-baik manusia yang telah tiada
Tangisilah al-Musthofa dengan tangisan yang sangat
Yang masuk ke dalam hati laksana terkena pukulan
Nyaris aku tinggalkan hidup tatkala takdir datang padanya
Yang telah digariskan dalam kitab yang mulia
Sungguh beliau pengasih kepada sesama hamba
Rahmat bagi mereka dan sebaik-baik Pemberi petunjuk
Semoga Allah meridhainya tatkala beliau hidup dan mati
Dan membalasnya dengan Jannah pada hari yang kekal
Tangisilah sebaik-baik manusia yang telah tiada
Tangisilah al-Musthofa dengan tangisan yang sangat
Yang masuk ke dalam hati laksana terkena pukulan
Nyaris aku tinggalkan hidup tatkala takdir datang padanya
Yang telah digariskan dalam kitab yang mulia
Sungguh beliau pengasih kepada sesama hamba
Rahmat bagi mereka dan sebaik-baik Pemberi petunjuk
Semoga Allah meridhainya tatkala beliau hidup dan mati
Dan membalasnya dengan Jannah pada hari yang kekal
Shafiyyah hidup sepeninggal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dengan penuh kewibawaan dan dimuliakan.
Semua orang mengetahui keutamaan dan kedudukan beliau. Hingga tatkala beliau
wafat pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab umur beliau mencapai lebih dari 70
tahun.
Sumber :
- Kitab Nisaa’ Haular Rasuul,
karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.
|
Sumayyah binti
Khayyath
Namanya adalah Sumayyah
binti Khayyat, hamba sahaya dari Abu Hudzaifah bin Mughirah. Beliau dinikahi
oleh Yasir, seorang pendatang yang kemudian menetap di Mekah. Karenanya, tidak
ada kabilah yang dapat membelanya, menolongnya, dan mencegah kezaliman atas
dirinya. Sebab, dia hidup sebatang kara, sehingga posisinya sulit di bawah
naungan aturan yang berlaku pada masa jahiliyah.
Begitulah Yasir mendapatkan dirinya
menyerahkan perlindugannya kepada Bani Makhzum. Beliau hidup dalam kekuasaan
Abu Hudzaifah, sehingga akhirnya dia dinikahkan dengan budak wanita bernama
Sumayyah. Dia hidup bersamanya dan tenteram bersamanya. Tidak berselang lama dari
pernikahannya, lahirlah anak mereka berdua yang bernama Ammar dan Ubaidullah.
Tatkala Ammar hampir menjelang
dewasa dan sempurna sebagai seorang laki-laki, beliau mendengar agama baru yang
didakwahkan oleh Muhammad bin Abdullah Shallallahu ‘alaihi wassalam kepada
beliau. Akhirnya, berpikirlah Ammar bin Yasir sebagaimana berpikirnya penduduk
Mekah. Karena kesungguhan dalam berpikir dan fitrahnya yang lururs, maka
masuklah beliau ke dalam agama Islam.
Ammar kembali ke rumah dan menemui
kedua orang tuanya dalam keadaan merasakan lezatnya iman yang telah terpatri
dalam jiwanya. Beliau menceritakan kejadian yang beliau alami hingga
pertemuannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, kemudian
menawarkan kepada keduanya untuk mengikuti dakwah yang baru tersebut. Ternyata
Yasir dan Sumayyah menyahut dakwah yang penuh barakah tersebut dan bahkan
mengumumkan keislamannya, sehingga Sumayyah menjadi orang ketujuh yang masuk
Islam.
Dari sinilah dimulainya sejarah yang
agung bagi Sumayyah yang bertepatan dengan permulaan dakwah Islam dan sejak
fajar terbit untuk yang pertama kalinya.
Bani Makhzum mengetahui akan hal
itu, karena Ammar dan keluarganya tidak memungkiri bahwa mereka telah masuk
Islam bahkan mengumumkan keislamannya dengan kuat, sehingga orang-orang kafir
tidak menanggapinya, melainkan dengan pertentangan dan permusuhan.
Bani Makhzum segera menangkap
keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan bermacam-macam siksaan agar mereka
keluar dari din mereka, mereka memaksa dengan cara mengeluarkan mereka ke
padang pasir tatkala keadaannya sangat panas dan menyengat. Mereka membuang
Sumayyah ke sebuah tempat dan menaburinya dengan pasir yang sangat panas,
kemudian meletakkan di atas dadanya sebongkah batu yang berat, akan tetapi
tiada terdengar rintihan ataupun ratapan melainkan ucapan Ahad… Ahad…, beliau
ulang-ulang kata tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Yasir, Ammar, dan
Bilal.
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah disiksa degan
kejam, maka beliau menengadahkan ke langit dan berseru :
“Bersabarlah wahai keluarga
Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah Jannah.”
Sumayyah mendengar seruan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam, maka beliau bertambah tegar dan optimis, dan
dengan kewibawaan imannya dia mengulang-ulang dengan berani, “Aku bersaksi
bahwa Engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar.”
Begitulah, Sumayyah telah merasakan
lezat dan manisnya iman, sehingga bagi beliau kematian adalah sesuatu yang
remeh dalam rangka memperjuangkan akidahnya. Di hatinya telah dipenuhi akan
kebesaran Allah Azza wa Jalla, maka dia menganggap kecil setiap siksaan yang
dilakukan oleh para taghut yang zalim. Mereka tidak kuasa menggeser keimanan
dan keyakinannya ekalipun hanya satu langkah semut.
Sementara Yasir telah mengambil
keputusan sebagaimana yang dia lihat dan dia dengar dari istrinya, Sumayyah pun
telah mematrikan dalam dirinya untuk bersama-sama dengan suaminya meraih
kesuksesan yang telah dijanjikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.
Tatkala para taghut telah berputus
asa mendengar ucapan yang senantiasa diulang-ulang oleh Sumayyah, maka musuh
Allah Abu Jahal melampiaskan keberangannya kepada Sumayyah dengan menusukkan
sangkur yang berada dalam genggamannya kepada Sumayyah. Maka terbanglah nyawa
beliau yang beriman dan suci bersih dari raganya. Beliau adalah wanita pertama
yang mati syahid dalam Islam. Beliau gugur setelah memberikan contoh baik dan
mulia bagi kita dalam hal keberanian dan keimanan. Beliau telah mengerahkan
segala apa yang beliau miliki dan menganggap remeh kematian dalam rangka
memperjuangkan imannya. Beliau telah mengorbankan nyawanya yang mahal dalam
rangka meraih keridhaan Rabbnya. “Dan mendermakan jiwa adalah puncak
tertinggi dari kedermawanannya.”
Sumber :
- Kitab Nisaa’ Haular Rasuul,
karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.
|
Umamah Bintu Abil
‘Ash
Bagaimana takkan bahagia merasakan
kasih sayang seorang yang begitu mulia, menjadi panutan seluruh manusia. Kisah
buaian sang kakek dalam shalat menyisakan faedah besar bagi kaum muslimin di
seluruh dunia.
Zainab, putri sulung Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, disunting pemuda Quraisy, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’
bin ‘Abdil ‘Uzza bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi namanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahi mereka dua orang anak, Umamah dan ‘Ali.
Sepanjang masa kecilnya, Umamah bin
Abil ‘Ash benar-benar merasakan kasih sayang sang kakek, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hingga suatu kali, para shahabat tengah duduk di depan pintu
rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata beliau muncul dari
pintu rumahnya sembari menggendong Umamah kecil. Beliau shalat sementara Umamah
tetap dalam gendongannya. Jika beliau ruku’, beliau letakkan Umamah. Bila
beliau bangkit, beliau angkat kembali Umamah. Begitu seterusnya hingga beliau
menyelesaikan shalatnya.
Suatu hari, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mendapatkan hadiah. Di antaranya berupa seuntai
kalung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memungutnya. “Aku akan
memberikan kalung ini pada seseorang yang paling kucintai di antara
keluargaku,” kata beliau waktu itu. Para istri beliau pun saling berbisik, yang
akan memperoleh kalung itu pastilah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Ternyata Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memanggil Umamah, sang cucu. Beliau pakaikan kalung itu di
leher Umamah. “Berhiaslah dengan ini, wahai putriku!” kata beliau. Lalu
beliau usap kotoran yang ada di hidung Umamah.
Ketika Abul ‘Ash meninggal, dia
wasiatkan Umamah pada Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Tahun terus
berganti. Pada masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ‘Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu meminang Umamah. Az-Zubair ibnul ‘Awwam
radhiyallahu ‘anhu pun menikahkan ‘Ali dengan Umamah. Namun dalam pernikahan
ini Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan seorang anak pun kepada mereka.
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu pernah meminta Al-Mughirah bin Naufal Al-Harits bin ‘Abdil Muththalib
Al-Hasyimi radhiyallahu ‘anhu agar bersedia menikah dengan Umamah bila dia
telah wafat. ‘Ali pun berpesan pula kepada Umamah, bila dia meninggal nanti,
dia ridha jika Umamah menikah dengan Al-Mughirah.
Subuh hari, 17 Ramadhan, 40 tahun
setelah hijrah. Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan Umamah harus berpisah
dengan suaminya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, terbunuh oleh seorang
Khawarij bernama ‘Abdurrahman ibnu Muljam dengan tikaman pedangnya.
Selesai masa iddahnya, Umamah
mendapatkan pinangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ’anhuma. Umamah pun
segera mengutus seseorang untuk memberitahukan hal ini kepada Al-Mughirah bin
Naufal. “Kalau engkau mau, kau serahkan urusan ini padaku” jawab
Al-Mughirah. Umamah pun mengiyakan. Lalu Al-Mughirah meminang Umamah pada
Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhuma yang kemudian menikahkan
Al-Mughirah dengan Umamah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan
pada mereka seorang anak, Yahya ibnul Mughirah namanya. Namun tidak lama hidup
bersisian dengan Al-Mughirah, Umamah bintu Abil ’Ash meninggal di masa
pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ’anhuma.
Umamah bintu Abil ‘Ash, semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala meridhainya ….Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber :
- http://asysyariah.com Penulis :
Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran.
|
Ummu Athiyyah
Al-Anshariyah
Bak taburan mutiara, riwayat-riwayat
hadits menghiasi kehidupannya. Barangkali, seseorang yang membuka halaman demi
halaman kitab-kitab hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
menemukan nama seorang wanita yang mulia, Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyyah.
Namanya Nusaibah bintu Al-Harits.
Dia lebih dikenal dengan kunyahnya, Ummu ‘Athiyyah. Dia salah seorang wanita
Anshar yang masuk Islam dan berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berperang bersama kaum muslimin menghadapi kaum musyrikin,
Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha turut pula terjun dalam medan pertempuran.
Tujuh peperangan dia ikuti bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di
antaranya Perang Khaibar. Dalam peperangan, dia membuat makanan bagi pasukan,
mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit.
Dia pula yang memandikan jenazah
Zainab, putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ummu ‘Athiyyah
menceritakan kejadian waktu itu, “Salah seorang putri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam meninggal. Beliau pun menyuruh kami untuk memandikannya. “Mandikanlah
dia dengan basuhan ganjil, tiga, lima, atau lebih dari itu kalau kalian pandang
perlu. Mandikan jenazahnya dengan air dicampur daun bidara, dan basuhan yang
terakhir dicampur dengan sedikit kapur barus. Kalau sudah selesai, beritahu
aku,” kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika kami selesai
memandikan, kami memberitahu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu
beliau memberikan sarungnya pada kami. “Pakaikanlah sarung ini padanya,”
kata beliau. Setelah itu, kami menjalin rambut Zainab menjadi tiga jalinan, di
sisi kanan dan kiri serta di ubun-ubunnya. Lalu kami letakkan jalinan rambut
itu di belakang punggungnya.”
Kisah ini memberikan pelajaran besar
bagi kaum muslimin tentang tata cara memandikan jenazah. Banyak sahabat dan
ulama tabi’in yang mengambil faedah dari kisah ini.
Ummu ‘Athiyyah pula yang
meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau
memerintahkan agar para wanita yang sedang haid turut keluar pada hari raya
menuju lapangan tempat ditunaikannya shalat ‘Id bersama seluruh kaum muslimin.
Juga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para wanita
sering mengikuti jenazah. Namanya pun tercantum dalam kitab-kitab hadits.
Tak hanya ini ilmu yang diambil oleh
Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha. Bahkan selain mengambil ilmu langsung dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu ‘Athiyyah meriwayatkan pula dari
‘Umar ibnul Khaththab. Ilmunya pun diwarisi oleh orang-orang setelahnya, di
antaranya Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Muhammad bin Sirin, Hafshah bintu
Sirin, dan masih banyak lagi.
Kehidupan Ummu ‘Athiyyah bertabur
ilmu dari cahaya nubuwwah. Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyyah, semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala meridhainya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber :
- Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar
(8/437-438)
- Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam
Ibnu Sa’d (10/422-423)
- Siyar A’lamin Nubala`, Al-Imam
Adz-Dzahabi (2/318)
- Tahdzibul Kamal, Al-Imam
Al-Mizzi (35/315-316).
- Dinukil dari
http://www.asysyariah.com, penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu
‘Imran.
|
Ummu Aiman (Barkah
bintu Tsa’labah bin ‘Amr)
Perjalanannya dalam mengiringi
kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak dapat diabaikan.
Kemuliaan yang disandangnya di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tak layak dilupakan. Hingga manusia paling mulia itu pun berkata tentangnya,
dialah ibu setelah ibuku….
Wanita yang mulia ini bernama Barkah
bintu Tsa’labah bin ‘Amr bin Hishn bin Malik bin Salamah bin ‘Amr bin An-Nu’man
Al-Habasyiyah radhiallahu ‘anha. Namun dia lebih dikenal dengan kunyahnya,
Ummu Aiman.
Semula Ummu Aiman radhiallahu ‘anha
adalah seorang budak milik ‘Abdullah bin ‘Abdil Muththalib, ayah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di kemudian hari, setelah ‘Abdullah bin ‘Abdil
Muththalib meninggal, Ummu ‘Aiman radhiallahu ‘anha diwarisi oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah yang mengasuh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam semenjak kecil.
Tatkala Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berusia enam tahun, beliau dibawa oleh ibunya, Aminah bintu
Wahb, mengunjungi keluarga sang ibu dari Bani ‘Adi bin An-Najjar di Madinah.
Ummu Aiman radhiallahu ‘anha menyertai perjalanan mereka. Sebulan lamanya
mereka berada di sana.
Ada peristiwa yang tercatat dalam
kenangan Ummu Aiman radhiallahu ‘anha saat mereka berada di Madinah.
Orang-orang Yahudi di sana melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka pun berujar, “Dia adalah nabi umat ini dan ini adalah negeri
hijrahnya.” Ucapan mereka itu diingat benar oleh Ummu Aiman. Setelah itu,
Aminah membawa putranya kembali ke Makkah.
Namun ternyata itulah saat terakhir
kebersamaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sang ibunda. Dalam
perjalanan pulang dari Madinah ke Makkah, Aminah meninggal di Abwa’, antara
Makkah dan Madinah, dan dikuburkan di sana. Pulanglah Ummu Aiman radhiallahu ‘anha
membawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dua unta tunggangan
mereka.
Setelah ibunda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiada, Ummu Aiman berperan sebagai ibu bagi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tak heran, banyak kisah yang dapat
dituturkan oleh Ummu Aiman radhiallahu ‘anha tentang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Ummu Aiman terus menyertai kehidupan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menikah dengan Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu ‘anha, Ummu Aiman
radhiallahu ‘anha mendapatkan kemerdekaan dirinya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam membebaskannya.
Ummu Aiman radhiallahu ‘anha,
seorang wanita yang teramat mulia. Dari rahimnya terlahir orang-orang mulia.
Ummu Aiman radhiallahu ‘anha menikah dengan ‘Ubaid bin Zaid radhiallahu ‘anhu
dari Bani Al-Harits bin Al-Khazraj. Dari pernikahan ini, lahirlah Aiman bin
‘Ubaid radhiallahu ‘anhu yang kelak di kemudian hari turut terjun dalam
peperangan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga menggapai
syahid di medan pertempuran Hunain.
Ummu Aiman radhiallahu ‘anha
menjalani kehidupannya sepeninggal suaminya. Saat itu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjanjikan, “Siapa yang senang menikah dengan seorang wanita
ahli surga, hendaklah dia menikah dengan Ummu Aiman.” Datanglah Zaid bin
Haritsah radhiallahu ‘anhu, bekas budak sekaligus seorang yang sangat dicintai
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk meminangnya. Dinikahkanlah
Ummu Aiman radhiallahu ‘anha oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengannya. Lahirlah Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma yang kelak di kemudian
hari menyandang kemuliaan memimpin pasukan terakhir yang diutus oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi Romawi, sementara dalam barisan
pasukan itu ada orang-orang mulia seperti Abu Bakr dan ‘Umar bin Al-Khaththab
radhiallahu ‘anhuma.
Ummu Aiman mendampingi Zaid bin
Haritsah radhiallahu ‘anhu hingga Zaid meninggal sebagai syahid saat memimpin
pasukan dalam kancah pertempuran yang seru di medan Mu’tah, Syam, pada tahun
kedelapan setelah hijrah.
Ummu Aiman radhiallahu ‘anha,
seorang wanita yang mendapatkan kemuliaan dua hijrah, ke bumi Habasyah dan ke
bumi Madinah. Suatu ketika dalam salah satu perjalanan hijrahnya, Ummu Aiman
menempuhnya dengan berpuasa. Tiba saat berbuka, tak ada bekal air yang dapat
digunakan untuk melepaskan dahaganya yang sangat. Tiba-tiba didapatinya setimba
air terulur dari langit dengan tali timba yang berwarna putih. Ummu Aiman pun
meminumnya. Ummu Aiman menuturkan, “Semenjak itu, aku berpuasa di siang yang
panas dan berjalan di bawah terik matahari agar aku merasa haus, namun aku
tidak pernah merasakan dahaga.”
Hijrahnya ke Madinah ditempuhnya
selang beberapa waktu setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah
ke Madinah. Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zaid
bin Haritsah dan Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhuma dengan berbekal dua ekor unta
dan 500 dirham untuk membawa dua putri beliau, Fathimah dan Ummu Kultsum
radhiallahu ‘anhuma, serta Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha. Pada saat itu
pulalah Ummu Aiman bersama putranya Usamah bin Zaid bertolak menuju Madinah
bersama rombongan ini.
Ummu Aiman terus mengiringi
kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga wafatnya. Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, Abu Bakr radhiallahu
‘anhu berkata kepada ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, “Mari kita
mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana dulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa mengunjunginya.” Keduanya pun beranjak menemui Ummu Aiman.
Ternyata mereka jumpai Ummu Aiman dalam keadaan menangis, hingga mereka pun
bertanya, “Apa yang membuatmu menangis? Bukankah apa yang di sisi Allah
lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ummu Aiman
menjawab, “Aku menangis karena wahyu dari langit telah terputus.”
Mendengar penuturan Ummu Aiman, berlinanglah air mata Abu Bakr dan Umar
radhiallahu ‘anhuma hingga keduanya pun menangis bersama Ummu Aiman.
Ummu Aiman radhiallahu ‘anha sempat
menemui saat terbunuhnya ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu. Ketika itu
dia mengatakan, “Pada hari ini Islam menjadi lemah.”
Lima puluh bulan setelah wafatnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Aiman radhiallahu ‘anha kembali
kepada Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala. Dia telah menorehkan sebuah kemuliaan yang
akan senantiasa dikenang. Dia meninggalkan untaian kebaikan yang akan
memberikan teladan. Ummu Aiman, semoga Allah meridhainya….
Sumber :
- Al-Ishabah, karya Al-Hafidz Ibnu
Hajar Al-’Asqalani (8/169-172),
- Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu
‘Abdil Barr (1/128, 2/1793-1795),
- Ath-Thabaqatul Kubra, karya
Al-Imam Ibnu Sa’d (1/116, 8/223-226),
- Siyar A’lamin Nubala`, karya
Al-Imam Adz-Dzahabi (2/223-227), Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman
Anisah bintu ‘Imran, Sumber: asysyariah.com).
|
Ummu Fadhl (Lubabah
binti al-Haris)
Nama lengkapnya adalah Lubabah binti
al-Haris bin Huzn bin Bajir bin Hilaliyah. Beliau adalah Lubabah al-Kubra,
dikenal dengan kuniyahnya yakni Ummu Fadhl. Ummu Fadhl adalah salah satu
dari empat wanita yang dinyatakan keimanannya oleh Rasulullah Sholallahu
‘alaihi wasallam. Keempat wanita tersebut adalah Maimunah, Ummu Fadhl, Asma’
dan Salma.
Adapun Maimunah adalah Ummul
Mukminin Rodhiallahu ‘anha saudara kandung dari Ummu Fadhl. Sedangkan Asma’ dan
Salma adalah kedua saudari dari jalan ayahnya sebab keduanya adalah putri dari
‘Umais.
Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha adalah
istri dari Abbas, paman Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, dan ibu dari
enam orang yang mulia, pandai dan belum ada seorang wanita pun yang melahirkan
laki-laki semisal mereka. Mereka adalah Fadhl, Abdullah al-Faqih, Ubaidullah
al-Faqih, Ma’bad, Qatsam dan Abdurrahman.
Tentang Ummu Fadhl ini Abdullah bin
Yazid berkata:
Tiada
seorangpun yang melahirkan orang-orang yang terkemuka
seperti yang aku lihat sebagaimana enam putra Ummu Fadhl
Putra dari dua orang tua yang mulia
Pamannya Nabiyul Musthafa yang mulia
Penutup para Rasul dan sebaik-baik rasul
seperti yang aku lihat sebagaimana enam putra Ummu Fadhl
Putra dari dua orang tua yang mulia
Pamannya Nabiyul Musthafa yang mulia
Penutup para Rasul dan sebaik-baik rasul
Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha masuk
Islam sebelum hijrah, beliau adalah wanita pertama yang masuk Islam setelah
Khadijah (Ummul Mukminin Rodhiallahu ‘anha) sebagaimana yang dituturkan oleh
putra beliau Abdullah bin Abbas Rodhiallahu ‘anhu, “Aku dan Ibuku adalah
termasuk orang-orang yang tertindas dari wanita dan anak-anak.”
Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha
termasuk wanita yang berkedudukan tinggi dan mulia di kalangan para wanita.
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam terkadang mengunjungi beliau dan
terkadang tidur siang di rumahnya.
Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha adalah
seorang wanita yang pemberani dan beriman, yang memerangi Abu Lahab si musuh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membunuhnya. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishak dari
Ikrimah berkata, “Abu Rafi’ budak Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam
berkata, ‘Aku pernah menjadi budak Abbas, ketika Islam datang maka Abbas masuk
Islam disusul oleh Ummu Fadhl, namun Abbas masih disegani terhadap kaumnya.”
Abu Lahab tidak dapat menyertai
perang Badar dan mewakilkannya kepada Ash bin Hisyam bin Mughirah, begitulah
kebiasaan mereka manakala tidak mengikuti suatu peperangan maka ia mewakilkan
kepada orang lain.
Tatkala datang kabar tentang musibah
yang menimpa orang-orang Quraisy pada perang Badar yang mana Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menghinakan dan merendahkan Abu Lahab, maka sebaliknya kami
merasakan adanya kekuatan dan ‘izzah pada diri kami. Aku adalah seorang
laki-laki yang lemah, aku bekerja membuat gelas yang aku pahat di bebatuan
sekitar zam-zam, demi Allah suatu ketika aku duduk sedangkan di dekatku ada
Ummu fadhl yang sedang duduk, sebelumnya kami berjalan, namun tidak ada
kebaikan yang sampai kepada kami, tiba-tiba datanglah Abu Lahab dengan berlari
kemudian duduk, tatkala dia duduk tiba-tiba orang-orang berkata, “Ini dia Abu
Sufyan bin Harits telah datang dari Badar. Abu Lahab berkata, “Datanglah
kemari sungguh aku menanti beritamu."
Kemudian duduklah Abu Jahal dan
orang-orang berdiri mengerumuni sekitarnya. Berkatalah Abu Lahab, “Wahai
putra saudaraku beritakanlah bagaimana keadaan manusia (dalam perang Badar)?”
Abu Sufyan berkata, “Demi Allah tatkala kami menjumpai mereka, tiba-tiba
mereka tidak henti-hentinya menyerang pasukan kami, mereka memerangi kami
sesuka mereka dan mereka menawan kami sesuka hati mereka. Demi Allah sekalipun
demikian tatkala aku menghimpun pasukan, kami melihat ada sekelompok laki-laki
yang berkuda hitam putih berada di tengah-tengah manusia, demi Allah mereka
tidak menginjakkan kakinya di tanah.”
Abu Rafi’ berkata, “Aku
mengangkat batu yang berada di tanganku, kemudian berkata, ‘Demi Allah itu
adalah malaikat. Tiba-tiba Abu Lahab mengepalkan tangannya dan memukul aku
dengan pukulan yang keras, maka aku telah membuatnya marah, kemudian dia
menarikku dan membantingku ke tanah, selanjutnya dia dudukkan aku dan
memukuliku sedangkan aku adalah laki-laki yang lemah. Tiba-tiba berdirilah
Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha mengambil sebuah tiang dari batu kemudian beliau
pukulkan dengan keras mengenai kepala Abu Lahab sehingga melukainya dengan
parah. Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha berkata, ‘Saya telah melemahkannya sehingga
jatuhlah kredibilitasnya.’
Kemudian bangunlah Abu Lahab dalam
keadaan terhina, Demi Allah ia tidak hidup setelah itu melainkan hanya tujuh
malam hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menimpakan kepadanya penyakit bisul yang
menyebabkan kematiannya.”
Begitulah perlakuan seorang wanita
mukminah yang pemberani terhadap musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga
menjadi gugurlah kesombongannya dan merosotlah kehormatannya karena ternoda.
Alangkah bangganya sejarah Islam yang telah mencatat Ummu Fadhl Rodhiallahu
‘anha sebagai teladan bagi para wanita yang dibina oleh Islam.
Ibnu Sa’d menyebutkan di dalam ath-Thabaqat
al-Kubra bahwa Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha suatu hari bermimpi dengan suatu
mimpi yang menakjubkan, sehingga ia bersegera untuk mengadukannya kepada
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah saya
bermimpi seolah-olah sebagian dari anggota tubuhmu berada di rumahku.”
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mimpimu bagus, kelak
Fatimah melahirkan seorang anak laki-laki yang nanti akan engkau susui dengan
susu yang engkau berikan buat anakmu (Qatsam).”
Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha keluar
dengan membawa kegembiraan karena berita tersebut, dan tidak berselang lama
Fatimah Rodhiallahu ‘anha melahirkan Hasan bin Ali Rodhiallahu ‘anhu yang kemudian
diasuh oleh Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha.
Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha
berkata, “Suata ketika aku mendatangi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam,
dengan membawa bayi tersebut maka Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam segera
menggendong dan mencium bayi tersebut, namun tiba-tiba bayi tersebut
mengencingi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau bersabda, “Wahai
Ummu Fadhl peganglah anak ini karena dia telah mengencingiku.”
Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha
berkata, “Maka aku ambil bayi tersebut dan aku cubit sehingga dia menangis, aku
berkata, “Engkau telah menyusahkan Rasulullah karena engkau telah
mengencinginya.” Tatkala melihat bayi tersebut menangis Rasulullah
Sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Ummu Fadhl justru engkau yang
menyusahkanku karena telah membuat anakku menangis.” Kemudian Rasulullah
Sholallahu ‘alaihi wasallam meminta air lalu beliau percikkan ke tempat yang
terkena air kencing kemudian bersabda,
“Jika bayi laki-laki maka
percikilah dengan air, akan tetapi apabila bayi wanita maka cucilah.”
Di antara peristiwa yang mengesankan
Lubabah binti al-Haris Rodhiallahu ‘anha adalah tatkala banyak orang bertanya
kepada beliau ketika hari Arafah apakah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam
shaum ataukah tidak? Maka dengan kebijakannya, beliau menghilangkan problem
yang menimpa kaum muslimin dengan cara beliau memanggil salah seorang anaknya
kemudian menyuruhnya untuk mengirimkan segelas susu kepada Rasulullah
Sholallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau berada di Arafah, kemudian tatkala
dia menemukan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam dengan dilihat oleh semua
orang beliau menerima segelas susu tersebut kemudian meminumnya.
Di sisi yang lain Ummu Fadhl
Rodhiallahu ‘anha mempelajari Hadits asy-Syarif dari Rasulullah Sholallahu
‘alaihi wasallam dan beliau meriwayatkan sebanyak tiga puluh hadits. Adapun
yang meriwayatkan dari beliau adalah sang putra beliau Abdulllah bin Abbas
Rodhiallahu ‘anhu, Tamam yakni budaknya, Anas bin Malik, dan lainnya.
Kemudian wafatlah Ummu Fadhl
Rodhiallahu ‘anha pada masa khalifah Ustman bin Affan Rodhiallahu ‘anhu setelah
meninggalkan kepada kita contoh yang baik yang patut ditiru sebagai ibu yang
shalihah yang melahirkan tokoh semisal Abdullah bin Abbas Rodhiallahu ‘anhu;
kyai umat ini dan Turjumanul Qur’an (yang ahli dalam hal tafsir al-Qur’an),
Begitu pula telah memberikan contoh terbaik bagi kita dalam hal kepahlawanan
yang memancar dari akidah yang benar yang muncul darinya keberanian yang mampu
menjatuhkan musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling keras permusuhannya.
Sumber :
- Kitab Nisaa’ Haular Rasuul,
karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.
|
Ummu Hani’ bintu Abi
Thalib Al-Hasyimiyyah
Dia bernama Fakhitah, seorang wanita
dari kalangan bangsawan Quraisy. Putri paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Abu Thalib Abdu Manaf bin Abdil Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf
bin Qushay. Ibunya bernama Fathimah bintu Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Dia
saudari sekandung ‘Ali, ‘Aqil dan Ja’far, putra-putra Abu Thalib.
Pada hari pembukaan negeri Makkah
itu, ada dua kerabat suami Ummu Hani` dari Bani Makhzum, Al-Harits bin Hisyam
dan Zuhair bin Abi Umayyah bin Al-Mughirah, datang kepada Ummu Hani` untuk
meminta perlindungan. Waktu itu datang pula ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu menemui Ummu Hani` sambil mengatakan, “Demi Allah, aku akan membunuh dua
orang tadi!” Ummu Hani` pun menutup pintu rumahnya dan bergegas menemui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saat itu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tengah mandi, ditutup oleh putri beliau, Fathimah radhiallahu
‘anha dengan kain. Ummu Hani` pun mengucapkan salam, hingga Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa itu?” “Saya Ummu Hani`, putri
Abu Thalib,” jawab Ummu Hani`. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
menyambutnya, “Marhaban, wahai Ummu Hani`!”
Setelah Ummu Hani` berpisah dari
suaminya karena keimanan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk
meminang Ummu Hani`. Namun dengan halus Ummu Hani` menolak, “Sesungguhnya aku
ini seorang ibu dari anak-anak yang membutuhkan perhatian yang menyita banyak
waktu. Sementara aku mengetahui betapa besar hak suami. Aku khawatir tidak akan
mampu untuk menunaikan hak-hak suami.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengurungkan niatnya. Beliau mengatakan, “Sebaik-baik wanita
penunggang unta adalah wanita Quraisy, sangat penyayang terhadap anak-anaknya.”
Ummu Hani` radhiallahu ‘anha
meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
hingga saat ini termaktub dalam Al-Kutubus Sittah. Dia pun menyebarkan ilmu
yang telah dia dulang hingga saat akhir kehidupannya, jauh setelah masa
khilafah saudaranya, ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, pada tahun ke-50 H.
Ummu Hani` Al-Hasyimiyyah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber :
- Kitab Nisaa’ Haular Rasuul,
karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.
|
Ummu Syuraik
al-Qurasyiah
Namanya adalah Ghaziyah binti
Jabir bin Hakim. Beliau seorang wanita dari Quraisy, wanita dari Bani Amir
bin Lu’ai dan ia pernah menjadi istri Abu al-Akr ad-Dausi.
Beliau merasa simpati hatinya dengan
Islam sejak masih di Mekah, hingga menjadi mantaplah iman di hatinya dan beliau
memahami kewajiban dirinya terhadap din yang lurus sehingga beliau
mempersembahkan hidupnya untuk menyebarkan dakwah tauhid, meninggikan kalimat
Allah dan mengibarkan panji laa ilaha illallahu muhammadur rasulullahi.
Mulailah Ummu Syuraik bergerak untuk
berdakwah dan mengajak wanita-wanita Quraisy secara sembunyi-sembunyi. Beliau
berdakwah kepada mereka, memberikan dorongan-dorongan agar mereka masuk Islam
tanpa kenal lelah dan jemu. Beliau menyadari resiko yang akan menimpa dirinya,
baik pengorbanan maupun penderitaan, serta resiko yang telah menghadangnya,
berupa gangguan dan siksaan terhadap jiwa dan harta. Akan tetapi, iman bukanlah
sekedar kalimat yang diucapkan oleh lisan, melainkan iman pada hakikatnya
memiliki konsekuensi dan amanah yang mengandung beban dan iman berarti jihad
yang membutuhkan kesabaran.
Takdir Allah menghendaki setelah
masa berlalu beberapa lama, mulailah hari-hari ujian, hari-hari menghadapi
cobaan yang mana aktivitas Ummu Syuraik ra telah diketahui penduduk Mekah.
Akhirnya, mereka menangkap beliau dan berkata, “Kalaulah bukan karena kaum
kamu, kami akan tangani sendiri. Akan tetapi, kami akan menyerahkan kamu kepada
mereka.”
Ummu Syuraik berkata, “Maka
datanglah keluarga Abu al-Akr (yakni kelurga suaminya) kepadaku kemudian
berkata, ‘Jangan-jangan engkau telah masuk kepada agamanya (Muhammad)?’ Beliau
berkata, ‘Demi Allah, aku telah masuk agama Muhammad’. Mereka berkata, ‘Demi
Allah, aku akan menyiksamu dengan siksaan yang berat’. Kemudian, mereka
membawaku dari rumah kami, kami berada di Dzul Khalashah (terletak di Shan’a’),
mereka ingin membawaku ke sebuah tempat dengan mengendarai seekor onta lemah,
yakni kendaraan mereka yang paling jelek dan kasar. Mereka memberiku makan dan
madu, akan tetapi tidak memberikan setetes air pun kepadaku. Hingga manakala
tengah hari dan matahari telah terasa panas, mereka menurunkan aku dan memukuliku,
kemudian mereka meninggalkanku di tengah teriknya matahari hingga hampir-hampir
hilang akalku, pendengaranku dan penglihatanku. Mereka melakukan hal itu selama
tiga hari.
Tatkala hari ketiga, mereka berkata
kepadaku, ‘Tinggalkanlah agama yang telah kau pegang!’ Ummu Syuraik berkata,
‘Aku sudah tidak lagi dapat mendengar perkataan mereka, kecuali satu kata demi
satu kata dan akau hanya mmeberikan isyarat dengan telunjukku ke langit sebagai
isyarat tauhid’.”
Ummu Syuraik melanjutkan, “Demi
Allah, tatkala aku dalam keadaan seperti itu, ketika sudah berat aku rasakan,
tiba-tiba aku mendapatkan dinginnya ember yang berisi air di atas dadaku
(beliau dalam keadaan berbaring), maka aku segera mengambilnya dan meminumnya
sekali teguk. Kemudian, ember tersebut terangkat dan aku melihat ternyata ember
tersebut menggantung antara langit dan bumi dan aku tidak mampu mengambilnya.
Kemudian, ember tersebut menjulur kepadaku untuk yang kedua kalinya, maka aku
minum darinya kemudian terangkat lagi. Aku melihat ember tersebut berada antara
langit dan bumi. Kemudian, ember tersebut menjulur kepadaku untuk yang ketiga
kalinya, maka aku minum darinya hingga aku kenyang dan aku guyurkan ke kepala,
wajah dan bajuku. Kemudian, mereka keluar dan melihatku seraya berkata, ‘Dari
mana engkau dapatkan air itu wahai musuh Allah’. Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya
musuh Allah adalah selain diriku yang menyimpang dari agama-Nya. Adapun
pertanyaan kalian dari mana air itu, maka itu adalah dari sisi Allah yang
dianugerahkan kepadaku’. Mereka bersegera menengok ember mereka dan mereka
dapatkan ember tersebut masih tertutup rapat belum terbuka. Lalu, mereka
berkata, ‘Kami bersaksi bahwa Rabbmu adalah Rabb kami dan kami bersaksi bahwa
yang telah memberikan rizki kepadamu di tempat ini setelah kami menyiksamu
adalah Dia Yang Mensyari’atkan Islam’.”
Akhirnya, masuklah mereka semuanya
ke dalam agama Islam dan semuanya berhijrah bersama Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam dan mereka mengetahui keutamaanku atas mereka dan apa yang
telah dilakukan Allah terhadapku.
Semoga Allah merahmati Ummu Syuraik,
yang telah mengukir sebaik-baik contoh dalam berdakwah ke jalan Allah, dalam
hal keteguhan dalam memperjuangkan iman dan akidahnya dan dalam bersabar di
saat menghadapi cobaan serta berpegang kepada tali Allah…. Marabahaya tidak
menjadikan beliau kendor ataupun lemah yang mengakibatkan beliau bergeser
walaupun sedikit untuk menyelamatkan jiwanya dari kematian dan kebinasaan. Akan
tetapi, hasil dari ketegaran beliau, Allah memuliakan beliau dan menjadikan
indah pandangan matanya dengan masuknya kaumnya ke dalam agama Islam. Inilah
target dari apa yang dicita-citakan oleh seorang muslim dalam berjihad.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam bersabda yang artinya, “Sungguh, seandainya Allah memberikan
hidayah kepada satu orang karena dakwahmu, maka itu lebih baik dari onta yang
merah (harta kekayaan yang paling berharga).”
Sumber :
- Kitab Nisaa’ Haular Rasuul,
karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.
|
Ummu Haram (Malikah
binti Milhan bin Khalid Al-Anshariah)
Nama lengkapnya adalahUmmu Haram
binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghannam bin
Adi bin Nazar al-Anshariyah an-Najjariyyah al-Madaniyyah. Ia seorang
sahabat wanita yang selalu ikut berangkat bersama pejuang muslim dan sempat
mengikuti beberapa kali pertempuran. Beliau sempat ikut dalam penaklukan Siprus
bersama suaminya tetapi ia terjatuh dari tunggangannya sehingga dia mati syahid
di tempat itu.
Beliau adalah saudari Ummu Sulaiman,
bibi dari Anas bin Malik pembantu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
Beliau adalah istri dari sahabat yang agung yang bernama Ubadah bin ash-Shamit.
Kedua saudaranya adalah Sulaim dan Haram; keduanya ikut di dalam perang Badar
dan Uhud dan kedua-duanya syahid pada perang Bi’ir Ma’unah. Adapun Haram adalah
seorang pejuang yang tatkala ditikam dari belakang beliau mengatakan, “Aku
telah berjaya demi Rabb Ka’bah”.
Ummu Haram termasuk wanita yang
terhormat, beliau masuk Islam, berbai’at kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam dan ikut berhijrah. Beliau meriwayatkan hadis Anas bin Malik
meriwayatkan dari beliau dan ada juga yang lain yang meriwayatkan dari beliau.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa
sallam memuliakan beliau dan pernah mengunjungi beliau di rumahnya dan
istirahat sejenak di rumahnya. Beliau dan Ummu Sulaim adalah bibi Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi wa sallam baik apabila dihubungkan dengan sepersusuan
ataupun dikaitkan dengan nasab, sehingga menjadi halal menyendiri keduanya.
Anas bin Malik berkata; “Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah kami, yang mana tidak ada yang
didalam melainkan saya, ibuku (Ummu Sulaim) dan bibiku Ummu Haram. Beliau
bersabda: “Berdirilah kalian, aku akan shalat bersama kalian”. Maka
beliau shalat bersama kami pada saat bukan waktu shalat wajib.
Ummu Haram berangan-angan untuk
dapat menyertai peperangan bersama mujahidin yang menaiki kapal untuk
menyebarkan dakwah dan membebaskan manusia dari peribadatan kepada sesama hamba
menuju peribadatan kepada Allah saja. Akhirnya Allah mengabulkan angan-angannya
dan mewujudkan cita-citanya. Tatkala dinikahi oleh sahabat agung yang bernama
Ubadah bin Shamit, mereka keluar untuk berjihad bersama dan Ummu Haram
mendapatkan syahid disana dalam perang Qubrus (Syprus).
Anas berkata: “Adalah Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi wa sallam apabila pergi ke Quba’ beliau mampir kerumah Ummu
Haram binti Malhan, kemidian Ummu Haram menyediakan makanan bagi beliau. Adapun
suami Ummu Haram adalah Ubadah bin Shamit. Pada suatu hari Rasululllah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam mampir kerumah beliau, Ummu Harampun menyediakan
untuk beliau, makanan kemudian Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam
menyandarkan kepalanya dan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tertidur.
Tidak beberapa lama kemudian beliau bangun lalu beliau tertawa. Ummu Haram
bertanya, “Apa yang membuat anda tertawa ya Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa
sallam?” Beliau bersabda: “Sekelompok manusia dari kelompok-Ku, mereka
berperang di jalan Allah dan berlayar di lautan sebagaiman raja-raja di atas
pasukannya atau laksana para raja yang memimpin pasukannya”.
Ummu Haram berkata: “Wahai
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam do`akanlah agar aku termasuk golongan
mereka”.
Kemudian Rasulullah Shallallâhu
‘alaihi wa sallam mendo`akan Ummu Haram lalu meletakkan kepalanya dan
melanjutkan tidurnya. Sebentar kemudian beliau terbangun dan tertawa.
Ummu Haram bertanya, “Wahai Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam apa yang membuat anda tertawa?”.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Sekelompok manusia dari umatku akan
diperlihatkan kepadaku tatkala berperang di jalan Allah Ta’ala laksana raja
bagi pasukannya”.
Ummu Haram berkata : “Wahai
Rasululllah! do`akanlah agar saya termasuk golongan mereka”.
Rasululllah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
“Engkau termasuk golongan para
pemula”.
Anas bin Malik berkata: Ummu Haram
keluar bersama suaminya yang bernama Ubadah bin Shamit. Tatkala telah melewati
laut, beliau naik seekor hewan kemudian hewan tersebut melemparkan beliau
hingga wafat. Peristiwa tersebut terjadi pada perang Qubrus (Syprus), sehingga
beliau dikubur disana. Ketika itu pemimpin pasukan adalah Mu`awiyah bin Abi
Sufyan pada masa khalifah Utsman bin Affan, semoga Allah merahmati mereka
seluruhnya. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 27 Hijriyah.
Begitulah, Ummu Haram adalah
termasuk salah satu dari keluarga mulia yang setia terhadap prinsip yang dia
pegang, yang mana beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk menyebarkan
‘aqidah tauhid yang murni. Beliau tidak mengharapkan setelah itu melainkan
ridha Allah `Azza wa jalla.
Sumber :
- Kitab Nisaa’ Haular Rasuul,
karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar